Mengapa : Doa Syukur Agung yang Paling Agung ?
Kapan pun dan di mana pun kita dapat bersyukur. Namun, hanya dalam Perayaan Ekaristi kita dapat melambungkan Doa Syukur yang paling tinggi nilainya, doa yang paling agung. Wajarlah jika berdasarkan pemahaman itu, dalam teks Misa berbahasa Indonesia digunakan istilah ”Doa Syukur Agung” (DSA). Suatu terjemahan luwes karena dalam bahasa Latin hanya diungkapkan dengan Prex Eucharistica (Doa Ekaristis).
Doa ini dianggap agung karena melalui DSA secara transubstansiatif terjadilah perubahan roti menjadi Tubuh Kristus dan anggur menjadi Darah Kristus. Doa sakramental yang ditujukan kepada Allah Bapa ini amat suci, karena dilakukan oleh Yesus, dengan kata-kata, tindakan, dan materi simbolis yang dipilihNya
sendiri.
Dari Yesus kepada Bapa
Jantung DSA adalah kata-kata yang diucapkan Yesus pada waktu Perjamuan Malam terakhir. Sumber biblis teks itu adalah Injil Sinoptik. Inilah yang disebut Kisah Institusi, cerita tentang penetapan Ekaristi. Titik pusaran DSA ini diapit unsur-unsur lain.
Beberapa unsur dalam satu rangkaian DSA menjadi ciri keistimewaan doa ini. DSA sudah mulai sejak dialog yang diikuti Prefasi dan ditutup Aklamasi Kudus. Masih terdapat beberapa unsur penting lain yang mengikuti, yakni Epiklesis, Kisah Institusi dengan konsekrasi, Aklamasi Anamnesis, Persembahan, Permohonan, dan Doksologi Penutup dengan Aklamasi Amin (PUMR 79).
Imam, selaku pribadi Kristus, membawakannya sebagai doa dalam bentuk kisah yang disampaikan kepada Allah Bapa, bukan untuk umat yang hadir.
Maka, kurang tepatlah jika imam memperlakukan DSA dengan gaya seperti sedang bercerita kepada umat. Berkontak wajah dengan umat sebagai bentuk
dialog horisontal, percakapan antarsesama. Bahkan dengan mendramatisasi setiap kata, memecahkan hosti atau seolah mengedarkan piala. Bukan begitu.
Ini adalah komunikasi vertikal antara Yesus, bersama Gereja, dengan Allah Bapa.
Sebagai Gereja yang mengucap syukur, kita bercerita kepada Allah bukan karena Ia tidak tahu atau lupa. Namun, karena kita mau meyakinkan dan menyenangkan Allah bahwa kita selalu mengenangkan kisah agung tentang PutraNya dalam Perjamuan Malam Terakhir.
Beberapa norma
Agar doa yang paling agung ini tetap bermartabat luhur, Gereja pun mengawalnya dengan aturan ketat untuk pemakaiannya. Yang boleh dipakai hanya DSA yang telah disahkan oleh Takhta Apostolik, dan sesuai dengan cara serta persyaratan yang ditentukan olehnya. Paus Yohanes Paulus II secara
keras mengingatkan: ”Tidak ada toleransi terhadap imam-imam yang merasa berhak menyusun DSAnya sendiri.” Di tengah banyaknya penyelewengan
yang terjadi, umat boleh terus berharap agar dapat menyaksikan keteladanan para gembalanya yang setia menjunjung norma dan mengupayakan keagungan
DSA ini demi keutuhan dan kebersamaan sebagai Gereja semesta.
Tidak diperkenankan juga mengubah teks yang telah disahkan itu, atau memperkenalkan teks lain karya pribadi tertentu (RS 51). Termasuk di sini
larangan menyisipkan doa atau lagu pada saat Tubuh dan Darah Kristus diangkat, ditunjukkan kepada umat. Ketika DSA dilambungkan oleh imam, “tidak boleh dibawakan doa lain atau nyanyian, juga tidak boleh dimainkan alat musik” (PUMR 32).
Doa ini dilakukan oleh imam selebran. Hanya imam yang diperkenankan membawakan DSA, diakon dan awam tidak (KHK, kan 907). Kebiasaan melibatkan umat bergantian dengan imam atau bersama-sama membacakan DSA adalah kesalahan besar (RS 52).
Partisipasi aktif umat tidak diabaikan. Sebenarnya umat selalu terlibat aktif dan tidak perlu pasif, karena dengan berdiam diri dan mengikuti apa yang terjadi di altar, umat memadukan diri dengan imam selebran dalam iman dan doa batin. Umat pun menggabungkan diri dalam DSA dengan menjawab dialog dan menyerukan aklamasiaklamasinya. Setiap peraya tetap melakoni perannya.
Christophorus H. Suryanugraha OSC - See more at: http://www.hidupkatolik.com/2012/09/03/doa-syukur-yang-paling-agung#sthash.BSzu7QGY.dpuf
Source : hidupkatolik.com
Post a Comment