Latest News

Thursday, June 13, 2013

Umat Pentakosta di Asia Meningkat, Gereja Katolik Harus Turun Gunung

Pentacostalisme berkembang secara global (Foto: Godswill Ministries)

Umat Kristen Pentakosta atau Karismatik bertumbuh pesat di Asia, terutama di kalangan kaum migran perkotaan dan kelompok minoritas etnis, demikian analisis yang baru-baru ini disajikan di Roma. Beberapa analis telah menyimpulkan bahwa pertumbuhan yang cepat ini bisa mendorong Gereja Katolik untuk mengubah kulturnya, yang selama ini  ditandai dengan klerikalisme berlebihan dan pemerintahan �dari atas ke bawah� (top-down).

Pastor John Mansford Prior SVD, seorang misionaris untuk Indonesia sejak tahun 1973, membahas pertumbuhan Pentakostalisme di Asia selama konferensi pada awal bulan ini  tentang �Gerakan Agama Baru� yang diselenggarakan oleh Konferensi Waligereja Jerman.

Gerakan Pentakosta dimulai pada awal abad ke-20, yang muncul dari dorongan untuk pengalaman pribadi akan Tuhan dan pembaharuan spiritual melalui baptisan Roh Kudus. Ini memberikan penekanan utama pada �karunia� Roh, termasuk berbicara dalam bahasa roh, penyembuhan ajaib dan bernubuat.

Sementara istilah Pantekosta biasanya digunakan untuk merujuk pada gerakan-gerakan baru dan Gereja-gereja independen yang bermunculan dari gerakan itu, istilah karismatik umumnya digunakan untuk kelompok yang membawa spiritualitas Pantekosta dalam Gereja-gereja tradisional.

Dalam Gereja Katolik ada kelompok-kelompok seperti Pembaharuan Karismatik Katolik atau El Shaddai, yang memiliki 2 juta anggota terdaftar dan sekitar 7 juta pendukung di Filipina.

�Pentakostalisme telah mengakar di kalangan minoritas-minoritas etnis Asia dan kelas-kelas sosial yang kurang memiliki kekuatan secara politis atau pun ideologis,� tulis Pastor Prior dalam sebuah laporan yang dipresentasikan dalam konferensi itu.

Dalam sebuah wawancara dengan ucanews.com, Pastor Prior memperingatkan bahwa dalam menanggapi pertumbuhan �gerakan baru� ini di Asia, Gereja Katolik harus mengubah mentalitas dan kulturnya, atau risiko kehilangan umatnya dari benua itu.

Di Asia, Pentakostalisme adalah fenomena perkotaan: �Orang-orang yang kehilangan identitias desa dan budaya mereka,� yang �merasa tidak aman di kota sebagai migran,� lalu bergabung dengan komunitas Karismatik dan Pentakosta baru karena di sana mereka menemukan �hubungan yang hangat� dan �memiliki tempat� sementara �paroki-paroki Katolik di kota-kota memiliki umat yang banyak, tak dikenal, sangat ritualistik,� kata Pastor Prior.

Karena lebih dari 50 persen orang Asia kini tinggal di kota-kota, fenomena ini terus berkembang. Faktanya, menurut Pastor Prior, sudah 40 persen dari orang-orang Kristen Asia menyebut diri mereka sebagai Karismatik atau Pentakosta.

Hal ini juga kuat di kalangan etnis minoritas, termasuk Tionghoa di Indonesia. �Pentakostalisme mengangkat martabat dan identitas kelompok etnis minoritas dan memberikan kenyamanan, komunitas yang akrab dan saling membantu di antara para migran perkotaan yang belum mapan� yang �agaknya � kurang mendapat perhatian dari agama atau Gereja mereka sebelumnya,� tulis Pastor Prior dalam laporannya.

Tidak seperti di Amerika Latin, dan pengecualian Korea Selatan, dan  Cina (meskipun data yang dapat dipercaya sulit didapat), kelompok-kelompok Pentakosta di Asia tidak secara eksplisit menekankan �injil kemakmuran� yang menempatkan hubungan langsung antara iman dan keberhasilan ekonomi.

Tapi, Pastor Prior mencatat bahwa ketika orang-orang bergabung dengan kelompok-kelompok ini, mereka menjadi tenang, tidak mabuk-mabukan, tidak berjudi, bahkan laki-laki menjadi lebih setia kepada istri-istri mereka, karena itu mereka menjalani kehidupan hemat dan secara otomatis mereka maju dalam skala sosial.�

Sementara di Amerika Latin pertumbuhan Pentakostalisme telah bersamaan dengan eksodus besar-besaran dari Gereja Katolik, misalnya, populasi umat Katolik di Brasil turun dari 90 persen pada  tahun 1970 menjadi hanya 65 persen tahun 2010. Di di Asia �tidak banyak umat Katolik meninggalkan Gereja karena Gereja telah terbuka untuk menerima kelompok-kelompok tersebut,� kata Pastor Prior.

Bahkan, kebijakan resmi dari Federasi Konferensi Waligereja Asia dan konferensi-konferensi waligereja di seluruh benua Asia telah berdampak �sangat positif.� Namun, dalam beberapa kasus telah terjadi �ketegangan� dengan mayoritas masyarakat, baik itu Muslim, Hindu atau Buddha, karena kadang-kadang penginjilan yang agresif menjadi kendala gerakan baru itu.

Hal ini pada gilirannya dapat berdampak pada orang Kristen karena seringkali umat non-Kristen �tidak membedakan antara kelompok-kelompok evangelis dan Gereja-gereja utama.�

Namun, Pastor Prior memperingatkan bahwa untuk memasuki energi spiritual baru yang terungkap dalam pertumbuhan kelompok Pantekosta itu, Gereja masih �terlalu mono-kultural, terlalu klerikal, terlalu top down.�

Di Korea, misalnya, umat Katolik hanya 10 persen dari populasi, sementara Gereja-gereja Protestan, yang sebagian besar telah �berjiwa Pentakosta,� kini jumlahnya menjadi 25 persen dari populasi dan terus bertumbuh. Di Korea, �gerakan karismatik tidak terlalu kuat dalam Gereja Katolik karena Gereja Korea adalah sebuah Gereja yang sangat klerikal.�

Bagi misionaris SVD itu, klerikalisme �tidak bisa bekerja di dunia modern, dunia maya, dunia yang serba terbuka. Hal ini tidak berguna.�

Di sisi lain, hanya menyambut gerakan baru dalam Gereja tidak cukup.

Sebuah kajian Konferensi Waligereja Jerman �yang dipresentasikan dalam  konferensi di Roma itu menunjukkan bahwa �meskipun gerakan Karismatik sangat besar di Filipina dan melibatkan semua kelas sosial, kelas-kelas itu dipisahkan sesuai dengan gerekan yang berbeda. Setiap gerakan memperhatikan kelompok-kelompok tertentu, sehingga sebenarnya mereka tidak saling kontak.�

Pastor Prior mencatat: �Menurut survei, banyak umat Katolik akhirnya bergabung dengan Gereja-gereja Pentakosta karena mereka memiliki hubungan pribadi dengan Kristus, yang tidak mereka dapatkan dalam paroki-paroki yang penuh dengan ritual. Itu adalah tragis.�

Sebagian ini terjadi karena jumlah pastor yang ditahbiskan Gereja tidak  memadai.

Ini mungkin menjadi sebuah pertanyaan � antara lain � soal tuntutan selibat. Namun, perubahan yang terjadi dalam kekristienan di Asia membutuhkan tindakan. Jika tidak, kata Pastor Prior, �Saya pikir kita akan menyaksikan semakin lebih banyak orang meninggalkan [Gereja Katolik] untuk menemukan kontak spiritual mereka dengan Kristus dalam komunitas lebih kecil, lebih hangat seperti Gereja-gereja Pentakosta.�

Recent Post