Mengapa Sosialisme dan Komunisme tidak sesuai dengan ajaran Kristiani?


Sosialisme dan Komunisme adalah suatu gerakan atau sistem ekonomi yang berdasarkan atas kepemilikan secara publik, baik dalam hal sarana produksi maupun perencanaannya secara sentral. Sosialisme timbul sebagai reaksi terhadap kapitalisme, sedangkan komunisme merupakan perkembangan lebih lanjut dari sosialisme, yang bertujuan menghapus adanya perbedaan kelas/ kelompok ekonomi di dalam masyarakat. Mungkin ada orang menyangka bahwa sosialisme dan komunisme adalah sistem yang baik untuk menyelamatkan nasib para pekerja dari kekuatan para memilik modal. Namun walaupun sepertinya baik, sistem tersebut tidak sesuai dengan ajaran Kristiani. Untuk memahami hal ini, mari kita melihat kepada fakta sejarah, dan ajaran Gereja Katolik, yang jelas dinyatakan, terutama oleh Paus Leo XIII -dalam surat ensikliknya Rerum Novarum (RN), dan Paus Yohanes Paulus II, dalam surat ensikliknya Centessimus Annus (CA), Sollicitudo Rei Socialis (SRS), dan Laborem Excercens (LE).
Sosialisme timbul setelah zaman industri (di akhir abad ke-18), yang membagi dunia menjadi dua kelas: yaitu kelompok pemilik modal dan kelompok pekerja/ buruh. Sosialisme yang diprakarsai oleh Karl Marx di akhir abad ke-19 adalah semacam upaya untuk menghilangkan jurang yang besar di antara kedua kelompok tersebut[1]. Prinsip utama dari gerakan ini adalah, apa yang disebut sebagai “milik bersama” (RN 15), yang artinya kepemilikan pribadi ditolak, dijadikan milik bersama di bawah kontrol dari sejumlah orang dari pemerintah (lih. RN 4). Namun, walaupun sekilas prinsip ini terlihat baik, Paus Leo XIII mengecamnya, karena prinsip Sosialisme secara mendasar keliru dalam memahami kodrat manusia, yaitu karena sistem tersebut: 1) menempatkan ‘milik bersama’ dan ‘milik pribadi’ sebagai dua hal yang bertentangan sehingga seolah perseorangan dianggap sebagai ancaman bagi komunitas dan bukan sebagai pendukung komunitas ; 2) menentang hukum kodrat dengan menghapuskan hak pribadi untuk memiliki sesuatu, dan dengan melimpahkan tanggung jawab orang tua dalam keluarga kepada negara; 3) negara tidak lagi berperan sebagai penjaga yang melindungi namun sebagai pengatur yang merampas hak warganya; 4) menyebabkan kehancuran masyarakat terutama para pekerja/buruh sendiri; 5) mengabaikan Tuhan, mengabaikan kebebasan manusia dan mengabaikan kebahagiaan kekal dengan memusatkan perhatian kepada perolehan kesenangan materi.
Pertama, dengan mempertentangkan ‘milik bersama’ dengan ‘milik pribadi’, kaum sosialis gagal melihat keuntungan bahwa milik pribadi sesungguhnya dapat mendukung dan melayani kepemilikan bersama. Seseorang dapat memberikan sebagian miliknya untuk mendukung kebutuhan komunitas, dan hal ini dapat mempengaruhi orang lain melakukan yang sama, ataupun mendorong orang lain yang turut menikmati keuntungannya untuk mendukung komunitas dengan menyumbangkan sesuatu yang ada padanya -jika tidak dalam bentuk materi, dapat pula dalam bentuk lain, seperti jasa ataupun pelayanan. Dengan demikian, keberagaman kelompok dalam komunitas diarahkan untuk saling mendukung dan melengkapi di dalam komunitas. Hal ini diabaikan dalam sistem sosialisme,  yang ingin mereduksi masyarakat menjadi satu kelas (lih. RN 17). Ini bertentangan dengan rencana Allah, sebab meskipun martabat manusia itu sama, namun manusia diciptakan dengan bermacam kemampuan dan talenta, supaya mereka dapat saling bekerja sama dan saling mendukung demi kebaikan bersama.[2] Prinsip keberagaman yang saling mendukung juga terjadi di dalam tubuh manusia, keluarga dan tempat kerja. Tubuh terdiri dari banyak anggota tubuh, dan tiap anggota tubuh mempunyai fungsinya sendiri-sendiri, tetapi semua bekerja sama untuk mendukung satu sama lain. Dengan cara ini kebaikan satu anggota menjadi penyebab dari kebaikan seluruh tubuh. Maka usaha-usaha untuk menyeragamkan semua anggota (misalnya tubuh hanya terdiri atas tangan-tangan) bukan saja tidak alami, tetapi juga mustahil, sebab seandainya dilakukan-pun akan menghasilkan tubuh yang tidak lengkap dan tidak seimbang.
Selain itu, mempertentangkan milik bersama dengan milik perorangan dapat mengakibatkan timbulnya anggapan bahwa perorangan adalah ancaman bagi komunitas, sehingga keadaan ini memupuk persaingan yang tidak sehat dan kebencian antar anggota. Oleh karena itu, Paus Leo XIII mengatakan bahwa kita tidak dapat menepis kemiskinan dengan menghapuskan kelas/tingkatan kelompok dalam masyarakat. Usaha apapun untuk menghapuskan kelompok-kelompok tersebut hanya akan mengarah kepada kebencian dan kekerasan. Paus Yohanes Paulus II menghubungkan masalah ini, bersamaan dengan berbagai masalah ketidakadilan yang terjadi di tingkat internasional maupun nasional, sebagai penyebab terjadinya Perang Dunia pertama dan kedua (lih. CA 17), dan berbagai perang revolusi yang terjadi di seluruh dunia.
Maka, klaim para sosialis, bahwa gagasan kolektivism diambil dari kehidupan jemaat perdana juga tidak tepat. Sebab praktek kepemilikan bersama dalam Gereja awal dilakukan secara sukarela, dan tidak dipaksakan oleh pihak tertentu.[3] Maka ide untuk memaksakan konsep kepemilikan bersama oleh Negara itu tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci. Kaum sosialis juga gagal melihat, bahwa “kebaikan bersama” yang harus dilindungi oleh pihak otoritas harus berarti “kebaikan untuk semua orang”. Maksudnya, kebaikan bersama ini harus menjadi kebaikan untuk setiap orang, setiap keluarga, komunitas dan negara. Maka aturan dasarnya harusnya adalah: apa yang diusahakan harus mendatangkan kebaikan, baik untuk komunitas, maupun untuk perorangan.[4] Hanya dengan memusatkan perhatian kepada kepentingan komunitas saja namun mengabaikan kepentingan perorangan, itu bukan kebaikan bersama. Demikian pula, jika tugas perorangan sebagai orang tua untuk mendukung keluarga diambil alih oleh pemerintah, itu juga pada gilirannya akan mengganggu hubungan kodrati antara orang tua dan anak dalam keluarga. Padahal seharusnya sebuah keluarga adalah “sel pokok kehidupan sosial” (KGK 2207) sehingga jika orang bekerja untuk kebaikan keluarganya, artinya ia juga bekerja untuk kebaikan bersama di dalam masyarakat.
Kedua, prinsip utama sosialisme -yaitu kepemilikan bersama- adalah bertentangan dengan hukum kodrat dan hanya menyebabkan ketidakadilan kepada manusia dan keluarganya; karena prinsip tersebut menyerang martabat manusia. Sebab setiap manusia diciptakan menurut gambar Tuhan dan diperintahkan agar berkembang biak dan menguasai bumi (lih. Kej 1:26,28), maka kelangsungan hidup manusia itu sendiri dimungkinkan oleh adanya kepemilikan pribadi/ perorangan. Sebab, bagaimana mungkin manusia dapat mempunyai motivasi untuk menguasai hal-hal di bumi jika ia tidak diperbolehkan untuk memilikinya? Oleh karena itu penolakan atas hak perorangan untuk memiliki sesuatu sebagai hasil jerih payahnya dan membuat segala sesuatu menjadi milik bersama, sesungguhnya bertentangan dengan kodrat (lih. RN 9,13,47). Menurut Paus Leo XIII, penolakan atas hak seseorang untuk memiliki properti adalah tidak adil bagi orang yang bekerja tersebut (lih. RN 10), sebab orang berhak untuk mempunyai kepemilikan terhadap buah hasil karyanya untuk mendukung kehidupan keluarganya. Tanpa hak untuk memiliki, maka orang akan bekerja seperti robot, tanpa tujuan dan harapan, tanpa kebebasan untuk mengatur penggunaan gajinya, tidak punya hak apapun untuk memelihara diri sendiri dan keluarganya untuk perbaikan kehidupan mereka (lih. RN 5), ataupun merencanakan masa depan mereka. Dengan sistem sosialisme, semua ini diatur oleh negara, negara ditempatkan di atas manusia. Padahal sebenarnya manusialah yang mengatasi negara: artinya, manusia ada lebih dahulu dari negara (lih. RN 7), dan negara terbentuk untuk melayani kesejahteraan manusia.
Selanjutnya, dengan negara mengambil alih tugas kewajiban bapa/orang tua terhadap anak-anak mereka, negara seolah meniadakan peran dan keberadaan keluarga, dengan demikian,  meniadakan konsep bahwa bapa bertugas untuk menghidupi keluarganya (lih. RN 12-14). Padahal bapa dan ibu adalah tanda sakramental akan kasih Tuhan kepada anak-anak mereka, sebagaimana terlihat dalam hal prokreasi dan pendidikan anak-anak.[5] Tidak mengherankan, jika negara menggantikan peran orang tua dalam keluarga, maka negara sesungguhnya mengancam keberadaan keluarga itu sendiri. Sebab bagaimanapun juga negara tidak dapat menggantikan peran orang tua dalam hal mengasihi anak-anak mereka, apalagi menggantikan peran orang tua sebagai tanda yang kelihatan akan kasih Tuhan yang memberikan diri-Nya kepada anak-anak mereka.
Jelaslah, dengan bertujuan untuk menghapuskan adanya kelas dalam masyarakat dan mengendalikan kehidupan keluarga warga negaranya, negara gagal untuk menerapkan keadilan, dalam hal ini adalah keadilan distributif, yaitu keadilan untuk memberikan apa yang layak kepada setiap warga negara menurut kontribusi dan kebutuhannya (lih. KGK 2411). Sebab kenyataannya, setiap keluarga mempunyai kebutuhan dan kontribusi yang khusus sendiri-sendiri, sehingga upaya apapun untuk menggeneralisasi aspek-aspek ini atas nama sistem sosial, menjadi tidak adil. Contohnya, keluarga yang memiliki lima orang anak, pasti mempunyai kebutuhan finansial yang lebih besar daripada keluarga lain yang hanya mempunyai satu orang anak. Maka, permasalahan akan muncul ketika negara harus menentukan kepemilikan bersama yang cocok untuk kedua kasus tersebut. Sebagai akibatnya, hal ini dapat membuka jalan bagi keterlibatan negara yang lebih besar, yaitu dengan mengatur jumlah anak di dalam keluarga, sebagaimana yang kini terjadi di Cina, dengan kebijakan hanya satu anak saja (one child policy) untuk setiap keluarga.
Ketiga, dengan membuat semua kepemilikan sebagai milik bersama, negara menyerap semua perorangan dan keluarga (lih. RN 35), dan dengan demikian merampas hak-hak mereka, bukannya melindungi dan menguatkannya. Lihatlah bahwa salah satu perintah Allah adalah, “Janganlah mengingini rumah sesamamu …. atau apapun yang dipunyai sesamamu.” (Kel 20:17) Dengan demikian pelimpahan kepemilikan perorangan kepada pemerintah, merupakan pelanggaran terhadap perintah ini, sebab Negara menjadi pihak yang mengingini milik perorangan. Ini bagaikan wasit yang seharusnya memimpin pertandingan, malah bermain sendiri sebagai pemain. Dengan sistem ini, negara dapat menjadi terlibat terlalu jauh dalam kehidupan keluarga warganya. Sebagai contoh, kebijakan ‘satu anak saja’ dalam keluarga, sesungguhnya negara telah melanggar hak setiap pasangan suami istri untuk secara alami merencanakan jumlah anak dalam keluarga mereka. Kebijakan ini bahkan dapat mendorong pasangan melakukan aborsi, sesuatu yang mungkin tidak perlu terjadi jika kebijakan satu anak itu tidak ada.
Keempat, sistem sosialisme dapat mengarah kepada kehancuran masyarakat, terutama para pekerja/ buruh yang menjadi tujuan prinsip ini diterapkan. Sebab dengan diterapkannya sistem ini maka manusia dilihat tidak lagi sebagai pribadi, tetapi sebagai elemen ekonomi tertentu, yang dipergunakan untuk mencapai kebutuhan material. Tak mengherankan, dengan menerapkan prinsip ini, manusia diarahkan kepada “atheisme dan kebencian terhadap pribadi manusia” (CA 14), sebab sesama manusia lebih dipandang sebagai alat dan saingan untuk mencapai kebutuhan materi, dan bukan sebagai pribadi untuk dikasihi dan didukung untuk mencapai kebahagiaannya. Paus Benediktus XVI menyamakan prinsip materialisme dengan prinsip yang menyamakan manusia sebagai “semata-mata produk keadaan ekonomi” (Spe Salvi 21). Ini bertentangan dengan kebenaran tentang manusia, yaitu bahwa keberadaan manusia lebih penting daripada harta miliknya, being is more important than having. Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa,”Seperti kegiatan manusia itu berasal dari manusia, maka diatur demi [kebaikan] manusia. Sebab ketika manusia bekerja, ia tak hanya mengubah benda-benda dan masyarakat, namun ia juga mengembangkan dirinya juga…. Seorang manusia lebih berharga dari dirinya sendiri daripada dari apa yang dimilikinya.”[6]
Selanjutnya penghapusan kelas dalam masyarakat dapat memimpin kepada masalah lainnya, sebab kepemilikan bersama dapat memberikan keuntungan bukan kepada semua masyarakat, tetapi hanya kepada sejumlah orang-orang tertentu, dengan kepentingan golongan (lih. CA 14), yang bertindak sebagai administrator yang bertindak atas nama negara. Maka ini hampir sama dengan menciptakan sistem tuan tanah secara nasional. Jika ini yang terjadi, maka kaum miskin yang harusnya memperoleh keuntungan, malah menjadi korban yang pertama. Dengan demikian jelaslah bahwa upaya apapun untuk menghapus dua kelompok masyarakat (pemilik modal dan pekerja/buruh) adalah upaya yang bertentangan dengan kodrat, karena kedua kelompok itu memang dimaksudkan untuk saling mendukung satu sama lain (lih. RN 19); dan usaha untuk menghapuskannya hanya akan mengakibatkan konflik-konflik lainnya. Maka hal yang perlu diusahakan adalah sinergi antara keduanya, hubungan yang saling mendukung satu sama lain, atas dasar penghormatan akan martabat manusia.
Akhirnya, upaya kaum sosialis untuk mencapai keadaan impian tanpa Tuhan adalah sesuatu yang tidak mungkin, dan karena itu tidak mungkin tercapai (lih. RN 16). Pengingkaran akan keberadaan Tuhan, yang menjadi titik awal prinsip kaum sosialis, tidak akan membawa manusia kepada keadaan yang baik. Dengan menerapkan prinsip sosialisme, maka manusia tidak diarahkan untuk menaati hukum Tuhan, namun diarahkan untuk menempatkan ideologi mereka di atas manusia. Padahal manusia tidak akan pernah lebih adil dari Tuhan. Hukum Tuhan yang sempurna mengatasi manusia. Maka penolakan akan Tuhan akan mengarahkan manusia kepada kehancuran. Inilah mengapa sosialisme menghantam kebutuhan manusia yang paling hakiki, yaitu untuk bertindak sesuai dengan kodratnya. Jika manusia menolak untuk taat kepada hukum Tuhan, maka “alam berontak melawan manusia dan tidak lagi mengenali manusia sebagai tuannya.” (SRS 30). Hidup menjadi sulit, manusia akan menderita dan jatuh ke dalam bentuk perbudakan benda-benda materi. Dengan demikian, tujuan utama untuk menghilangkan penderitaan yang disebabkan oleh orang-orang kaya, tidak terwujud, tetapi hanya diubah menjadi jenis penderitaan yang berbeda. Contohnya, di Cina, upaya menghindari kemiskinan material menghasilkan kemiskinan rohani, yang mengakibatkan keputusasaan, ketiadaan harapan atau bahkan tingkat bunuh diri yang tinggi.[7].
Sesungguhnya, upaya manusia untuk menghapuskan penderitaan sama sekali, nampaknya tidak akan pernah tercapai, sebab manusia pada dasarnya pasti akan mengalami penderitaan walaupun kadarnya berbeda-beda pada tiap orang. Manusia memang perlu terus berjuang di dalam kehidupan ini. Gereja sadar bahwa penderitaan dan kesulitan tidak akan berakhir di dunia (lih. RN 18), sehingga manusia harus menghadapinya, dan bukan berpura-pura bahwa penderitaan itu tidak ada. Sebaliknya, manusia perlu mencari jalan keluarnya, dan untuk melakukan itu manusia dari kedua golongan kelas (baik pemilik modal maupun pekerja) perlu bekerjasama dan saling membantu. Baik Paus Leo XIII maupun Yohanes Paulus II kemudian mengusulkan diadakannya kerjasama berdasarkan kasih antara pemilik modal dan pekerja untuk memajukan lapangan kerja yang menguntungkan, dengan mengadakan keuntungan melalui pelatihan dan berbagai bentuk asosiasi, koperasi kredit, pendidikan umum, pelatihan profesional, berbagai bentuk partisipasi di dalam kehidupan di lingkungan kerja maupun masyarakat pada umumnya.[8] Dengan demikian jurang pemisah antara yang kaya dan miskin dapat dijembatani dengan keadilan dan cinta kasih, dan bukan dengan pertarungan antar golongan dan penghapusan kelas/ kelompok.
Maka kesimpulannya, kesalahan utama Sosialisme adalah karena gerakan tersebut: 1) mengabaikan martabat manusia, karena manusia dianggap semata-mata hanya bagian dari sistem (lih. AC 13); 2) menentang hak-hak kodrati manusia, yang terlihat jelas di dalam hal penghapusan kepemilikan perorangan, sehingga mengakibatkan efek negatif terhadap keluarga dan masyarakat; 3) mengusahakan tercapainya keadaan ideal tetapi tanpa melibatkan Tuhan dan prinsip-prinsip Kristiani, dan upaya ini terbukti tidak berhasil. Menanggapi masalah ini, Paus Leo XIII menggarisbawahi ajaran sosial Gereja untuk mempengaruhi pikiran dan hati manusia agar mau tunduk kepada prinsip-prinsip Tuhan. Yang pertama dari prinsip ini adalah pentingnya mempertahankan kepemilikan perorangan yang selanjutnya harus diikuti dengan penggunaan kepemilikan ini demi perbaikan/ peningkatan perorangan maupun komunitas (lih. RN 15). Prinsip kedua adalah pentingnya untuk menerapkan prinsip Injil, yaitu keadilan dan kasih. Pemilik modal dan pekerja harus menerima apa yang menjadi hak mereka; dan selanjutnya, mereka yang dipercaya banyak harus memberi lebih banyak. Juga, setiap orang harus mau berkorban demi orang lain, terutama demi mereka yang miskin. Keberpihakan Gereja kepada kaum miskin mengambil dasar dari teladan Yesus dan perintah-Nya. Yesus sendiri merangkul kemiskinan dan penderitaan ketika hidup di dunia, maka kita akan menemukan Dia di dalam wajah kaum miskin. Hanya dengan kedua prinsip ini, yaitu keadilan dan kasih, kita dapat menemukan jalan untuk memperbaiki masyarakat, sambil menantikan tercapainya masyarakat yang sempurna, yaitu dalam Kerajaan Allah di Surga.

CATATAN KAKI:
  1. See Karl Marx, Communist Manifesto, Penguin (2002) and  “Socialism” Encyclopedia Britannica 2006. Encyclopædia Britannica Online. Karl Marx posited that socialism would be achieved via class struggle and a proletarian revolution, and would represent a transitional stage between capitalism and communism. []
  2. Paus Leo XIII dalam Rerum Novarum 19, berkata, “Setiap [golongan] memerlukan [golongan] yang lain. Pemilik modal tak dapat berbuat sendiri tanpa pekerja, demikian pula pekerja tanpa pemilik modal. Perjanjian timbal balik menghasilkan cantiknya keteraturan yang baik, sedangkan konflik yang tak berkesudahan menghasilkan kebingungan dan suasana barbar yang liar.” []
  3. Lihat Kis 4:34, sebagaimana dijelaskan oleh Paus Leo dalam Rerum Novarum29: bagaimana para Rasul membagikan derma kepada jemaat yang lebih miskin, yang diberikan secara sukarela.  Tertullian, dalam Apologia secunda, 39, (Apologeticus, cap. 39; PL 1, 533A) menyebut hal ini sebagai perbendaharaan kesalehan, yaitu ketika jemaat memberi makan kepada yang membutuhkan, menguburkan yang wafat dan mendukung para yatim piatu dan para janda…. []
  4. St. Thomas Aquinas dalam Summa Theology (ST IIa- II ae, q. LXI, a 1, ad 2) mengajarkan, “Karena suatu bagian maupun keseluruhan dalam arti tertentu adalah sama, maka apa yang menjadi milik keseluruhan juga menjadi milik bagian tersebut.” []
  5. lih. KGK 1652 dan Ekshortasi Apostolik Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, 14 []
  6. Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, 35. Lihat juga surat ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Laborem Exercens 9, “Melalui pekerjaan, manusia tidak hanya mengubah alam dan menyesuaikannya menurut kebutuhannya, tetapi ia juga mencapai pemenuhannya sebagai manusia dan…. menjadi semakin manusiawi” []
  7. Menurut Association for Asian Research, as on http://www.asianresearch.org/articles/1697.html tingkat bunuh diri di China termasuk yang tertinggi 2.3 lebih tinggi dari angka rata-rata bunuh diri di dunia []
  8. lih. RN 55, CA 16 []

Source : katolisistas.org  Renungan Iman

Post a Comment

Previous Post Next Post