Apakah ada jam khusus untuk berdoa?


Katekismus Gereja Katolik mengajarkan tentang waktu doa sebagai berikut:
KGK 2742        “Tetaplah berdoa” (1 Tes 5:17). “Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita” (Ef 5:20). “Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang kudus” (Ef 6:18). “Kita tidak diwajibkan untuk tetap bekerja, berjaga-jaga, dan berpuasa. Tetapi adalah satu hukum bagi kita, supaya berdoa dengan tidak putus-putusnya” (Evagrius, cap. pract. 49). Semangat yang tidak kenal lelah ini hanya dapat berasal dari cinta. Perjuangan doa melawan kelambanan dan kemalasan kita adalah perjuangan untuk mendapatkan cinta yang rendah hati, penuh kepercayaan dan ketabahan. Cinta ini membuka hati kita untuk tiga kepastian iman yang gemilang dan menghidupkan:
Memang ada orang-orang yang menyukai memilih jam-jam tertentu untuk berdoa, misalnya jam 3 siang, mengacu kepada jam wafat-Nya Kristus, sebagaimana dianjurkan pada devosi Kerahiman Ilahi. Ada yang memilih untuk melakukan doa jam 6 pagi, 12 siang dan 6 sore, diawali dengan doa Malaikat Tuhan (Angelus) untuk merenungkan peristiwa penjelmaan Kristus Sang Sabda menjadi manusia untuk menyelamatkan kita. Atau ada orang-orang lain yang memilih waktu-waktu lainnya untuk berdoa. Semua itu baik, sebab dikatakan bahwa yang dikehendaki Tuhan adalah sepanjang hari, kita mengarahkan hati kita kepada Tuhan, dan menujukan segala sesuatu yang kita pikirkan, katakan dan kerjakan sebagai persembahan dan ucapan syukur kepada Tuhan. Ini adalah perjuangan bagi kita semua sebagai murid Kristus, dan umumnya, kita jatuh bangun di dalamnya, justru karena kita tidak/ belum terbiasa membawa serta Tuhan dalam segala hal yang kita pikirkan, katakan dan lakukan, padahal seharusnya demikian. Jika kita mengikutsertakan Tuhan di dalam segala sesuatu, kita akan dapat menghindari prasangka buruk terhadap orang lain, mengucapkan kata-kata kasar, dan bersikap atau berbuat jahat ataupun merugikan orang lain. Di sinilah seharusnya kita menggabungkan sifat Marta dan Maria, yaitu bekerja dan berdoa (dan sebaliknya), dan menjadikan keseluruhan hidup kita sebagai doa tanpa henti kepada Allah. Penggabungan doa dan karya inilah yang secara mengagumkan terjadi dalam kehidupan banyak para orang kudus (Santa dan Santo) dalam Gereja Katolik, dan karena itu kita perlu meniru teladan hidup mereka.
Jika seluruh pikiran dan hati kita terarah kepada Tuhan, maka kehendak-Nya menjadi kehendak kita, sehingga apa yang kita doakan terkabul, sebab memang itulah yang kita mohonkan dalam doa Bapa Kami, yang diajarkan oleh Kristus kepada kita, “Jadilah kehendak-Mu, di atas bumi seperti di dalam Surga”. Dan sukacita dan damai sejahtera menyertai kita, sebab kita percaya bahwa Allah adalah Bapa kita yang selalu menghendaki yang terbaik untuk terjadi dalam kehidupan kita.



Ditulis oleh: Stefanus Tay & Ingrid Tay
Stefanus Tay, MTS dan Ingrid Listiati, MTS adalah pasangan suami istri awam dan telah menyelesaikan program studi S2 di bidang teologi di Universitas Ave Maria - Institute for Pastoral Theology, Amerika Serikat. (Katolisitas.org)

Post a Comment

Previous Post Next Post