Kitab Deuterokanonika dalam Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks

Kitab-kitab Deuterokanonika dalam Alkitab adalah kitab-kitab yang dipandang sebagai bagian yang kanonik dari Perjanjian Lama Kristiani oleh Gereja Katolik Roma dan Kekristenan Timur akan tetapi tidak terdapat dalam Alkitab Ibrani, yang kerap dipandang protokanonik. Perbedaan ini telah menimbulkan perdebatan dalam Gereja awal mengenai apakah kitab-kitab tersebut dapat dibacakan dalam gedung-gedung Gereja dan karena itu dapat diklasifikasikan sebagai naskah-naskah yang kanonik.

Kata deuterokanonika berasal dari Bahasa Yunani yang artinya 'termasuk kanon kedua'. Etimologi kata ini membingungkan, namun mengindikasikan keragu-raguan dalam penerimaan kitab-kitab tersebut ke dalam kanon oleh beberapa pihak. Perlu dicermati bahwa istilah tersebut tidak berarti non-kanonik; sekalipun istilah tersebut kadang-kadang digunakan sebagai eufemisme untuk menyebut kitab-kitab Apokrif.

Umat Kristiani Protestan biasanya tidak menggolongkan kitab apapun sebagai kitab "deuterokanonika"; kitab-kitab itu mereka keluarkan dari Alkitab, atau mengelompokkannya dalam bagian tersendiri yang disebut Apokrif. Kemiripan makna antara istilah-istilah yang berbeda ini menimbulkan kebingungan antara deuterokanonika Katolik Roma dan Ortodoks dengan naskah-naskah yang dianggap non-kanonik oleh satu atau kedua kelompok umat Kristiani tersebut.


Gereja Katolik

Istilah Deuterokanonika pertama kali digunakan pada tahun 1566 oleh orang-orang Kristen yang sebelumnya beragama Yahudi dan teolog Katolik Sixtus dari Siena untuk menyebut naskah-naskah Kitab Suci Perjanjian Lama yang kanonisitasnya ditetapkan bagi umat Katolik oleh Konsili Trente, namun telah dikeluarkan dari beberapa kanon terdahulu, teristimewa di Timur. Penerimaan akan kitab-kitab tersebut di antara umat Kristiani awal tidaklah universal, namun konsili-konsili regional di Barat menerbitkan kanon-kanon resmi yang memasukkan kitab-kitab tersebut sejak abad ke-4 dan ke-5.

Naskah-naskah Kitab Suci deuterokanonika adalah:


    Pengaruh Septuaginta

    Sebagian besar kutipan Perjanjian Lama dalam Perjanjian Baru diambil dari Septuaginta Yunani�yang mencakup kitab-kitab deuterokanonika maupun apokrifa�baik deterokanonika maupun apokrifa secara kolektif disebut anagignoskomena. Beberapa kitab tampaknya telah ditulis naskah aslinya dalam Bahasa Ibrani, namun naskah asli tersebut sudah lama hilang. Namun temuan-temuan arkelogis pada abad terakhir telah menemukan sebuah naskah yang berisi hampir ? dari kitab Sirakh, dan fragmen-fragmen dari kitab-kitab lainnya telah ditemukan pula. Septuaginta secara luas diterima dan digunakan oleh orang-orang Yahudi pada abad pertama Masehi, bahkan di wilayah Romawi Provinsi Iudaea, dan oleh karena itu secara alami menjadi naskah yang paling luas digunakan oleh umat Kristiani purba.

    Dalam Perjanjian Baru, Ibrani 11:35 menyebutkan suatu kejadian yang hanya secara eksplisit tercatat dalam salah satu dari kitab-kitab deuterokanonika (2 Makabe 7). bahkan dapat dikatakan bahwa, 1 Korintus 15:29 diambil dari 2 Makabe 12: 44, "karena jika dia tidak mengharapkan orang-orang mati bangkit kembali, maka merupakan kesia-siaan dan kebodohan untuk berdoa bagi orang-orang yang sudah mati". 1 Korintus 15:29 tentunya menunjukkan adanya jerih-payah untuk membantu orang-orang mati agar terbebas dari dosa-dosa mereka. (Pembaptisan juga bermakna jerih payah penyelamatan bagi orang lain dalam Perjanjian Baru, bdk. Matius 20:22-23, Markus 10:38-39 dan Lukas 12:50)

    Kendati demikian, Yosefus (sejarawan Yahudi) sepenuhnya menolak kitab-kitab deuterokanonika, sementara Athanasius yakin bahwa kitab-kitab tersebut berfaedah untuk dibacakan, namun kecuali Kitab Barukh dan Surat Yeremia, kitab-kitab tersebut tidak terdapat di dalam kanon.


    Pengaruh Vulgata

    Hieronimus dalam prolognya menyebutkan sebuah kanon yang tanpa kitab-kitab deuterokanonika, kecuali kitab Barukh. Sekalipun demikian, Vulgata Hieronimus memasukkan kitab-kitab deuterokanonika serta apokrif. Dia mengaanggap kitab-kitab tersebut sebagai Kitab Suci dan mengutip kalimat-kalimat dari kitab-kitab itu sekalipun dia menyebutkan bahwa kitab-kitab itu "tidak terdapat dalam kanon". Dalam prolognya untuk kitab Yudit, tanpa menggunakan kata kanon, dia menyebutkan bahwa Yudit dianggap sebagai Kitab Suci oleh Konsili Nicea Pertama. Dalam balasannya kepada Rufinus, dengan gigih dia membela bagian-bagian deuterokanonika dari kitab Daniel sekalipun orang-orang Yahudi pada zaman itu tidak melakukan hal itu:
    Dosa apakah yang telah kuperbuat jikalau aku mengikuti penilaian gereja-gereja? Namun barang siapa yang menuduh aku mengikuti keberatan-keberatan bahwa orang-orang Ibrani lazimnya menolak Riwayat Susana, Nyanyian Tiga Anak Suci, dan riwayat Baal dan Naga, yang tidak terdapat dalam gulungan kitab Ibrani, membuktikan bahwa dia hanyalah seorang penjilat yang dungu. Karena aku tidak mengikuti pandangan-pandangan pribadiku sendiri, melainkan keterangan-keterangan bahwa mereka [orang-orang Yahudi] lazimnya menentang kita. (Terhadap Rufinus, 11:33 402 Masehi]).
    Dengan demikian Hieronimus mengakui prinsip yang digunakan untuk menerapkan kanon �penilaian Gereja, bukannya penilaiannya sendiri atau pun penilaian orang-orang Yahudi.
    Vulgata juga penting sebagai tolok ukur kanon dalam hal kitab-kitab manakah yang kanonik. ketika Konsili Trente menyusun daftar kitab-kitab yang termasuk dalam kanon, konsili ini mengkualifikasikan kitab-kitab "seluruhnya beserta semua bagiannya, sebagaimana yang biasa dibacakan dalam Gereja Katolik, dan sebagaimana yang terdapat dalam edisi Vulgata Latin Kuno".



    Ortodoks Timur

    Gereja Ortodoks Timur secara tradisional memasukkan semua kitab dari Septuaginta ke dalam Perjanjian Lamanya. Perbedaan-perbedaan regional timbul karena adanya variasi-variasi yang berbeda dari Septuaginta, sehingga ada yang jumlah kitabnya lebih banyak dari pada yang lain.

    Orang Yunani menggunakan kata Anagignoskomena untuk menamakan kitab-kitab dari Septuaginta Yunani yang tidak terdapat dalam Tanakh Ibrani. Kitab-kitab tersebut mencakup seluruh kitab deuterokanonika Katolik Roma di atas, plus naskah-naskah berikut ini:

    Seperti halnya kitab-kitab deuterokanonika Katolik, naskah-naskah tersebut diintegrasikan dengan keseluruhan Perjanjian lama, bukannya dicetak dalam bagian terpisah. Sebagian besar versi Alkitab Protestan meniadakan kitab-kitab tersebut. Umumnya diyakini bahwa Yudaisme secara resmi mengeluarkan kitab-kitab deuterokanonika dan naskah-naskah tambahan berbahasa Yunani yang ada dalam daftar di atas dari Kitab Suci mereka dalam Konsili Jamnia kira-kira tahun 100 Masehi, namun pernyataan ini juga masih dierdebatkan.

    Berbagai Gereja Ortodoks umumnya memasukkan naskah-naskah (yang aslinya terdapat dalam Bahasa Yunani) tersebut, dan beberapa di antaranya memasukkan Mazmur Salomo ke dalam Alkitabnya. Dalam Gereja-Gereja ini, kitab 4 Makabe kerap dimasukkan ke dalam suatu appendix, karena di dalamnya terkandung semacam tendensi ke arah faham pagan.

    Dalam Gereja Ortodoks Ethiopia, salah satu denominasi dalam Ortodoksi Oriental, terdapat pula tradisi yang kuat untuk mempelajari Kitab Henokh dan Kitab Yobel. Kitab Henokh disebut-sebut di Surat Yudas dalam Perjanjian Baru (Yudas 1:14-15).


     

    Perjanjian Baru

    Istilah deuterokanonika kadang-kadang digunakan untuk menyebut antilegomena yang kanonik, yakni kitab-kitab Perjanjian Baru yang, seperti kitab-kitab deuterokanonika Perjanjian lama, tidak diterima secara universal oleh Gereja purba, namun yang kini tercakup dalam ke-27 kitab Perjanjian Baru yang diakui oleh hampir semua umat Kristiani. Kitab-kitab deuterokanonika Perjanjian Baru adalah sebagai berikut:

    Post a Comment

    Previous Post Next Post