Mengapa kita merayakan Misa Imlek?

Ada umat yang bertanya, “Mengapa kita merayakan Misa Imlek? Bukankah tidak ada kalender liturgy yang menyebutkan soal Imlek ini?” Saya rasa ini pertanyaan yang baik untuk saya jelaskan.

Tahun Baru Cina atau Imlek atau Sincia merupakan perayaan penting orang Tionghoa. Perayaan tahun baru Imlek dimulai pada hari pertama bulan pertama penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh, tanggal kelima belas, saat bulan purnama. Perayaan Imlek sering juga disebut perayaan musim semi karena jatuh pada saat musim semi mulai tiba menggantikan musim dingin yg tidak enak. Tahun ini adalah tahun 2562 masuk Tahun Kelinci emas. Di Tiongkok, tradisi perayaan Tahun Baru Imlek amat beragam. Namun, kesemuanya mempunyai kemiripan seperti perjamuan makan malam, serta penyulutan kembang api. Tahun Baru Imlek dirayakan orang Tionghoa baik yang tinggal di Daratan Tiongkok, maupun di Negara lain termasuk Indonesia.


Mengapa Gereja “ikut merayakan” Imlek? Hal ini pertama-tama berkaitan dengan Inkulturasi. Inkulturasi, singkatnya, merupakan adaptasi ajaran Gereja pada kebudayaan setempat/non-Kristiani. Praktek inkulturasi sebenarnya sudah dimulai semenjak jaman para rasul. Kesepakatan para Rasul untuk menerima pengikut Kristus non-Yahudi yang memiliki adat-istiadat berbeda, sebenarnya merupakan praktek inkulturasi pertama (Kisah Para Rasul 15:1-21). Tentu saja inkulturasi dapat diterapkan dengan sejumlah persyaratan tertentu. Misalnya, kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Kristiani.

Di Indonesia cukup banyak paroki merayakan Misa Imlek. Di paroki St Andreas Kedoya, paroki Kampung Duri atau paroki MBK, Tomang juga selalu ada misa Imlek, lengkap dengan dekorasi gaya imlek. Di beberapa paroki malah misa dirayakan dalam bahasa Mandarin.

Memang benar bahwa pada awalnya, tahun baru Imlek berkaitan erat dengan agama Khonghucu. Namun dalam perjalanan waktu, Imlek menjadi semacam perayaan reuni keluarga Tionghoa. Di Cina sendiri, orang dari pelbagai tempat berusaha pulang kampung untuk dapat berkumpul dengan keluarganya. Tahun 2011 ini, menurut harian KOMPAS, sebanyak 230 juta orang Cina melakukan perjalanan mudik. Suatu jumlah yang fantastis, hampir sama dengan seluruh penduduk Indonesia. Pemerintah Cina menyediakan KA tambahan hampir 300 KA ekstra setiap harinya. Kalau melihat betapa dahsyatnya jumlah orang Cina yang ingin merayakan, kita bisa membayangkan bahwa Imlek adalah amat penting bagi mereka.

Orang Tionghoa baik yang beragama Khonghucu, Katolik, Budha atau agama lain turut merayakan Imlek. Tahun baru Imlek sudah menjadi perayaan bersama, tidak lagi dimonopoli agama tertentu.

Hal ini sebenarnya mirip dengan kalender Internasional, yaitu kalender masehi yang awalnya adalah kalender kristiani. Tahun kelahiran Kristus yang amat dihormati, dijadikan awal penghitungan waktu (kalender) baru. Istilah resminya adalah Anno Domine atau Tahun Tuhan. Kurun waktu sebelum itu biasa disebut Sebelum Masehi atau Before Christ. Sekarang, Tahun Masehi dirayakan semua orang, tidak lagi monopoli umat Kristiani.

Karena Imlek sudah menjadi semacam tradisi atau budaya yaitu hari reuni keluarga sambil bagi2 ang pao dan jeruk, maka tidak ada salahnya umat Katolik ikut merayakannya, termasuk dalam misa. Tentu saja kita diharap tidak terlalu jauh masuk pada ritual agama Khonghucu. Misalnya bawa HIO dalam Misa.

Ketua Komisi Liturgi KWI, Mgr.Sutrisna Atmoko MSF juga tidak keberatan, sejauh Misa Imlek itu mendukung dan menambah semangat iman kita. Cukup banyak orang Tionghoa masuk Katolik karena merasa “disapa” identitasnya; sementara orang Tionghoa Katolik juga merasa senang dan tetap beriman teguh Katolik.

Gong Xi Fa Cai. (Tulisan ini sebagai penjelasan dalam Misa Imlek di paroki St.Helena, Lippo-Karawaci).

Heri Kartono, OSC
(parokisantahelena.blogspot.com)

Renungan Iman

Post a Comment

Previous Post Next Post