Latest News

Showing posts with label Tafsiran Alkitab. Show all posts
Showing posts with label Tafsiran Alkitab. Show all posts

Sunday, May 5, 2013

Apakah Arkeologi Menguatkan atau Menentang Injil ?




Bukti Ilmiah Injil

Apakah Arkeologi Menguatkan
atau Menentang Injil?

Pengantar

Ratusan penemuan arkeologis dari abad pertama telah digali. Apakah arkeologi meneguhkan atau melemahkan Injil bila detil-detil dalam Injil diperiksa?
Dasar pikirannya adalah jika detil-detil kurang penting dari Injil terbukti akurat dari waktu ke waktu, ini akan meningkatkan keyakinan kita dalam material lain dalam Injil yang tidak dapat langsung diperiksa.

Berikut contoh beberapa kasus bagaimana Injil dapat bertahan menghadapi serangan para kritikus.


Keakuratan Lukas sebagai Seorang Sejarawan

Lukas, adalah tabib dan sejarawan yang menulis Injil Lukas dan Kitab Kisah Para Rasul. Apakah Lukas adalah sejarawan yang dapat dipercaya bahwa ia menuliskan segala sesuatunya dengan benar? Ketika para arkeologis memeriksa detil-detil dari apa yang ia tuliskan, apakah mereka menyimpulkan bahwa Lukas teliti atau ceroboh?

Para sarjana melihat Lukas sangat akurat sebagai seorang sejarawan. Ia terpelajar. Ia pandai berbicara. Bahasa Yunani Lukas mendekati kualitas yang unggul. Ia menulis sebagai seorang pria berpendidikan, dan penemuan-penemuan arkeologis menunjukkan lagi dan lagi bahwa Lukas akurat dalam apa yang ia tuliskan.

    Misalnya, dalam Lukas 3:1, ia mencatat Lisanias sebagai raja wilayah Abilene sekitar tahun 27 M. Selama bertahun-tahun para sarjana menunjuk ini sebagai bukti bahwa Lukas tidak mengerti apa yang ia bicarakan, karena Lisanias bukan seorang raja melainkan pemerintah Chalcis setengah abad sebelumnya. Jika Lukas tidak dapat memberikan fakta dasar yang benar, maka tulisannya tidak dapat dipercaya.

     Tetapi  selanjutnya, sebuah prasasti yang berasal dari waktu ketika Tiberius, dari tahun 14 sampai 37 M, ditemukan. Prasasti itu menyebutkan Lisanias sebagai raja di Abilene, dekat Damaskus, persis seperti yang dituliskan Lukas.

    Contoh lain adalah Kisah Para Rasul 17:6, pada pemakaian kata 'politarchs' yang diterjemahkan sebagai `pembesar-pembesar kota`. Selama waktu yang lama, orang-orang berpikir bahwa Lukas keliru, karena tidak ditemukan bukti adanya istilah 'politarchs' di dokumen-dokumen Roma kuno.

     Tetapi kemudian sebuah tulisan yang tertoreh di sebuah lengkungan abad pertama, diawali dengan: 'Pada waktu ketika politarchs'. Anda dapat pergi ke British Museum dan melihatnya sendiri. Para arkeologis juga telah menemukan lebih dari 35 tulisan prasasti yang menyebutkan kata 'politarchs'. Beberapa dari tulisan ini ada di Tesalonika dari periode yang sama yang dirujuk oleh Lukas. Sekali lagi para kritikus salah dan Lukas yang benar.


Dalam Lukas 18:35 Yesus sedang berjalan ke Yerikho ketika Ia menyembuhkan seorang buta bernama Bartimeus, sementara Markus 10:46 berkata bahwa ia keluar dari Yerikho. Tidakkah ini merupakan kontradiksi yang tajam yang menimbulkan keraguan terhadap dapat dipercayanya Perjanjian Baru?

Tidak sama sekali. Itu muncul sebagai kontradiksi hanya karena Anda berpikir dalam istilah yang kontemporer, di mana kota-kota dibangun dan tetap begitu adanya. Namun tidaklah demikian kasusnya di masa lampau.

     Yerikho setidaknya berada di 4 lokasi berbeda 1/4 mil jauhnya pada masa-masa kuno. Kota itu dihancurkan dan dibangun kembali dekat persediaan air lain atau sebuah jalan baru atau lebih dekat ke sebuah gunung atau apa saja. Intinya adalah, Anda dapat keluar dari lokasi yang satu, di mana Yerikho ada dan menuju ke lokasi lain, di mana Yerikho juga ada.

     Jadi baik Lukas maupun Markus dapat sama-sama benar. Yesus bisa saja keluar  dari satu area di Yerikho dan masuk area Yerikho yang lain.

Seseorang arkeologis terkemuka dengan hati-hati memeriksa rujukan-rujukan Lukas pada 32 negara, 54 kota,dan 9 pulau, dan ia tidak menemukan satu kesalahan pun.
     Jika Lukas begitu akurat dan cermat dalam melaporkan sejarah, maka ia tentu secara akurat juga melaporkan hal-hal yang jauh lebih penting, tidak hanya baginya namun bagi orang-orang lain juga. Sebagai contoh tentang kebangkitan Yesus, bukti yang paling berpengaruh dalam ketuhanan-Nya, yang oleh Lukas ditegaskan dengan kuat oleh: 'banyak tanda ... membuktikan ...' (Kisah Para Rasul 1:3).


Bukti bahwa Yohanes Dapat Dipercaya

Bagaimana dengan Yohanes, yang Injilnya kadangkala dianggap mencurigakan karena ia berbicara tentang lokasi-lokasi yang tidak dapat dibuktikan benar?

Ada beberapa penemuan yang telah menunjukkan bahwa Yohanes sangat akurat. Sebagai contoh Yohanes 5:1-15 mencatat bagaimana Yesus menyembuhkan seorang cacat di kolam Betesda. Yohanes memberikan informasi detil bahwa kolam itu memiliki 5 serambi. Selama waktu yang lama orang-orang mengutip ini sebagai suatu contoh ketidakakuratan Yohanes, karena belum ditemukan satu tempat pun yang seperti itu.

     Namun baru-baru ini kolom Betesda telah digali. Kolam ini terdapat sekitar 40 kaki di bawah tanah. Kolam ini memiliki 5 serambi, tepat seperti yang dijelaskan oleh Yohanes. Dan ada juga penemuan-penemuan lain, seperti: kolam Siloam (Yohanes 9:7), sumur Yakub (Yohanes 4:12), bahkan identitas Pilatus sendiri, semuanya memberikan bukti ketepatan historis bagi Injil Yohanes.

     Jadi ini membantah tuduhan bahwa 'Injil Yohanes ditulis begitu lama setelah kehidupan Yesus sehingga itu tidak mungkin akurat'.


Sensus

Lukas 2:2 mencatat bahwa sensus yang membawa Yusuf dan Maria ke Betlehem dilangsungkan ketika Kirenius menjadi wali negeri di Siria dan selama pemerintahan Herodes Agung. Ini menimbulkan masalah yang signifikan karena Herodes meninggal tahun 4 SM, dan Kirenius mulai memerintah tahun 6 M. Bagaimana Anda menangani ketidaksesuaian ini?

Seorang arkeologis terkemuka bernama Jerry Vardaman telah menemukan sebuah koin dengan nama Kirenius di atasnya. Ini menunjuk Kirenius sebagai prokonsul Siria dan Kilikia dari tahun 11 SM sampai dengan setelah kematian Herodes. Dengan demikian maka ada 2 nama Kirenius: satu yang memerintah hingga 4 SM, dan satu lagi yang memerintah setelah 6 M. Suatu hal yang biasa bila banyak orang memiliki nama Roma yang sama. Sensus ini pasti berlangsung selama pemerintahan Kirenius yang lebih awal.


Keberadaan Nazaret

Matius 2: 23 mencatat sebuah kota Nazaret, tempat Yesus menghabiskan masa kecil-Nya.
Kota Nazaret tidak pernah disebutkan oleh Rasul Paulus, atau oleh Talmud (yang mendaftar 63 kota Galilea lainnya), atau oleh Josephus (yang mendaftar 45 desa dan kota Galilea lainnya, termasuk Japha, yang berlokasi tepat 1 mil jauhnya dari Nazaret saat ini). Tidak ada sejarawan atau ahli geografi kuno yang menyebutkan Nazaret sebelum permulaan abad keempat. Nama itu pertama kali muncul dalam literatur Yahudi dalam puisi yang ditulis sekitar abad ke 7 M. Adakah penemuan arkeologis bahwa Nazaret ada selama abad pertama?

Dr. James Strange dari University of South Florida mencatat bahwa ketika Yerusalem runtuh tahun 70M, para imam tidak lagi dibutuhkan dalam Bait Suci karena bait itu telah dihancurkan, jadi mereka diutus ke berbagai lokasi lainnya, bahkan sampai ke Galilea. Para arkeologis telah menemukan sebuah daftar dalam bahasa Aram yang menjelaskan ke-24 keluarga para imam yang dipindahkan, yang salah satu dari mereka dipindahkan ke Nazaret. Ini menunjukkan bahwa Nazaret benar-benar ada pada saat itu.


Sebuah Buku Sumber yang Luar Biasa Akurat

Peneguhan arkeologi yang berulang-ulang atas keakuratan Perjanjian Baru memberikan penguatan penting bahwa Perjanjian Baru dapat dipercaya. Ini sangat kontras dengan fakta bahwa arkeologi telah menghancurkan Mormonisme. 

     John Ankerberg dan John Weldon menyimpulkan Mormonisme dalam sebuah buku, 'Tidak ada kota-kota dalam Book of Mormon yang pernah ada. Tidak ada orang-orang, tempat, bangsa, atau nama dalam Book of Mormon pernah ditemukan. Tidak ada artifak-artifak Book of Mormon, tidak ada kitab-kitab Book of Mormon, tidak ada tulisan-tulisan prasasti Book of Mormon'.

     Seorang arkeologis terkemuka Australia, Clifford Wilson menulis, "Mereka yang mengetahui fakta-faktanya kini mengakui bahwa Perjanjian Baru harus diterima sebagai buku sumber yang luar biasa."

Sumber :
Lee Strobel, Pembuktian Atas Kebenaran Kristus, Penerbit Gospel Press, 
PO BOX 238, Batam Center, 29432. Fax 021-7470-9281

Source : pemudakristen.com

Apa Alasan Saya Mempercayai Alkitab ?




Alkitab - Isinya Yang Mengherankan
Salah satu alasan mengapa kita percaya Alkitab itu Firman Allah

Cara bagaimana Alkitab menjadi sebuah buku sungguh merupakan keajaiban.

Alkitab terdiri dari 66 buku. Tetapi apakah Anda tahu tentang 40 pengarang berbeda-beda yang telah menulisnya? Mereka menulis sendiri-sendiri, hampir-hampir tidak mengetahui bagian yang ditulis orang lain. Selanjutnya, Alkitab ditulis dalam kurun waktu 15 abad, dalam 3 bahasa, dan 3 benua yang berlainan. Namun demikian, sementara kita menyelidiki Kitab itu sekarang, Kitab itu hanya satu saja, bukan enam puluh enam. Inti pengajarannya hanya satu, isinya saling berpautan, berkembang menjadi satu kebenaran.

Untuk melihat pentingnya argumentasi ini, marilah kita ambil satu contoh. Misalnya, Anda sedang berusaha membuat satu buku yang terdiri dari bermacam-macam buku kesusastraan yang ditulis sejak abad pertama, pada masa agama Kristen baru berkembang. Ambillah bahan-bahan Anda dari: tulisan-tulisan papirus kuno, karya-karya pujangga Mesir kuno, karangan-karangan para ahli filsafat, buku-buku tentang kebijaksanaan kuno dari Timur atau buku apa saja yang Anda pilih. Dari setiap abad, ambillah beberapa jenis buku. Pilihlah bahan-bahan yang mewakili golongan dari pelbagai lapisan masyarakat: pedagang, buruh, pendeta, dan petani. Kumpulkan semuanya dan jilidlah menjadi satu buku. Sekarang, buku apa yang akan Anda peroleh? Bukankah itu suatu buku yang isinya sangat menggelikan, bertentangan, dan campur aduk?

Sebaliknya, Alkitab, walaupun cara penyusunannya sama, namun hasilnya sangat berbeda! Segala sesuatu tentang susunannya saling menunjang kesatuan Kitab itu. Tidak ada alasan mengapa Alkitab harus satu buku. Tetapi nyatanya memang demikian. Orang yang menyelidikinya dengan jujur tidak akan meragukannya, jika ia mau menyediakan waktu untuk menyelidikinya.

Para penulis Kitab Suci ini hampir-hampir tidak mempunyai kesamaan. Lihatlah pada kualifikasi mengarang mereka yang berbeda-beda. Sementara Musa mungkin seorang terpelajar, lulusan lembaga pendidikan yang terbaik di Mesir; Petrus sama sekali bukan seorang pengarang. Ia seorang nelayan, dan tidak ada catatan yang menunjukkan bahwa Petrus adalah seorang yang berpendidikan. Namun tulisan kedua orang itu penuh dengan hikmat Allah. Amos seorang gembala. Yosua adalah seorang jendral. Nehemia seorang juru minuman. Ada beberapa lagi, seperti: Perdana Menteri Daniel, Dokter Lukas, dan Raja Salomo, yang mungkin memiliki bakat alamiah untuk mengarang. Tetapi kebanyakan di antara mereka sama sekali tidak mempunyai bakat mengarang, namun secara sempurna orang-orang ini telah menggenapi tugasnya ikut ambil bagian dalam mengarang buku yang unik ini. Yang menjadi pertanyaan adalah, “Bagaimana mungkin?”

Hanya ada satu jawaban yang memuaskan. Dengan menggunakan kecakapan orang-orang ini, atau mengatasi ketidakmampuan mereka, Allah berbicara melalui mereka, dan menyebabkan mereka dapat menulis Kitab Suci itu sesuai dengan rencana-Nya yang ilahi.

Saya ingin Anda memperhatikan juga bahwa Alkitab itu ditulis pada waktu dan keadaan yang berbeda-beda. Musa menulis 5 buku pertama dari Perjanjian Lama (Pentateuch), ketika ia berada sendirian di padang gurun. Yeremia menulis dalam sebuah penjara bawah tanah yang lembab. Mazmur-mazmur indah dari Daud pasti ditulis di lereng bukit, sementara ia mengembalakan domba-dombanya; yang lainnya menulis pada waktu berperang. Paulus menulis banyak suratnya ketika ia dipenjarakan. Dokter Lukas kelihatannya menulis dalam semacam buku catatan harian. Yohanes, murid yang dikasihi Yesus, menulis di Pulau Patmos yang berbatu-batu.

Walaupun demikian, asal-mula yang berbeda-beda ini kelihatannya tidak membuat perbedaan sedikit pun pada berita-berita yang dituliskan. Setiap bagian sesuai pada tempatnya. Setiap bagian memberi sokongan pada keharmonisan Kitab ini secara keseluruhan.

Waktu-waktunya juga berbeda-beda. Beberapa ditulis pada suasana berbahaya, beberapa ditulis dalam keadaan yang damai. Pada jaman Daud menulis, ada banyak peperangan. Salomo menulis pada pemerintahannya yang damai. Banyak nabi menulis dalam keadaan sedih dan putus-asa. Tetapi tidak satu pun dari keadaan-keadaan ini yang mengurangi kesatuan dari Kitab ini. Hanya ada satu sistem doktrin, satu jalan keselamatan, dan satu hukum iman. Allah telah mengambil benang-benang waktu dan keadaan yang berbeda-beda itu, dan dengan cakap menenunnya menjadi sebuah permadani kebenaran demi pertumbuhan iman kita.

Dalam orkes simponi kita tidak mempertanyakan bagaimana para pemain musik itu bermain dengan harmonis yang indah dan bukan dengan suara sumbang. Kita tahu betul, bahwa sebelum simponi itu terjadi, ada peranan penggubah lagu yang telah merancang setiap bagian dari musik itu dengan hati-hati dan penuh kecakapan. Demikian juga dengan Alkitab. Allah adalah Penggubah yang Maha Besar dari Kitab Suci ini. Di dalam kurunnya waktu, Ia telah menggubah suatu simponi yang agung. Setiap pengarang melakukan bagiannya sendiri-sendiri. Dan sementara masing-masing menulis buku-Nya, karya sastra yang agung sepanjang abad dihasilkan.

Saya ingin Anda mempertimbangkan juga bahwa Bangsa Yahudi itu bukanlah orang-orang yang suka mengarang. Proses pendidikan mereka terjadi hampir semata-mata secara lisan. Bahkan sekarang pun penekanan lebih diberikan pada hafalan. Namun dengan mengatasi semua kesulitan ini Allah telah membuat 39 buku dari Perjanjian Lama melalui pengarang Yahudi. Dan kemudian, pada jaman Perjanjian Baru, tidak ada seorangpun yang berani menambah atau mengurangi isi Perjanjian Lama. Tentu saja para murid pun tidak berani melakukan hal ini. Tetapi Roh Kudus bekerja lagi dalam orang-orang yang terpilih, dan walaupun mereka tidak biasa menulis, mereka menjadi penulis-penulis dalam kitab Perjanjian Baru. Sungguh benar bahwa jalan Tuhan bukanlah jalan manusia.

Kemudian terjadilah ... satu Kitab. Karangannya sama sekali tidak dapat diterangkan secara manusiawi. Sungguh suatu keajaiban karya sastra dalam proses pembuatannya. Tetapi apabila Anda ingat, bahwa hal ini dilakukan dalam perbuatan dan kebenaran firman Allah, maka segala hal yang aneh dan segala pertentangan, hilang dengan sendirinya.

Source: William W. Orr, 10 Alasan Mengapa Saya Percaya bahwa Alkitab adalah Firman Allah,  Yayasan Kalam Hidup

Saturday, December 29, 2012

Sekali selamat tetap selamat?


Apakah kamu yakin sudah selamat?

Ketika saya tinggal di Filipina sekitar tahun 1998, saya pernah ditanya oleh seorang teman saya yang adalah anggota Bible study dari kelompok Protestan, “Apakah kamu yakin sudah selamat?” Dia mengatakan keheranannya mengapa umat Katolik sepertinya tidak yakin akan keselamatannya sedangkan kalau umat Protestan yakin dengan seyakin- yakinnya kalau pasti selamat. Mendengar hal ini mungkin kita bertanya- tanya kepada diri sendiri, sikap manakah yang benar? Mari kita melihat jawabannya  dari Kitab Suci, yang menjadi pegangan kita bersama sebagai murid- murid Kristus.

Beberapa ayat yang digunakan untuk mengatakan ‘sekali selamat tetap selamat’

Seringkali saudara- saudari kita yang Protestan mengutip ayat- ayat berikut ini untuk mendukung pemahaman mereka bahwa sekali selamat mereka tetap selamat (once saved, always saved):
“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:16)
“Semuanya itu kutuliskan kepada kamu, supaya kamu yang percaya kepada nama Anak Allah, tahu, bahwa kamu memiliki hidup yang kekal (1 Yoh 5:13)”
Lalu umumnya mereka mengatakan, jadi yang perlu dilakukan sederhana saja, tinggal mengaku dengan mulut kita bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat kita, dan kita pasti diselamatkan, seperti yang tertulis dalam surat Rasul Paulus,
Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan. Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan (Rom 10:9-10).

Tanggapan kita umat Katolik

1. Terhadap Yoh 3:16
“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkanberoleh hidup yang kekal.”
Menurut Rm Pidyarto, O Carm, yang adalah seorang pakar Kitab Suci yang menguasai bahasa Yunani, kata “beroleh” di sini berasal dari kata ἔχω/ echō, echein, yang memang dapat diterjemahkan sebagai ‘beroleh’ (have), tetapi sebenarnya lebih tepat jika diterjemahkan sebagai ‘dapat beroleh’ (may have’), seperti yang terdapat dalam Kitab Suci edisi Douay Rheims/ Vulgate. Ini disebabkan karena digunakannya kata ‘me‘ (dalam bahasa Inggris terjemahannya adalah “lest)”,  pada kata ‘tidak binasa’ (should not perish) sehingga kata sambung ini menuntut / lebih tepat untuk diikuti oleh kata ‘may have‘. Kita mengetahui bahwa dalam bahasa Inggris sendiri kata ‘have‘ dan ‘may have‘  artinya tidak sama persis.
Namun demikian, jika diterjemahkan sebagai “beroleh”, kalimat ini tidak bermaksud mengatakan bahwa hanya dengan percaya/ beriman kepada Anak Allah saja maka seseorang pasti memperoleh hidup yang kekal. Maka kata kunci yang perlu dilihat adalah bagaimana memaknai kata “percaya” / beriman tersebut, sebab iman ini juga mensyaratkan penghayatan. Jadi kata ‘percaya’ di sini tidak boleh hanya diartikan pengakuan dengan mulut saja atau baptisan saja. Kita tidak dapat mengartikan satu ayat dalam Kitab Suci dan melepaskannya dengan ayat- ayat lainnya dalam Kitab Suci. Hidup yang kekal atau keselamatan ini diberikan oleh Allah karena kasih karunia, oleh iman/ kepercayaan yang bekerja oleh kasih (Ef 2:8; Gal 5:6); dan ini diberikan melalui Pembaptisan (Yoh 3:5, Mat 28:19-20) yang melibatkan pertobatan untuk melaksanakan perintah Tuhan (lih. Mat 7:21-23; Ibr 11;39; Yak 2:14.). Maka Gereja Katolik tidak pernah memisahkan kasih karunia, iman, perbuatan kasih, Pembaptisan dan pertobatan dalam ajaran Keselamatan ini. Silakan membaca diskusi mengenai hal ini, lebih lanjut di sini,silakan klik.
2. Terhadap 1 Yoh 5:13
“Semuanya itu kutuliskan kepada kamu, supaya kamu yang percaya kepada nama Anak Allah, tahu, bahwa kamu memiliki hidup yang kekal.”
Kata “tahu” di sini berasal dari kata eidete (dari kata oida); sebenarnya berarti “kamu dapat tahu”/ you may know, yang tidak mengacu kepada sesuatu pengetahuan absolut yang pasti. Ini seperti jika kita mengatakan bahwa kita tahu kalau kita dapat nilai A dalam ujian, atas dasar kita sudah belajar dengan rajin dan saya merasa menguasai topiknya. Tetapi kenyataannya apakah pasti kita dapat nilai A atau tidak itu harus dibuktikan kemudian. Jadi “tahu” di sini tidak bersifat absolut, tetapi memang ada pengharapan besar bagi kita untuk mencapainya.
Untuk memahami arti kata eidete maka kita melihat pada ayat sesudahnya yaitu ayat 1Yoh 5: 14-15, yang berbunyi:
“Dan inilah keberanian percaya kita kepada-Nya, yaitu bahwa Ia mengabulkan doa kita, jikalau kita meminta sesuatu kepada-Nya menurut kehendak-Nya. Dan jikalau kita tahu(oidamen- dari kata oida), bahwa Ia mengabulkan apa saja yang kita minta, maka kita jugatahu, bahwa kita telah memperoleh segala sesuatu yang telah kita minta kepada-Nya.”
Di sini kita harus mengakui bahwa kita tidak dapat mempunyai kepastian yang absolut bahwa Tuhan akan menjawab setiap permintaan kita secara persis. Sebab Tuhan adalah Maha Baik dan Maha Kuasa dan Ia akan menjawab doa kita dengan cara yang dipandang-Nya baik bagi kita, yang sering kali tidak sama dengan yang kita minta/ yang kita pikirkan. Maka di sini kita harus menerima bahwa cara kita “mengetahui” dalam hal ini adalah bersifat kondisional dan bukan sesuatu yang pasti secara absolut.
Dengan pengertian yang sama kita mengartikan ayat 1 Yoh 3:21-22 yang mengatakan,
“Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau hati kita tidak menuduh kita, maka kita mempunyai keberanian percaya untuk mendekati Allah, dan apa saja yang kita minta, kita memperolehnya dari pada-Nya, karena kita menuruti segala perintah-Nya dan berbuat apa yang berkenan kepada-Nya.”
Maka kita sebagai umat Katolik ‘mempunyai keberanian percaya‘ untuk menerima apa yang kita doakan, namun kita tidak dapat mengatakannya sebagai jaminan yang sudah pasti secara absolut. Sebab hal keselamatan kita ini juga melibatkan partisipasi kita dalam menyatakan iman kita dalam perbuatan, agar iman yang demikian dapat menjadi iman yang ‘hidup’ (Yak 2: 24, 26) dan menyelamatkan. Kenyataannya bahkan Tuhan Yesus sendiri mengatakan bahwa pada akhir jaman akan ada orang- orang yang terkejut untuk mendapatkan bahwa sikap mereka yang tidak menujukkan perbuatan kasih dapat menghantar mereka kepada penghukuman (Mat 25:41-46).
3. Maka hal keselamatan tidak semata tergantung dari “pengakuan dengan mulut” untuk menerima Yesus Kristus sebagai Juru Selamat pribadi. Sebab yang tak kalah pentingnya adalah kita harus bertobat, seperti yang diajarkan oleh Rasul Yohanes kepada semua murid Kristus yang sudah menerima Yesus (lihat 1 Yoh 2:12-14). Ia mengatakan,
“Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” (1 Yoh 1:8-9)
Perhatikanlah bahwa Rasul Yohanes menggunakan kata “kita”, sebab dirinya sendiri juga termasuk di dalamnya. Silakan bertanya kepada orang yang berpandangan “sekali selamat tetap selamat”, apakah mereka masih perlu bertobat atau tidak? Jika mereka menjawab ya, berarti pandangan mereka sebenarnya bukan “sekali selamat tetap selamat”. Tetapi jika mereka mengatakan “tidak perlu bertobat, sebab sudah pasti diampuni dan pasti masuk surga”, maka pandangan mereka ini bertentangan dengan ayat- ayat Kitab Suci lainnya yang mengatakan bahwa dosa/ kejahatan yang tidak disesali tidak akan diampuni dan tidak ada sesuatupun yang berdosa dan najis dapat masuk Kerajaan Surga (lih. Hab 1:13; Why 21:8-9, 27)
Rasul Yohanes kemudian mengklasifikasikan dosa, yaitu dosa yang mematikan (dosa berat) dan dosa yang tidak mematikan (dosa ringan) lih. 1 Yoh 5:16-17. Seseorang yang berdosa berat melepaskan diri dari Tubuh Kristus. Dalam hal ini bukan berarti Yesus kurang kuasa untuk menyelamatkannya, tetapi orang itu sendiri dengan kehendak bebasnya memilih untuk melepaskan diri dari Yesus dengan perbuatan dosanya yang berat. Dan jika ia tidak bertobat, maka ia sendiri menolak rahmat keselamatan yang sudah pernah diterimanya dari Allah.
Selanjutnya, pengakuan dengan mulut juga tidak ada artinya, jika tidak dibarengi denganketaatan melaksanakan perintah- perintah Tuhan. Oleh sebab itu Rasul Paulus mengajarkan ketaatan iman (Rom 1:5, 16:26). Yesus berkata,
“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat 7:21, lih. Mat. 10:33, 18:35).
4. Rasul Paulus mengajarkan kepada kita akan kedua sifat Tuhan yang tidak bisa dipisahkan yaitu kemurahan-Nya namun juga kekerasan-Nya;
“Sebab itu perhatikanlah kemurahan Allah dan juga kekerasan-Nya, yaitu kekerasan atas orang-orang yang telah jatuh, tetapi atas kamu kemurahan-Nya, yaitu jika kamu tetap dalam kemurahan-Nya; jika tidak, kamupun akan dipotong juga.” (Rom 11:22)
Maka di sini jelas dikatakan bahwa oleh kemurahan Tuhan kita diselamatkan, namun kita harus mengusahakan untuk selalu tinggal di dalam kemurahan-Nya. Kita harus bertahan untuk hidup sesuai dengan ajaran Kristus, sampai dengan kesudahannya, baru kita dapat selamat (lih. Mat 10:22). Kita harus berjaga- jaga dan tetap melaksanakan tugas- tugas dan pekerjaan Tuhan yang dipercayakan kepada kita dengan baik sampai pada akhirnya (lih. Luk 12:41-46, Why 2:25-26). Sebab memang benar oleh Injil kita diselamatkan tetapikita harus tetap teguh berpegang kepadanya (1 Kor 15:1-2). Kita harus hidup kudus dantidak bercela, dan tekun dalam iman dan tidak bergoncang (Kol 1:22-23); teguh berpegang pada kepercayaan dan pengharapan kita (Ibr 3:6). Kita harus setia sampai mati(Why 2:10).
5. Rasul Petrus malah memperingatkan agar kita yang sudah percaya jangan sampai jatuh ke dalam dosa seperti pada waktu belum percaya, sebab akibatnya malah akan lebih parah:
“Sebab jika mereka, oleh pengenalan mereka akan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus, telah melepaskan diri dari kecemaran-kecemaran dunia, tetapi terlibat lagi di dalamnya, maka akhirnya keadaan mereka lebih buruk dari pada yang semula. Karena itu bagi mereka adalah lebih baik, jika mereka tidak pernah mengenal Jalan Kebenaran dari pada mengenalnya, tetapi kemudian berbalik dari perintah kudus yang disampaikan kepada mereka. Bagi mereka cocok apa yang dikatakan peribahasa yang benar ini: “Anjing kembali lagi ke muntahnya, dan babi yang mandi kembali lagi ke kubangannya.” (2 Pet 2:20-22)
Kondisi melepaskan diri dari kecemaran dunia ini adalah makna dari kelahiran kembali dalam Kristus yang kita alami pada waktu Pembaptisan. Maka di sini Rasul Petrus mengingatkan agar setiap umat yang sudah dibaptis tidak kembali lagi kepada kehidupan yang lama yang penuh dosa.
6. Yesus juga mengingatkan Dalam Mat 6:15, bahwa kita harus mengampuni orang yang bersalah kepada kita, sebab jika tidak, maka Allah Bapa tidak akan mengampuni kesalahan kita. Di sini Yesus tidak memperhitungkan apakah kita sudah ‘lahir baru/ born again‘ atau belum; namun kalau kita tidak mengampuni maka kita akan kehilangan keselamatan kita.
7. Kitab Suci memperingatkan kita bahwa kita dapat ‘lepas dari Kristus, dan hidup di luar kasih karunia‘ jika hidup dalam kuk perhambaan dosa (Gal 5:1-5), agar jangan bermegah supaya tidak dipatahkan (lih. Rom 11:18-22), dicoret namanya dari buku kehidupan (Why 3:5; Mzm 69:28), karena melakukan dosa dan tidak bertobat (lih. Ef 5:3-5; 1 kor 6:9; Gal 5:19; Why 21:6-8).
Tak mengherankan bahwa Rasul Paulus kemudian mengajarkan demikian:
“Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak.” (1 Kor 9:27)
Jika Rasul Paulus yang sudah demikian kudus saja semasa hidupnya terus berjuang untuk melatih tubuhnya menghindari dosa, dan mengusahakan agar hidup sesuai dengan Injil agar tidak ditolak oleh Tuhan; apalagi kita- kita ini. Kalau Rasul Paulus sudah yakin “pasti” selamat, tentunya dia tidak perlu menuliskan ayat ini, sebab ia sudah yakin tidak akan ditolak Allah. Ayat ini membuktikan kerendahan hati Rasul Paulus yang selain berpengharapan teguh akan keselamatan yang dijanjikan Allah, namun juga menyadari bahwa ada bagian yang harus dilakukannya yaitu untuk berjuang hidup kudus sesuai dengan Injil yang diberitakannya.
8. Maka ayat Rom 10:9 tentang pengakuan iman akan Kristus yang menghantar kita kepada keselamatan itu tidak hanya untuk dilakukan sekali saja, tetapi harus terus menerus sepanjang hidup kita. Dalam Mat 10:22, 32-33, Tuhan Yesus mengajarkan,
“Dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku; tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat…. Setiap orang yangmengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga.”
Maka konteksnya di sini adalah berpegang pada pengakuan akan Kristus sepanjang hidup kita (lih. Ibr 4:14, 10:23-26 dan 2 Tim 2:12). Kita mengetahui dari Kitab Suci, bahwa pengakuan akan iman kita tidak dilakukan hanya dengan perkataan tetapi terlebih dengan perbuatan. Demikian pula, penyangkalan akan Kristus juga dilakukan dengan perbuatan.
Tetapi jika ada seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman. (1 Tim 5:8)
Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. (1 Kor 6:9-10, lihat juga Ef 5:3-5; Gal 5:19; Why 21:8-9, 27)

Perbedaan kunci antara ajaran Gereja Katolik dan Protestan

Dari uraian di atas, kita dapat memahami bahwa secara garis besar terdapat perbedaan ajaran antara pandangan Protestan dan Gereja Katolik. Bagi umat Protestan keselamatan adalah sesuatu yang sudah pasti, yang diterima pada saat mereka mengakui Yesus sebagai Juru Selamat, berpegang terutama pada Rom 10:9. Sedangkan Gereja Katolik, berpegang kepada keseluruhan ajaran Kitab Suci, percaya bahwa keselamatan adalah sesuatu proses: yang telah, sedang dan akan datang, yang diterima oleh umat beriman karena kasih karunia Allah, oleh iman yang bekerja oleh kasih:
  1. Telah diselamatkan (Rom 8:24; Ef 2:5,8; 2 Tim 1:9; Tit 3:5)
  2. Sedang dalam proses (1 Kor 1:18; 2 Kor 2:15; Fil. 2:12; 1 Pet 1:9)
  3. Akan diselamatkan (Mt 10:22, 24:13; Mk 13:13; Mk 16:16; Kis 15:11; Rm 5:9-10; Rm 13:11; 1 Kor 3:15; 2 Tim. 2:11-12; Ibr. 9:28).
Oleh karena itu, Gereja Katolik tidak dapat menerima pandangan Martin Luther yang mengajarkan bahwa manusia diselamatkan oleh iman saja, yang dipisahkan dari perbuatan. Sebab menurut Luther, setelah orang menerima Yesus, maka tak peduli apapun yang dilakukannya, entah ia membunuh atau berzinah beribu-ribu kali sehari, pasti akan tetap masuk surga. Dalam suratnya kepada muridnya, Melancthon, tanggal 1 Agustus, 1521, (translated by Erika Bullmann Flores for Project Wittenberg); online athttp://www.iclnet.org/pub/resources/text/wittenberg/luther/letsinsbe.txt , lihat nomor 13, Luther mengatakan, “…Be a sinner, and let your sins be strong, but let your trust in Christ be stronger…. No sin can separate us from Him, even if we were to kill or commit adultery thousands of times each day…
Semoga kita semua dapat melihat bahwa ajaran Luther ini tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci. Maka Gereja Katolik, berpegang pada Kitab Suci, mengajarkan bahwakeselamatan diberikan karena kasih karunia Allah dalam Pembatisan, namun juga mensyaratkan iman dan pertobatan, hidup dalam Kristus, dan melaksanakan perbuatan kasih sebagai bukti dari iman yang hidup. Sebab jika sungguh mengimani Kristus dan mengasihi-Nya, pasti kita akan berusaha menghindari dosa, dan akan rajin berbuat kasih. Iman seperti inilah yang menyelamatkan, seperti yang diajarkan oleh Paus Benedictus tentang Sola Fide menurut ajaran Gereja Katolik, silakan klik di sini.

Ajaran Calvin “sekali selamat tetap selamat” vs. ajaran Bapa Gereja

Ajaran “sekali selamat tetap selamat” ini pertama kali diajarkan oleh John Calvin di pertengahan abad ke 16.  Sebelum Calvin, jemaat Kristiani umumnya mengetahui bahwa seseorang dapat kehilangan keselamatannya, jika melakukan dosa berat, seperti yang diajarkan dalam 1 Yoh 5:16-17.
1. Di abad pertama, Didache, yang dikenal sebagai Pengajaran dari ke- dua belas Rasul mengatakan,
Berjaga- jagalah demi hidupmu. Jangan biarkan terangmu padam, ikat pinggangmu longgar; tetapi selalu siap sedialah; sebab kamu tidak tahu saatnya kapan Tuhan datang. Tetapi seringlah bersekutu, carilah hal- hal yang sesuai dengan jiwamu: sebab imanmu sepanjang waktu tidak akan mendatangkan kebaikan bagimu, jika kamu tidak menjadi sempurna di waktu terakhir.”[1].
2. St. Ignatius dari Antiokia (35- 98)
“Jangan salah, saudara-saudaraku: orang- orang yang menyimpang tidak akan masuk dalam Kerajaan Surga. Jika, lalu, mereka yang hidupnya melakukan perbuatan- perbuatan daging akan binasa, maka terlebih lagi mereka yang dengan ajaran- ajaran sesat menyimpangkan iman akan Tuhan yang karenanya Yesus Kristus telah disalibkan…[2]
3. St. Irenaeus (189) menulis,
“Kepada Kristus Yesus, Tuhan dan Allah kami, sesuai dengan kehendak Bapa yang tidak kelihatan, ‘setiap lutut bertelut dan segala sesuatu di bumi dan di bawah bumi, dan setiap lidah mengaku’ (Flp 2:10-11) kepadanya, dan Ia akan memutuskan penghakiman yang adil kepada semua orang….  Seseorang yang tidak baik dan tidak benar, jahat dan profan akan pergi kepada api abadi, tetapi Ia [Kristus] dapat, memberikan rahmat-Nya, memberikan kekekalan kepada mereka yang benar, kudus, dan mereka yang melakukan perintah- perintah-Nya, dan bertahan dalam kasih karunia-Nya; beberapa dari mereka sejak awal mula [dalam kehidupan Kristianinya], dan yang lain, sejak saat pertobatan mereka, dan Ia dapat mengelilingi mereka dengan kemuliaan kekal.”[3].

Dosa berat memisahkan manusia dari Allah dan keselamatan yang dijanjikan-Nya

Maka pengajaran Gereja Katolik sangatlah konsisten dalam hal ini, bahwa walau janji keselamatan yang diberikan Tuhan Yesus adalah sesuatu yang tetap dan pasti, namun pemenuhannya tergantung dari manusia itu sendiri. Sebab dosa berat memisahkan manusia dari Allah, memerampasnya dari kehidupan kekal.
KGK 1472     Supaya mengerti ajaran dan praktik Gereja ini, kita harus mengetahui bahwa dosa mempunyai akibat ganda. Dosa berat merampas dari kita persekutuan dengan Allah dan karena itu membuat kita tidak layak untuk kehidupan abadi. Perampasan ini dinamakan “siksa dosa abadi”… [4]
Dengan demikian kita harus berjuang dalam hidup ini agar jangan sampai  jatuh ke dalam dosa berat yang memisahkan kita dari Allah, sehingga kita tetap dapat menerima janji keselamatan Allah. Atau, jika sampai jatuh sekalipun, lekas- lekaslah bertobat, agar dapat kembali dalam persatuan dengan Kristus. Selanjutnya, kita harus berjuang untuk taat melaksanakan perintah- perintah-Nya dan setia sampai akhir.

Kesimpulan

Maka di manapun di dalam Kitab Suci tidak ada yang mengajarkan bahwa umat Kristen yang telah mengakui Kristus dapat melakukan dosa apapun, wafat dalam keadaan tidak bertobat, namun akan tetap dapat masuk surga juga. Prinsip ‘sekali selamat tetap selamat’ ini sesungguhnya tidak diajarkan dalam Kitab Suci. Selayaknya kita mempunyai kerendahan hati seperti Rasul Paulus yang mengajarkan demikian,
“Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplahkerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir… ” (Flp 2:12)
Sebab memang kita harus berusaha untuk tetap taat dan setia mengerjakan keselamatan kita sebagai murid- murid Kristus, bukan karena Kristus kurang berkuasa menyelamatkan kita atau karena Ia tidak menepati janji-Nya; namun justru karena memang ada bagian yang harus kita lakukan jika kita benar- benar mengimani dan mengasihi Dia. Maka sebagai umat Katolik, kita mempunyai keberanian untuk berharap bahwa kita akan diselamatkan, namun mari dengan rendah hati kita serahkan kepada Tuhan yang telah berjanji menyelamatkan kita, sambil juga melatih diri agar tidak jatuh dalam dosa yang memisahkan kita dengan Allah. Dengan kerendahan hati ini kita berpengharapan, dan kita percaya bahwa pengharapan ini tidak mengecewakan oleh karena Roh Kudus telah dicurahkan kepada kita!

CATATAN KAKI:
  1. Didache 16 [A.D. 70] []
  2. St. Ignatius dari Antiokia, Letter to the Ephesians, Ch. 16:1 []
  3. Against Heresies 1:10:1 [A.D. 189] []
  4. KGK 1472: Supaya mengerti ajaran dan praktik Gereja ini, kita harus mengetahui bahwa dosa mempunyai akibat ganda. Dosa berat merampas dari kita persekutuan dengan Allah dan karena itu membuat kita tidak layak untuk kehidupan abadi. Perampasan ini dinamakan “siksa dosa abadi”. Di lain pihak, setiap dosa, malahan dosa ringan, mengakibatkan satu hubungan berbahaya dengan makhluk, hal mana membutuhkan penyucian atau di dunia ini, atau sesudah kematian di dalam apa yang dinamakan purgatorium [api penyucian). Penyucian ini membebaskan dari apa yang orang namakan “siksa dosa sementara”. Kedua bentuk siksa ini tidak boleh dipandang sebagai semacam dendam yang Allah kenakan dari luar, tetapi sebagai sesuatu yang muncul dari kodrat dosa itu sendiri. Satu pertobatan yang lahir dari cinta yang bernyala-nyala, dapat mengakibatkan penyucian pendosa secara menyeluruh, sehingga tidak ada siksa dosa lagi yang harus dipikul (Bdk. K.Trente: DS 1712-1713; 1820). []
Source : katolisistas.org Renungan Iman

Bagaimana menginterpretasikan Kitab Suci menurut pengajaran Gereja Katolik?


I. Perkenalan dengan Kitab Suci

Orang mengatakan bahwa tak kenal maka tak sayang. Maka agar kita dapat mengasihi Tuhan, kita perlu mengenal Dia. Sekarang pertanyaannya, bagaimana caranya kita mengenal Allah?  Agaknya Tuhan memahami bahwa manusia akan mempunyai pertanyaan semacam ini dalam hatinya, sehingga Allah-lah yang pertama- tama melakukan inisiatif: Ia mewahyukan Diri-Nya, melalui alam semesta, melalui suara hati nurani dan yang secara khusus, melalui Wahyu umum yang diberikan kepada Gereja.

1. Apakah Kitab Suci itu?

Kita sering mendengar bahwa Kitab Suci adalah “Wahyu Allah”. Wahyu atau pernyataan Allah tentang diri-Nya ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1: 26). Artinya kita adalah mahluk rohani yang diciptakan menurut gambaran Allah, yang dilengkapi oleh akal budi dan kehendak bebas, sehingga kita dapat mengetahui, memilih dan mengasihi. Dengan demikian, kita manusia dapat menyimpulkan bahwa Tuhan Sang Pencipta itu ada, dengan melihat segala ciptaan-Nya yang ada di sekitar kita. Keberadaan Tuhan juga diketahui dengan memperhatikan suara hati nurani dalam setiap orang, di mana Tuhan menuliskan hukum-hukum-Nya untuk menyatakan hal yang benar dan yang salah; inilah wahyu yang universal. Selanjutnya, Tuhan juga secara khusus memberikan wahyu yang merupakan pernyataan akan diri-Nya dan kehendak-Nya bagi manusia untuk mencapai tujuan akhir yang direncanakan-Nya. Wahyu ini disampaikan kepada manusia sejak awal sejarah manusia sampai sekarang; yaitu  melalui para nabi, yang mencapai puncaknya di dalam Yesus Kristus Putera-Nya, dan wahyu ini yang kemudian dilanjutkan oleh para rasul Kristus.
Wahyu umum ini adalah wahyu Allah yang khusus diberikan kepada umat manusia agar manusia dapat mengenal siapa diri-Nya dan rencana-Nya untuk menyelamatkan manusia. Wahyu umum ini bermula dari wahyu yang diberikan kepada para nabi, dan berakhir dengan wafatnya rasul Kristus yang terakhir.[1]  Wahyu umum ini terdiri dari dua jenis, yang tergantung dari cara penyampaiannya; yaitu Kitab Suci (tertulis) dan Tradisi Suci (lisan).[2] Maka kita ketahui ketiga hal ini:
1.    Kitab Suci adalah Wahyu ilahi yang disampaikan secara tertulis di bawah inspirasi Roh Kudus.[3].
2.    Tradisi Suci adalah Wahyu ilahi yang tidak tertulis, namun yang diturunkan oleh para rasul sejak awal oleh inspirasi Roh Kudus, sesuai dengan yang mereka terima dari Yesus dan yang kemudian diturunkan kepada para penerus mereka.[4]
3.    Maka kita ketahui sekarang bahwa untuk menerima wahyu Allah secara lengkap, kita tidak hanya perlu Kitab Suci, namun juga Tradisi Suci, dan pihak wewenang mengajar Gereja (Magisterium) yang dapat secara benar mengartikan wahyu ilahi tersebut. Ketiga hal ini disebut sebagai pilar iman, yang ditujukan untuk menjaga dan mengartikan wahyu publik dari Allah ini di dalam kemurniannya.

2. Kitab Suci yang adalah Sabda Allah itu terdiri atas Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

Pernahkah anda membaca novel, namun hanya membaca bagian akhirnya saja? Walaupun mungkin anda dapat menangkap bagian yang terpenting dari kisah tersebut, namun tentu, kisah tersebut akan lebih dapat dipahami, jika anda membaca buku tersebut mulai dari bagian awal. Demikianlah halnya dengan Kitab Suci yang merupakan Sabda Allah yang tertulis tentang rencana keselamatan Allah yang dimulai sejak awal mula penciptaan dunia, sampai penggenapannya di dalam diri Kristus.
Oleh karena itu, untuk mempelajari Kitab Suci, kita perlu melihat kaitan antara Perjanjian Lama (sebelum kedatangan Kristus) dan Perjanjian Baru (saat dan setelah kedatangan Kristus), dan antara ayat yang satu dengan ayat yang lainnya, untuk mendapat pengertian yang menyeluruh dan pemahaman yang benar akan Sabda Allah itu. Perjanjian Lama (PL) yang melatar-belakangi Perjanjian Baru (PB), merupakan satu kesatuan dengan Perjanjian Baru. Sebab “Perjanjian Baru terselubung dalam Perjanjian Lama, sedangkan Perjanjian Lama tersingkap dalam Perjanjian Baru.”[5]. Sama seperti suatu kisah tidak akan lengkap jika hanya dibaca awalnya saja, atau akhirnya saja, tanpa memperhatikan kaitannya, demikian juga Kitab Suci hanya akan dapat kita pahami secara menyeluruh dalam kesatuan antara PL dan PB, dan dalam kaitan satu ayat dengan ayat yang lain.

3. Penulisan Kitab Suci melibatkan akal budi para penulisnya

Kitab Suci merupakan Sabda Allah yang disampaikan melalui tulisan penulis kitab yang ditunjuk oleh Allah untuk menuliskan hanya yang diinginkan oleh Tuhan.[6]. Namun demikian, ini melibatkan juga kemampuan sang penulis tersebut dalam hal gaya bahasa, cara penyusunan, latar belakang budayanya, dst. Maka jika kita ingin memahami Kitab Suci, kita perlu mengetahui makna yang disampaikan oleh para pengarang kitab dan apakah yang ingin disampaikan oleh Allah melalui tulisannya. Karena Kitab Suci bersumber pada Allah yang satu, maka kita harus melihat keseluruhan Kitab Suci, walaupun ditulis oleh orang yang berbeda- beda, sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Inilah yang menjadi dasar bagaimana kita memperoleh pengertian yang mendalam tentang Kitab Suci, dan dengan cara demikianlah jemaat awal mengartikan Kitab Suci.

4. Kitab Suci itu diberikan kepada Gereja sebagai pedoman

Rasul Paulus memberikan alasan kepada kita untuk mempelajari Kitab Suci yaitu, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Tim 3:16) agar kita yang menjadi umat-Nya diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik. Dengan demikian, Kitab Suci mendapatkan tempat yang begitu tinggi di dalam Gereja Katolik, yang dapat kita lihat dari dokumen-dokumen Gereja yang senantiasa mempunyai sumber dari Kitab Suci disamping Tradisi Suci, dan kita dapat melihat secara jelas dalam liturgi Gereja. Paus Benediktus XVI dalam pengajaran apostoliknya, Verbum Domini, mengajarkan bahwa Kitab Suci mendapatkan tempat di dalam sakramen-sakramen, liturgi,brevier, buku-buku doa dan pemberkatan, lagu-lagu, dll.[7]

II. Prinsip umum yang harus dipegang


1. Gereja ada terlebih dahulu sebelum Kitab Suci.

Jika kita mempelajari sejarah Gereja, kita akan mengetahui bahwa Tradisi Suci, yaitu pengajaran iman Kristiani yang berasal dari pengajaran lisan Kristus dan para rasul itu sudah ada terlebih dahulu daripada pengajaran yang tertulis. Demikian pula, Gereja sudah ada terlebih dahulu sebelum keberadaan kitab-kitab Perjanjian Baru. Yesus tidak membentuk Kitab Suci, namun Yesus membentuk Gereja, yang Ia dirikan di atas Rasul Petrus (lih. Mat 16:18). Gereja pulalah yang menentukan kanon seluruh Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Para pengarang/ penulis suci dari kitab-kitab Perjanjian Baru adalah para anggota Gereja yang diilhami oleh Tuhan, sama seperti para penulis suci yang menuliskan kitab-kitab Perjanjian Lama.

2. Kitab Suci memberitahukan kepada kita pentingnya Tradisi Suci, yaitu pengajaran lisan para rasul, sebab tidak semua ajaran Kristus terekam dalam Kitab Suci.

Jemaat mula-mula “bertekun dalam pengajaran rasul-rasul… ” (Kis 2:42, lih. 2 Tim 1:14), dan ini sudah terjadi sebelum kitab Perjanjian Baru ditulis, berabad – abad sebelum kanon Perjanjian Baru ditetapkan di akhir abad ke 4. Kitab Suci juga mengatakan bahwa pengajaran para rasul disampaikan secara lisan, “Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain.” (2 Tim 2:2); dan bahwa pengajaran para rasul tersebut disampaikan “baik secara lisan, maupun secara tertulis.” (2 Tes 2:15; lihat juga bahwa ‘ajaran yang diteruskan/ diberitakan melalui pembicaraan’ oleh para rasul inilah Tradisi suci -1 Kor 11:2, 23; 2 Yoh 12, 3 Yoh 13)
Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu.” (Yoh 21:25). Kitab Perjanjian Baru sendiri mengacu kepada Tradisi suci, yaitu pada saat mengutip perkataan Yesus yang tidak terekam pada Injil, yaitu pada Kis 20:35, di mana rasul Paulus meneruskan perkataan Yesus “Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima”; yaitu perkataan Yesus yang tidak tertulis dalam Injil.

3. Kitab Suci sendiri mengatakan bahwa Kitab Suci memerlukan pihak yang mempunyai otoritas untuk menginterpretasikannya

Rasul Petrus mengatakan bahwa ada hal-hal di dalam Kitab Suci yang memang sulit untuk dicerna (lih. Kis 8:30-31; 2 Pet 1:20-21; 2 Pet 3:15-16), dan ketidakhati-hatian dalam penafsiran akan mendatangkan kesalahan yang fatal. Berapa banyak kita mendengar dari agama lain, yang menggunakan Kitab Suci untuk menyanggah kebenaran iman Kristen, seperti tentang ajaran Tritunggal Maha Kudus, ataupun bahwa Yesus adalah sungguh- sungguh Tuhan.

4. Kristus memberikan otoritas kepada Gereja yang dimulai dari para rasul-Nya untuk mengajar dalam nama-Nya.

Gereja akan bertahan sampai pada akhir jaman, dan Kristus oleh kuasa Roh Kudus akan menjaganya dari kesesatan (lih. Mat 16:18; 18:18; 28:19-20; Luk 10:16; Yoh 14:16). Karena itu, Kristus memberikan kuasa wewenang mengajar kepada Magisterium Gereja yang terdiri dari para rasul dan para penerusnya. Magisterium/ Wewenang mengajar ini hanya ada untuk melayani Sabda Allah, sehingga ia tidak berada di atas Kitab Suci maupun Tradisi Suci, namun melayani keduanya. Prinsip fungsi Magisterium ini hanya seperti wasit dalam pertandingan sepak bola: ia tidak mengatasi peraturan, namun hanya menjaga agar peraturan dijalankan semestinya.
Hal yang sama ditegaskan oleh Paus Benediktus XVI dalam pengajaran Apostoliknya,Verbum Domini. Paus menegaskan bahwa apa yang tertulis di dalam Kitab Suci bukanlah sesuatu yang dapat diinterpretasikan oleh masing-masing individu dengan bebas tanpa melihat apa yang menjadi pandangan Gereja. Karena Sabda Allah yang bersumber pada Roh Kudus diberikan kepada Gereja. Oleh Roh Kudus menjadi jiwa dari Gereja, Gereja menentukan buku-buku yang masuk ke dalam kanon Kitab Suci. Dengan demikian, Gereja mempunyai otoritas untuk menginterpretasikan Kitab Suci sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan oleh Roh Kudus.[8] Hal yang sama juga ditegaskan oleh St. Agustinus yang mengatakan “I would not believe the Gospel, had not the authority of the Catholic Church led me to do so”[9]
Jika kita melihat sejarah, maka kita dapat melihat bahwa Kitab Suci yang ada pada kita sekarang terbentuk pertama kali menurut kanon yang ditetapkan oleh Paus Damasus pada tahun 382, Konsili Hippo (393), Carthago (397) dan Kalsedon/ Chalcedon (451) yang kemudian diteguhkan oleh banyak konsili sampai Konsili Trente (1545- 1563). Maka Gerejalah, atas ilham Roh Kudus, yang menentukan kitab- kitab mana saja yang diinspirasikan oleh Roh Kudus, sehingga dapat termasuk dalam Kitab Suci. Sebelum Kitab Suci ditulis, Gereja mengandalkan Tradisi Suci, yaitu pengajaran lisan para rasul. Ini adalah bukti penerapan ayat 1 Tim 3:15, yaitu bahwa Gereja-lah (bukan Kitab Suci) yang menjadi tiang penopang dan tonggak kebenaran. Jadi mengatakan bahwa Kitab Suci saja “cukup” atau “hanya satu-satunya” sebagai pedoman iman, itu tidaklah benar, sebab asal mula Kitab Suci itu sendiri melibatkan Tradisi Suci dan Gereja, yang dipimpin oleh Magisterium.

5. Kitab Suci mengacu kepada Tradisi Suci untuk menyelesaikan masalah di dalam jemaat

Saat terjadinya krisis dalam jemaat di sekitar tahun 40-an, kitab Perjanjian Baru belum ada, dan Kristus sendiri tidak pernah mengajarkan secara eksplisit tentang sunat. Namun atas inspirasi Roh Kudus, atas kesaksian Rasul Petrus, maka Konsili Yerusalem menetapkan bahwa sunat tidak lagi diperlukan bagi para pengikut Kristus (Kis 15). Konsili inilah yang menginterpretasikan kembali Kitab Suci Perjanjian Lama yang mengharuskan sunat (lih. Kej 17, Kel 12:48) dengan terang Roh Kudus dan penggenapannya oleh Kristus dalam Perjanjian Baru, sehingga ketentuan sunat tidak lagi diberlakukan. Di dalam Konsili itu, Magisterium Gereja: para rasul dan penerusnya, dan pemimpin Gereja lainnya berkumpul untuk memeriksa Sabda Tuhan, yang tertulis atau yang tidak, dan membuat suatu pengajaran apostolik sesuai dengan ajaran Kristus.

6. Maka di sini terlihat bahwa Gereja/ jemaat (bukan Kitab Suci saja) adalah “tiang penopang dan dasar kebenaran.” (1 Tim 3:15)

Kristus mendirikan Gereja, dan bukannya menulis Kitab Suci, tentu juga ada maksudnya, bahwa Gereja-lah yang dipercaya oleh Kristus untuk mengajar dan menafsirkan semua firman-Nya.

7. Kitab Suci tidak mengatakan bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya sumber Sabda/ Firman Tuhan.

Kristus itu sendiri adalah Firman Allah (lih. Yoh 1:1, 14) dan dalam 1 Tes 2:13 Rasul Paulus mengatakan bahwa ia telah menyampaikan pemberitaan Firman Allah (“when you received the Word of God which you heard from us“- RSV) dan pemberitaan Firman Allah (melalui pendengaran) yang disampaikan oleh para rasul adalah Tradisi Suci.

III. Prinsip untuk menginterpretasikan Kitab Suci


1. Cara umum:

Konsili Vatikan II mengajarkan tiga cara umum untuk menafsirkan Kitab Suci sesuai dengan Roh Kudus yang mengilhaminya:[10]
1.    Memperhatikan isi dan kesatuan seluruh Kitab Suci.
2.    Membaca Kitab Suci dalam terang tradisi hidup seluruh Gereja.
3.    Memperhatikan “analogi iman”.

a. Memperhatikan isi dan kesatuan seluruh Kitab Suci

Kita harus mengartikan ayat tertentu dalam Kitab Suci dalam kaitannya dengan pesan Kitab Suci secara keseluruhan. Mengartikan satu paragraf atau bahkan satu kalimat saja namun tidak memperhatikan kaitannya dengan ayat yang lain, dapat berakibat fatal. Contohnya, seorang atheis mengutip Mzm 14:1, dan berkata “Tidak ada Allah”. Tetapi sebenarnya, keseluruhan kalimat itu berkata, “Orang bebal berkata dalam hatinya: “Tidak ada Allah”. Maka arti yang disampaikan dalam Kitab Suci tentu sangat berbeda dengan pengertian orang atheis tersebut.

b. Membaca Kitab Suci dalam terang Tradisi hidup seluruh Gereja

Banyak ahli Kitab Suci di jaman modern yang tidak mengindahkan interpretasi yang berakar dari tradisi Gereja. Mereka berpikir seolah-olah baru pada saat mereka menginterpretasikan Kitab Suci, Roh Kudus memberikan pengertian yang paling “asli”, sedang interpretasi pada abad- abad yang lalu itu keliru. Sikap ini tentunya tidak mencerminkan kerendahan hati. Gereja mengajarkan bahwa kita harus menginterpretasikan Kitab Suci sesuai dengan Tradisi hidup seluruh Gereja, sebab “Kitab suci lebih dulu ditulis di dalam hati Gereja daripada di atas pergamen (kertas dari kulit)”.[11] Di dalam Tradisi Suci inilah Roh Kudus menyatakan kenangan yang hidup tentang Sabda Allah dan interpretasi spiritual dari Kitab Suci. Tradisi Suci tercermin dari tulisan Para Bapa Gereja, dan ajaran- ajaran definitif yang ditetapkan oleh Magisterium, seperti yang dihasilkan dalam Konsili-konsili, Bapa Paus maupun yang dijabarkan dalam doktrin Gereja.

c. Memperhatikan “analogi iman”

Analogi iman maksudnya adalah bahwa wahyu Allah berisi kebenaran- kebenaran yang konsisten dan tidak bertentangan satu sama lain. Gereja Katolik percaya bahwa Roh Kudus yang meng-inspirasikan Kitab Suci adalah Roh Kudus yang sama, yang membimbing dan menjaga wewenang mengajar Gereja (Magisterium), yang juga bekerja dalam Tradisi Suci Gereja. Maka tidak mungkin ajaran Gereja Katolik bertentangan dengan Kitab Suci, karena Roh Kudus tidak mungkin bertentangan dengan diri-Nya sendiri. Juga, karena Gereja menjaga kemurnian ajaran dalam Kitab Suci, maka untuk meng-interpretasikan Kitab Suci, kita harus melihat kaitannya dengan ajaran/ doktrin Gereja.
Analogi iman yang berdasarkan ajaran Gereja berperan sebagai “penjaga” yang membantu kita agar kita tidak sampai salah jalan dalam meng-interpretasikan Kitab Suci. Ibaratnya, seperti pagar yang membatasi rumah kita dengan dunia luar yang penuh dengan anjing galak. Di dalam halaman rumah, kita tetap dapat beraktivitas, anak-anak dapat bermain dengan bebas, namun aman dari bahaya. Maka dengan berpegang pada ajaran Gereja, kita tetap mempunyai kebebasan dalam menginterpretasikan ayat-ayat Kitab Suci, namun kita dapat yakin bahwa interpretasi kita tidak salah, ataupun tidak bertentangan dengan kebenaran yang diwahyukan. Keyakinan ini merupakan karunia yang diberikan kepada kita, jika kita setia berpegang pada pengajaran Gereja yang disampaikan oleh Magisterium (Wewenang mengajar Gereja). Magisterium inilah yang bertugas menginterpretasikan Sabda Allah dengan otentik, baik yang tertulis (Kitab Suci) maupun yang lisan (Tradisi Suci), dengan wewenang yang dilakukan dalam nama Tuhan Yesus[12] agar Sabda itu dapat diteruskan sesuai dengan yang diterima oleh para rasul.

2. Menghindari dualisme hermenetik sekular/ ‘secularized hermeneutic’ dan interpretasi fundamentalis/“fundamentalist interpretation

Paus Benediktus XVI dalam ekshortasi apostoliknya, Verbum Domini menekankan dua kesalahan ekstrem yang tidak boleh dilakukan oleh umat Katolik dalam menginterpretasikan Kitab Suci. Dua kesalahan ini adalah hanya berdasarkan metoda sekular dan metoda fundamentalisme.

a. Metoda historical-criticism yang terpisah dari teologi

Metode sekular yang terpisah dari teologi ini menekankan sisi sejarah dari Kitab Suci, sehingga Kitab Suci hanya dilihat sebagai buku dari masa lampau yang tidak mempunyai kaitan dengan saat ini. Pendekatan yang ilmiah dengan mengesampingkan sisi-sisi Ilahi dari Kitab Suci membuat metode ini kehilangan apa yang menjadi dasar untuk mengerti Kitab Suci – yaitu iman – yang pada akhirnya menolak campur tangan Tuhan dalam sejarah manusia.[13] Inilah sebabnya, Paus Yohanes Paulus II – dalam ensiklik Fides et Ratio – dan Paus Benediktus XVI menekankan harmoni antara iman dan akal budi. Menyandarkan metoda ilmiah dalam menginterpretasikan Kitab Suci tanpa dibarengi iman, mereduksi sisi Ilahi dari Kitab Suci menjadi buku sejarah atau hanya menjadi buku literatur biasa. Sebagai contoh: Ketika di Kitab Suci dikatakan bahwa Yesus memberi makan lima ribu orang (Mt 14:15-21; Mk 6:34-44), maka metoda ini cenderung untuk mereduksi sisi Ilahi dari Kristus dan kemudian menjelaskannya dengan sesuatu yang lebih ilmiah, seperti orang-orang yang ada berkumpul mengeluarkan bekal masing-masing dan kemudian saling berbagi.

b. Metode fundamentalisme

Metode fundamentalisme mengambil kata demi kata di Kitab Suci dan menganggap kata demi kata dalam Kitab Suci adalah didikte oleh Tuhan tanpa melihat bahwa penulisan Kitab Suci senantiasa di dalam konteks sejarah pada waktu tulisan tersebut dibuat. Penolakan akan sisi sejarah dan juga penolakan akan Gereja sebagai pemberi interpretasi Kitab Suci yang otentik membuat metode ini menjadi sangat subyektif[14] yang mengarah bahwa interpretasi pribadinya sendiri adalah yang paling benar. Metoda ini juga dapat menyebabkan kegagalan untuk melihat Sabda Allah dalam konteks keseluruhan. Sebagai contoh, ketika Yesus mengatakan “Tetapi tentang hari dan saat itu tidak seorangpun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anakpun tidak, hanya Bapa sendiri.” (Mt 24:36), maka metoda ini mempunyai tendensi untuk mengatakan bahwa Yesus memang tidak mengetahui kapan akhir dunia terjadi, tanpa melihat kompleksitas dari kodrat Yesus yang sungguh Allah dan sungguh manusia. Karena mereka juga tidak mau melihat komentar Kitab Suci dari Bapa Gereja dan Magisterium Gereja, maka mereka akan mengeraskan hati bahwa interpretasi merekalah yang paling benar.

3. Ke-4 Prinsip menginterpretasikan Kitab Suci

Secara umum, Kitab Suci mempunyai dua macam arti. Yang pertama disebut ‘literal/ harafiah’ sedangkan yang kedua disebut sebagai ‘spiritual/ rohaniah’. Kemudian arti rohaniah ini terbagi menjadi 3 macam, yaitu: alegoris, moral dan anagogis.[15] Ke-empat macam arti ini secara jelas menghubungkan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

a. Arti literal/ harafiah.

Arti harafiah adalah arti yang berdasarkan atas penuturan teks yang ada secara tepat. Mengikuti ajaran St. Thomas Aquinas, kita harus berpegang bahwa, “Tiap arti [Kitab Suci] berakar di dalam arti harafiah.”[16] Jadi dalam membaca Kitab suci, kita harus mengerti akan arti kata-kata yang dimaksud secara harafiah yang ingin disampaikan oleh pengarangnya, baru kemudian kita melihat apakah ada maksud rohani yang lain. Arti rohani ini timbul berdasarkan arti harafiah.

b. Arti alegoris

Arti alegoris adalah arti yang lebih mendalam yang diperoleh dari suatu kejadian, jika kita menghubungkan peristiwa tersebut dengan Kristus. Contohnya:
1.    Penyeberangan bangsa Israel melintasi Laut Merah adalah tanda kemenangan yang diperoleh umat beriman melalui Pembaptisan (lih.Kel14:13-31; 1Kor 10:2).
2.    Kurban anak domba Paska di Perjanjian Lama merupakan gambaran kurban Yesus Sang Anak Domba Allah pada Perjanjian Baru (Kel 12: 21-28; 1 Kor 5:7).
3.    Abraham yang rela mengurbankan anaknya Ishak adalah gambaran dari Allah Bapa yang rela mengurbankan Yesus Kristus Putera-Nya (Kej 22: 16; Rom 8:32).
4.    Tabut Perjanjian Lama adalah gambaran dari Bunda Maria, Sang Tabut Perjanjian Baru. Karena pada tabut Perjanjian Lama tersimpan dua loh batu kesepuluh perintah Allah (Kel 25:16), roti manna (Kel 25:30), tongkat Harun sang imam(Ibr 9:4); sedangkan pada rahim Maria Sang Tabut Perjanjian Baru tersimpan Sang Sabda yang menjadi manusia (Yoh 1:14), Sang Roti Hidup (Yoh 6:35), Sang Imam Agung (Ibr 8:1).

c. Arti moral

Arti moral adalah arti yang mengacu kepada hal-hal yang baik yang ingin disampaikan melalui kejadian-kejadian di dalam KItab Suci. Hal-hal itu ditulis sebagai “contoh bagi kita …sebagai peringatan” (1 Kor 10:11).
1.    Ajaran Yesus agar kita duduk di tempat yang paling rendah jika diundang ke pesta (Luk 14:10), maksudnya adalah agar kita berusaha menjadi rendah hati.
2.    Peringatan Yesus yang mengatakan bahwa ukuran yang kita pakai akan diukurkan kepada kita (Mrk 4: 24) maksudnya agar kita tidak lekas menghakimi orang lain.
3.    Melalui mukjizat Yesus menyembuhkan dua orang buta, yang berteriak-teriak, “Yesus, Anak Daud, kasihanilah kami!” (Mat 20: 29-34) Yesus mengajarkan agar kita tidak lekas menyerah dalam doa permohonan kita.

d. Arti anagogis

Arti anagogis adalah arti yang menunjuk kepada surga sebagai ‘tanah air abadi’. Contohnya adalah:
1.    Gereja di dunia ini melambangkan Yerusalem surgawi (lih. Why 21:1-22:5).
2.    Surga adalah tempat di mana Allah akan menghapuskan setiap titik air mata (Why 7:17).

e. Hubungan antara ke-empat arti Kitab Suci

Berikut ini adalah pepatah yang berasal dari Abad Pertengahan tentang arti ke-empat arti Kitab Suci. “Huruf [dari kata letter/ literal] mengajarkan kejadian; apa yang harus kau percaya, alegori; moral, apa yang harus kau lakukan; ke mana kau harus berjalan, anagogi.”[17]

4. Contoh interpretasi Kitab Suci dengan menggunakan ke-4 prinsip

Maka semua kejadian di dalam Kitab Suci memiliki makna harafiah, walaupun dapat mengandung arti rohaniah juga. Contohnya adalah kisah Allah menurunkan roti manna di padang gurun (Kel 16).[18]
1.    Secara harafiah, memang Allah memberi makan bangsa Israel dengan manna yang turun dari langit selama 40 tahun saat mereka mengembara di padang gurun.
2.    Secara alegoris, roti manna menjadi gambaran Ekaristi, di mana Yesus sebagai Roti Hidup adalah Roti yang turun dari surga (Yoh 6:51), menjadi santapan rohani kita umat beriman yang masih berziarah di dunia ini.
3.    Secara moral, kisah ini mengajarkan kita untuk tidak cepat mengeluh dan bersungut-sungut (Kel 16:2-3) kepada Allah. Umat Israel yang bersungut-sungut akhirnya dihukum Allah sehingga tak ada dari generasi mereka yang dapat masuk ke tanah terjanji (selain Yoshua dan Kaleb).
4.    Secara anagogis, kita diingatkan bahwa seperti roti manna yang berhenti diturunkan setelah bangsa Israel masuk ke Tanah Kanaan, maka Ekaristipun akan berakhir pada saat kita masuk Surga, yaitu saat kita melihat Tuhan dalam keadaan yang sebenarnya (1 Yoh 3:2).

5. Peran Gaya Bahasa dalam Kitab Suci

Seperti halnya pada karya tulis pada umumnya, peran gaya bahasa adalah sangat penting. Demikian juga pada Kitab Suci, sebab Allah berbicara pada kita dengan menggunakan bahasa manusia. Maka kita perlu memahami gaya bahasa yang digunakan, agar dapat lebih memahami isinya. Secara umum, gaya bahasa yang digunakan dalam Kitab Suci sebenarnya tidaklah rumit, sehingga orang kebanyakan dapat menangkap maksudnya. Dalam hampir semua perikop Kitab Suci, sebenarnya cukup jelas, apakah pengarang Injil sedang membicarakan hal yang harafiah atau yang rohaniah. Namun ada kekecualian pada perikop-perikop tertentu, sehingga kita perlu mengetahui beberapa prinsipnya:[19]
1.    Simili: adalah perbandingan langsung antara kedua hal yang tidak serupa. Misalnya, pada kitab Dan 2:40, digambarkan kerajaan yang ke-empat ‘yang keras seperti besi’, maksudnya adalah kekuatan kerajaan tersebut, yang dapat menghancurkan kerajaan lainnya.
2.    Metafor: adalah perbandingan tidak langsung dengan mengambil sumber sifat-sifat yang satu dan menerapkannya pada yang lain. Contohnya, “Jiwaku haus kepada Allah Yang hidup” (Mzm 42:3). Sesungguhnya, jiwa yang adalah rohani tidak mungkin bisa haus, seperti tubuh haus ingin minum. Jadi ungkapan ini merupakan metafor untuk menjelaskan kerinduan jiwa kepada Allah.
3.    Bahasa perkiraan: adalah penggambaran perkiraan, seperti jika dikatakan pembulatan angka-angka perkiraan. Misalnya,“Yesus memberi makan kepada lima ribu orang laki-laki” (Mat 14: 21; Mrk 6:44; Luk 9:14; Yoh 6:10) dapat berarti kurang lebih 5000 orang, dapat kurang atau lebih beberapa puluh.
4.    Bahasa fenomenologi: adalah penggambaran sesuatu seperti yang nampak, dan bukannya seperti mereka adanya. Kita mengatakan ‘matahari terbit’ dan ‘matahari terbenam’, meskipun kita mengetahui bahwa kedua hal tersebut merupakan akibat dari perputaran bumi. Demikian juga dengan ucapan bahwa ‘matahari tidak bergerak’ (Yos 10: 13-14).
5.    Personifikasi/ antropomorfis : adalah pemberian sifat-sifat manusia kepada sesuatu yang bukan manusia. Contohnya adalah ungkapan ‘wajah Tuhan’ atau ‘tangan Tuhan’ (Kel 33: 20-23), meskipun kita mengetahui bahwa Tuhan adalah Allah adalah Roh (Yoh 4:24) sehingga tidak terdiri dari bagian-bagian tertentu.
6.    Hyperbolisme: adalah pernyataan dengan penekanan efek yang besar, sehingga kekecualian tidak terucapkan. Contohnya adalah ucapan rasul Paulus, “Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rom 3:23); di sini tidak termasuk Yesus, yang walaupun Tuhan juga sungguh-sungguh manusia dan juga tidak termasuk Bunda Maria yang walaupun manusia tetapi sudah dikuduskan Allah sejak dalam kandungan (tanpa dosa asal).
Selanjutnya, ada juga kekecualian juga terjadi pada kondisi berikut:
1.    Jika Kitab Suci jelas mengatakannya bahwa yang disampaikan adalah perumpamaan, maka yang disampaikan tidak/ belum tentu terjadi. Contoh Yoh 10:6 “Itulah yang dikatakan Yesus dalam perumpamaan kepada mereka…” yang kemudian dilanjutkan oleh Yesus, yang mengumpamakan Ia sebagai ‘pintu’ (Yoh 10:7). Demikian juga dengan Mat 13:33 yang mengatakan bahwa Yesus mengajar dengan perumpamaan. Di sini perumpamaan belum tentu terjadi secara nyata.
2.    Interpretasi harafiah dilakukan sejalan dengan akal sehat, namun jika tidak masuk akal, maka tidak mungkin dimaksudkan secara harafiah. Jadi misalnya, pada saat Yesus mengatakan bahwa raja Herodes adalah ‘serigala’ (Luk 13:32), maka kita tidak akan mengartikan bahwa pada waktu itu pemerintah di jaman Yesus dikepalai oleh mahluk mamalia, berambut, berekor, berkuping lancip yang bernama Herodes.
3.    Jika pengartian secara harafiah malah menujukkan kontradiksi pada Allah, maka gaya bahasa yang diucapkan tidak dimaksudkan untuk diartikan secara harafiah. Dalam hal ini penting sekali kita melihat ayat-ayat lain untuk melihat gambaran yang lebih jelas akan makna ayat tersebut. Contoh: Dalam Mat 23:9, Yesus berkata “Jangan memanggil seorangpun sebagai bapa di bumi ini”, padahal baru sesaat sebelumnya Yesus mengulangi perintah ke-4 dari kesepuluh perintah Allah, “Hormatilah ibu bapa-mu” (Mat 19:19) dan Ia juga menyebut Abraham sebagai “bapa” (Mat 3:9). Selanjutnya kita melihat bagaimana Rasul Paulus kemudian menyebut dirinya sendiri sebagai “bapa” bagi umat di Korintus (1 Kor 4:15) dan kepada Onesimus (Flm 1:10). Maka ayat Mat 23:9 tidak mungkin diartikan secara harafiah. Dalam hal ini, Yesus menggunakan gaya bahasa hyperbolisme untuk menyatakan otoritas ilahi yang mengatasi otoritas duniawi.

IV. Contoh- contoh ayat dan interpretasinya.


1. Ayat- ayat yang menunjukkan tipologis Perjanjian Lama digenapi dalam Perjanjian Baru

Bukan menjadi kebetulan bahwa lebih dari dua per tiga bagian dari Kitab Suci adalah Perjanjian Lama (Perjanjian Baru hanya sepertiga bagian). Ini menunjukkan bahwa Perjanjian Lama mengambil bagian yang cukup penting di dalam Kitab Suci, yang akhirnya dipenuhi di dalam Perjanjian Baru. Maka Perjanjian Baru (PB) perlu dibaca dalam terang Perjanjian Lama (PL) dan demikian pula sebaliknya.
Tipologi maksudnya adalah bahwa PL merupakan tanda/ tipe yang dipenuhi maknanya di dalam PB. Tipologi menerangkan bagaimana Kristus dan Gereja-Nya telah dinyatakan secara figuratif di dalam PL. Beberapa contoh yang cukup jelas adalah:
1.    Dalam Yoh 3:14 Yesus sendiri mengajarkan bahwa “Ular [tembaga] yang ditinggikan di padang gurun” yang disebutkan dalam Bil 21:9 melambangkan penyaliban-Nya di gunung Golgota.
2.    Dalam Mat 12:40, Yesus mengajarkan bahwa masa 3 hari Nabi Yunus berada di dalam perut ikan besar (Yun 1:17), merupakan gambaran dari 3 hari Yesus berada di dalam kubur, sebelum kebangkitan-Nya.
3.    Dalam Luk 24:26-27, sewaktu Yesus menampakkan diri kepada para murid-Nya dalam perjalanan ke Emaus, Ia sendiri menghubungkan isi Kitab Suci [Perjanjian Lama] yang digenapi di dalam diriNya sebagai Mesias yang menderita, wafat dan bangkit dengan mulia [dalam Perjanjian Baru].
4.    Dalam 1Pet 3:19-21, Rasul Petrus menyatakan bahwa air bah pada jaman Nabi Nuh merupakan gambaran/ kiasan Pembaptisan.
5.    Dalam Rom 5:14, Rasul Paulus menyebutkan bahwa manusia pertama Adam adalah “gambaran” dari Kristus, [dengan Kristus sebagai manusia sempurna]; sebab dosa datang karena Adam, dan keselamatan datang karena Kristus, Putera Allah yang menjelma menjadi manusia.
6.    Wahyu 11:19- 12:1-2: Bunda Maria sebagai Tabut Perjanjian Baru: Di dalam Kitab Perjanjian Lama, yaitu di Kitab Keluaran bab 25 sampai dengan 31, kita melihat bagaimana ’spesifik-nya’ Allah saat Ia memerintahkan Nabi Musa untuk membangun Kemah suci dan Tabut Perjanjian. Ukurannya, bentuknya, bahannya, warnanya, pakaian imamnya, sampai seniman-nya (lih. Kel 31:1-6), semua ditunjuk oleh Tuhan. Hanya imam (Harun) yang boleh memasuki tempat Maha Kudus itu dan ia pun harus disucikan sebelum mempersembahkan korban di Kemah suci (Kel 40:12-15). Jika ia berdosa, maka ia akan meninggal seketika pada saat ia menjalankan tugasnya di Kemah itu (Im 22:9). Hal ini menunjukkan bagaimana Allah sangat mementingkan kekudusan Tabut suci itu, yang di dalamnya diletakkan roti manna (Kel 25:30), dan dua loh batu kesepuluh perintah Allah (Kel 25:16), dan tongkat imam Harun (Bil 17:10; Ibr 9:4). Betapa lebih istimewanya perhatian Allah pada kekudusan Bunda Maria, Sang Tabut Perjanjian Baru, karena di dalamnya terkandung PuteraNya sendiri, Sang Roti Hidup (Yoh 6:35), Sang Sabda yang menjadi manusia (Yoh 1:14), Sang Imam Agung yang Tertinggi (Ibr 8:1)! (Lihat pula bagaimana Allah menguduskan Tabut Perjanjian Lama dalam 2 Sam 6:6-7, 1 Taw 13:9-10, dan juga perbandingan ayat 2 Sam 6:9; dengan Luk 1:43; 2 Sam 6:11 dengan Luk 1:56). Persyaratan kekudusan Bunda Maria -Sang Tabut Perjanjian Baru- pastilah jauh lebih tinggi daripada kekudusan Tabut Perjanjian Lama yang tercatat dalam Kitab Keluaran, Samuel dan Tawarikh itu. Bunda Maria, Sang Tabut Perjanjian Baru, harus kudus, dan tidak mungkin berdosa, karena Allah sendiri masuk dan tinggal di dalam rahimnya. Itulah sebabnya Bunda Maria dibebaskan dari noda dosa oleh Allah.

2. Contoh ayat- ayat yang harus dilihat kaitannya dengan ayat- ayat lainnya, Tradisi Suci dan pengajaran Magisterium Gereja


a. Ayat- ayat tentang keselamatan

Ayat Yoh 3:16 mengatakan bahwa siapa yang percaya pada Yesus akan memperoleh hidup kekal, atau “diselamatkan”; lalu pada ayat Ef 2:8 ada perkataan “diselamatkan oleh iman”, maka ada banyak orang Kristen non- Katolik mengatakan bahwa Kitab Suci mengajarkan bahwa kita diselamatkan hanya oleh iman saja (saved by faith alone). Padahal ayat-ayat Kitab Suci yang lain memberikan pengajaran yang lebih menyeluruh, misalnya pada ayat Ef 2:8 sendiri dikatakan: “Karena kasih karunia kita diselamatkan oleh iman”, sehingga di sini saja kita tahu bahwa bukan hanya iman yang menyelamatkan kita. Ayat yang lain mengajarkan iman yang menyelamatkan itu “bekerja oleh kasih” (Gal 5:6). Artinya kita harus melakukan perintah Tuhan agar dapat diselamatkan (Mat 19:17), dan perintah ini adalah hukum kasih kepada Tuhan dan sesama (Mat 22:37-40; Mrk 12:30-31). Kitab Suci juga mengajarkan bahwa -keselamatan dalam Kristus diperoleh dengan iman melalui pertobatan dan pembaptisan dalam nama-Nya, demi penebusan dosa (Kis 2:38-41). Rasul Yakobus, bahkan dengan jelas mengatakan bahwa kita dibenarkan karena perbuatan-perbuatan kita dan bukan hanya karena iman (Yak 2:24). Kristus sendiri menyatakan bahwa agar seseorang dapat masuk dalam Kerajaan Allah (diselamatkan), ia harus dilahirkan kembali dengan air dan Roh (Yoh 3:5). Dengan demikian, untuk mengetahui gambaran yang menyeluruh tentang keselamatan, maka kita harus melihat Kitab Suci secara keseluruhan.
Oleh karena itu, Magisterium Gereja Katolik mengajarkan demikian:
1.    KGK 1257 Tuhan sendiri mengatakan bahwa Pembaptisan itu perlu untuk keselamatan (Bdk. Yoh 3:5). Karena itu, Ia memberi perintah kepada para murid-Nya, untuk mewartakan Injil dan membaptis semua bangsa (Bdk. Mat 28:19-20; DS 1618; LG 14; AG 5). Pembaptisan itu perlu untuk keselamatan orang-orang, …Gereja tidak mengenal sarana lain dari Pembaptisan, untuk menjamin langkah masuk ke dalam kebahagiaan abadi. Karena itu, dengan rela hati ia mematuhi perintah yang diterimanya dari Tuhan, supaya membantu semua orang yang dapat dibaptis, untuk memperoleh “kelahiran kembali dari air dan Roh”. Tuhan telah mengikatkan keselamatan pada Sakramen Pembaptisan, tetapi Ia sendiri tidak terikat pada sakramen-sakramen-Nya.
2.    KGK 1815 Anugerah iman tinggal di dalam dia yang tidak berdosa terhadapnya (Bdk. Konsili Trente: DS 1545). Tetapi “iman tanpa perbuatan adalah mati” (Yak 2:26)Iman tanpa harapan dan kasih tidak sepenuhnya mempersatukan orang beriman dengan Kristus dan tidak menjadikannya anggota yang hidup dalam Tubuh-Nya.
3.    KGK 1816 Murid Kristus harus mempertahankan iman dan harus hidup darinya, harus mengakuinya, harus memberi kesaksian dengan berani dan melanjutkannya; Semua orang harus “siap-sedia mengakui Kristus di muka orang-orang, dan mengikuti-Nya menempuh jalan salib di tengah penganiayaan, yang selalu saja menimpa Gereja ” (LG 42, Bdk. DH 14). Pengabdian dan kesaksian untuk iman sungguh perlu bagi keselamatan: “Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di surga. Tetapi barang siapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di surga” (Mat 10:32-33)

b. Ayat- ayat yang menyebutkan adanya ‘saudara- saudara’ Yesus.

Perikop Luk 8:19-21 atau juga Mat 12:46-50, Mrk 3:31-35, memang berjudul: Yesus dan sanak saudara-Nya. Bahkan dalam Mat 13:55 dan Mrk 6:3 disebutkan nama saudara- saudara-Nya itu yaitu: Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon. Oleh karena itu ada banyak orang menyangka bahwa Yesus mempunyai saudara- saudara kandung, atau artinya Bunda Maria mempunyai anak- anak lain selain Yesus. Namun tentu ini tidak benar!
Di dalam Kitab Suci, istilah “saudara” dipakai untuk menjelaskan banyak arti. Kata “saudara” (dari kata Yunani, ‘adelphos’ ) memang dapat berarti saudara kandung, namun dapat juga berarti saudara seiman (Kis 21:7), saudara sebangsa (Kis 22:1), ataupun kerabat, seperti pada kitab asli bahasa Ibrani yang mengatakan Lot sebagai saudara Abraham (Kej 14:14), padahal Lot adalah keponakan Abraham.
Jadi untuk memeriksa apakah Yakobus dan Yusuf itu adalah saudara Yesus, kita melihat kepada ayat-ayat yang lain, yaitu ayat Matius 27:56 dan Markus 15:40, yang menuliskan nama-nama perempuan yang ‘melihat dari jauh’ ketika Yesus disalibkan. Mereka adalah Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus dan Yusuf/ Yoses, dan ibu anak-anak Zebedeus (Mat 27:56); atau Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus Muda, Yoses dan Salome (Mrk 15:40). Maka di sini, Kitab Suci menunjukkan bahwa Maria ibu Yakobus ini tidak sama dengan Bunda Maria. Maria ibu Yakobus dan Yoses (Yusuf) dicatat dalam Kitab Suci sebagai salah satu wanita yang menyaksikan penyaliban Kristus (Mat 27:56; Mrk 15:40) dan kubur Yesus yang kosong/ kebangkitan Yesus (Mrk 16:1; Luk 24:10)
Mungkin yang paling jelas adalah kutipan dari Injil Yohanes, yang menyebutkan bahwa yang hadir dekat salib Yesus adalah, Bunda Maria, saudara Bunda Maria yang juga bernama Maria yang adalah istri  Klopas, dan Maria Magdalena (Yoh 19:25). Jadi di sini jelaslah bahwa Maria (saudara Bunda Maria) ini adalah istri Klopas/ Kleopas, yang adalah juga ibu dari Yakobus dan Yusuf/Yoses. Kleopas adalah salah satu dari murid-murid Yesus yang berjalan ke Emmaus dan mengalami penampakan diri Yesus setelah kebangkitan-Nya (Luk 24:18).
Kesimpulannya, Yakobus dan Yoses ini bukanlah saudara kandung Yesus.
Selanjutnya, kita juga melihat bahwa Tradisi Suci mengajarkan bahwa Bunda Maria adalah Perawan selamanya, sehingga dengan demikian Yesus tidak mempunyai saudara- saudari kandung:
1.    St. Ignatius dari Antiokhia (meninggal tahun 110), Origen (233), Hilarius dari Poiters (m. 367) dan St.Gregorius Nissa (m. 394), mengajarkan tentang keperawanan Bunda Maria.[20]
2.    Tertullian (213), “Dan sungguh, ada seorang perawan… yang melahirkan Kristus, supaya semua gelar kekudusan dapat dipenuhi di dalam diri orang tua Kristus, melalui seorang ibu yang adalah perawan dan istri dari satu orang suami.”[21]
3.    St. Athanasius (293-373) menyebutkan Maria sebagai Perawan selamanya/ Ever Virgin.[22]
4.    St. Epifanus (374): Allah Putera …. telah lahir sempurna dari Maria suci dan tetap Perawan oleh Roh Kudus….”[23]
5.    St. Hieronimus/ Jerome (347- 420) tidak hanya menyebutkan keperawanan Maria, tetapi juga keperawanan Yusuf.[24]
6.    St. Agustinus dan St. Ambrosius (415), mengajarkan keperawanan Maria sebelum, pada saat dan sesudah melahirkan Yesus Kristus, sehingga Maria adalah perawan selamanya.[25]
“Dengan kuasa Roh Kudus yang sama, Yesus lahir tanpa merusak keperawanan Bunda Maria, seperti halnya setelah kebangkitan-Nya, Dia dapat datang ke dalam ruang tempat para murid-Nya berdoa, tanpa merusak semua pintu yang terkunci (Lih. Yoh 20:26).”[26] Roh Kudus yang membangkitkan Yesus dari mati adalah Roh Kudus yang sama yang membentuk Yesus dalam rahim Bunda Maria. Maka kelahiran Yesus dan kebangkitan-Nya merupakan peristiwa yang ajaib: kelahirannya tidak merusak keperawanan Maria, seperti kebangkitan-Nya tidak merusak pintu yang terkunci.
Selanjutnya, St. Agustinus mengajarkan, “It is not right that He who came to heal corruption should by His advent violate integrity.” (Adalah tidak mungkin bahwa Ia yang datang untuk menyembuhkan korupsi/kerusakan, malah merusak keutuhan pada awal kedatangan-Nya.”[27]
7.    St. Petrus Kristologus (406- 450): “Sang Perawan mengandung, Sang Perawan melahirkan anaknya, dan ia tetap perawan.”[28Paus St. Leo Agung (440-461) :“a Virgin conceived, a Virgin bare and a Virgin she remained.- [Ia adalah seorang Perawan yang mengandung, Perawan melahirkan, dan ia tetap Perawan.”[29].  St. Yohanes Damaskinus (676- 749) juga mengatakan hal yang serupa: "Ia yang tetap Perawan, bahkan tetap perawan setelah kelahiran [Kristus] tak pernah sampai akhir hidupnya berhubungan dengan seorang pria… Sebab meskipun dikatakan Ia [Kristus] sebagai yang ’sulung’…. arti kata ’sulung’ adalah ia yang lahir pertama kali, dan tidak menunjuk kepada kelahiran anak- anak berikutnya.”
Atas dasar Tradisi Suci tersebut, maka Magisterium Gereja Katolik mengajarkan demikian tentang keperawanan Maria:
1. Maria adalah Perawan, sebelum, pada saat dan sesudah kelahiran Yesus Kristus(De fide).[30]
Konsili Konstantinopel II (553) menyebutkan Bunda Maria sebagai, “kudus, mulia, dan tetap-Perawan Maria”.[31]
2. Konsili ini merangkum ajaran-ajaran penting sehubungan dengan ajaran bahwa Yesus, adalah sungguh Allah dan sungguh manusia. Termasuk dalam ajaran ini adalah ajaran tentang keperawanan Maria; karena kelahiran Yesus dari seorang Perawan adalah salah satu bukti keilahian-Nya. Selanjutnya, pemahaman tentang Maria dikuduskan Allah diperoleh dengan memahami perbandingannya dengan Tabut Perjanjian di Perjanjian Lama. Jika Tabut Perjanjian Lama saja begitu dikuduskan Allah, betapa Allah akan lebih lagi secara istimewa menguduskan Maria, Tabut Perjanjian Baru, yang mengandung dan melahirkan Kristus, Sang Sabda yang telah menjadi daging, Sang Roti Hidup dan Sang Imam Agung. Sinode Lateran (649) di bawah Paus Martin I mengatakan:
“Ia [Mariamengandung tanpa benih laki-laki, [melainkan] dari Roh Kudus, melahirkan tanpa merusak keperawanannya, dan keperawanannya tetap tidak terganggu setelah melahirkan.” (D256)
Maka keperawanan Maria termasuk 1) keperawanan hati, 2) kemerdekaan dari hasrat seksual yang tak teratur dan 3) integritas fisik. Namun doktrin Gereja secara prinsip mengacu kepada keperawanan tubuh/ fisik Maria.[32]
Maria mengandung dari Roh Kudus, tanpa campur tangan manusia (De fide)Ini sesuai dengan kabar gembira yang disampaikan oleh malaikat Gabriel (lih. Luk 1: 35). Maria mengandung dari Roh Kudus dinyatakan dalam Syahadat Aku Percaya, “Qui conceptus est de Spiritu Sancto.” (D 86, 256,993)
Maria melahirkan Putera-Nya tanpa merusak keperawanannya (De fide)
Keperawanan Maria pada saat melahirkan Yesus termasuk dalam gelar, “tetap perawan” yang diberikan kepada Maria oleh Konsili Konstantinopel (553) (D214, 218, 227). Doktrin ini diajarkan oleh Paus Leo I dalam Epistola Dogmatica ad Flavianum (Ep 28,2), disetujui oleh Konsili di Kalsedon, dan diajarkan dalam Sinode Lateran (649). Prinsipnya adalah ajaran dari St. Agustinus (Enchiridion 34) yang mengajarkan dengan analogi- Yesus keluar dari kubur tanpa merusaknya, Ia masuk ke dalam ruangan terkunci tanpa membukanya, menembusnya sinar matahari dari gelas, lahirnya Sabda dari pangkuan Allah Bapa, keluarnya pikiran manusia dari jiwanya.
Setelah melahirkan Yesus, Maria tetap perawan (De fide).
Konsili Konstantinopel (553) dan Sinode Lateran (649) menyebutkan gelar “tetap perawan”(D 214, 218, 227). St. Agustinus dan para Bapa Gereja mengartikan ayat yang disampaikan oleh Bunda Maria, “karena aku tidak bersuami (I know not man)” (Luk 1:34) (Douay Rheims Bible) adalah suatu ungkapan kaul Bunda Maria untuk hidup selibat sepanjang hidupnya.

V. Lectio Divina

Walaupun pendekatan pengetahuan akan Tradisi Suci adalah sangat penting, namun pendekatan penghayatan Sabda dalam relasi pribadi dengan Tuhan juga tak kalah penting. Oleh karena itu, Bapa Gereja dan konsili-konsili Gereja mengajarkan kita untuk senantiasa berdoa dalam membaca Kitab Suci. Lebih lanjut, Verbum Domini menekankan untuk membaca Kitab Suci dalam dialog dengan Tuhan[33]. St. Agustinus mengatakan “Your prayer is the word you speak to God. When you read the Bible, God speaks to you; when you pray, you speak to God”[34] Dengan demikian, orang yang membawa Sabda Allah dan merenungkannya di dalam doa, maka menjadi suatu percakapan yang begitu intim dan personal antara seseorang dengan Tuhan, yang pada akhirnya akan membaca seseorang pada kesempurnaan kehidupan Kristiani. Namun, dokumen yang sama mengingatkan agar kita tidak boleh terjebak pada interpretasi pribadi, namun harus teks-teks di dalam Kitab Suci harus senantiasa dimengerti dalam kesatuan dengan Gereja.

1. Pengertian

Tradisi Gereja Katolik mengenal apa yang disebut sebagai “lectio divina” untuk membantu kita umat beriman untuk sampai kepada persahabatan yang mendalam dengan Tuhan. Caranya ialah dengan mendengarkan Tuhan berbicara kepada kita melalui sabda-Nya. “Lectio” sendiri adalah kata Latin yang artinya “bacaan”.[35] Maka “lectio divina” berarti bacaan ilahi atau bacaan rohani. Bacaan ilahi/ rohani ini terutama diperoleh dari Kitab Suci. Maka, lectio divina adalah cara berdoa dengan membaca dan merenungkan Kitab Suci untuk mencapai persatuan dengan Tuhan Allah Tritunggal. Di samping itu, dengan berdoa sambil merenungkan Sabda-Nya, kita dapat semakin memahami dan meresapkan Sabda Tuhan dan misteri kasih Allah yang dinyatakan melalui Kristus Putera-Nya. Melalui lectio divina, kita diajak untuk membaca, merenungkan, mendengarkan, dan akhirnya berdoa ataupun menyanyikan pujian yang berdasarkan sabda Tuhan, di dalam hati kita. Penghayatan sabda Tuhan ini akan membawa kita kepada kesadaran akan kehadiran Allah yang membimbing kita dalam segala kegiatan kita sepanjang hari. Jika kita rajin dan tekun melaksanakannya, kita akan mengalami eratnya persahabatan kita dengan Allah. Suatu pengalaman yang begitu indah tak terlukiskan!

2. Empat hal dalam proses lectio divina

Meskipun terjemahan bebas dari kata lectio adalah bacaan, proses yang terjadi dalamlectio divina bukan hanya sekedar membaca. Proses lectio divina ini menyangkut empat hal, yaitu: lectio, meditatio, oratio dan contemplatio.[36]

a. Lectio

Membaca di sini bukan sekedar membaca tulisan, melainkan juga membuka keseluruhan diri kita terhadap Sabda yang menyelamatkan. Kita membiarkan Kristus, Sang Sabda, untuk berbicara kepada kita, dan menguatkan kita, sebab maksud kita membaca bukan sekedar untuk pengetahuan tetapi untuk perubahan dan perbaikan diri kita. Maka saat kita sudah menentukan bacaan yang akan kita renungkan (misalnya bacaan Injil hari itu, atau bacaan dari Ibadat Harian), kita dapat membacanya dengan kesadaran bahwa ayat-ayat tersebut sungguh ditujukan oleh Tuhan kepada kita.

b. Meditatio

Meditatio adalah pengulangan dari kata-kata ataupun frasa dari perikop yang kita baca, yang menarik perhatian kita. Ini bukan pelatihan pemikiran intelektual di mana kita menelaah teksnya, tetapi kita menyerahkan diri kita kepada pimpinan Allah, pada saat kita mengulangi dan merenungkan kata-kata atau frasa tersebut di dalam hati. Dengan pengulangan tersebut, Sabda itu akan menembus batin kita sampai kita dapat menjadi satu dengan teks itu. Kita mengingatnya sebagai sapaan Allah kepada kita.

c. Oratio

Doa adalah tanggapan hati kita terhadap sapaan Tuhan. Setelah dipenuhi oleh Sabda yang menyelamatkan, maka kita memberi tanggapan. Maka seperti kata St. Cyprian, “Melalui Kitab Suci, Tuhan berbicara kepada kita, dan melalui doa kita berbicara kepada Tuhan.” Maka dalam lectio divina ini, kita mengalami komunikasi dua arah, sebab kita berdoa dengan merenungkan Sabda-Nya, dan kemudian kita menanggapinya, baik dengan ungkapan syukur, jika kita menemukan pertolongan dan peneguhan; pertobatan, jika kita menemukan teguran; ataupun pujian kepada Tuhan, jika kita menemukan pernyataan kebaikan dan kebesaran-Nya.

d. Contemplatio

Saat kita dengan setia melakukan tahapan-tahapan ini, akan ada saatnya kita mengalami kedekatan dengan Allah, di mana kita berada dalam hadirat Allah yang memang selalu hadir dalam hidup kita. Kesadaran kontemplatif akan kehadiran Allah yang tak terputus ini adalah sebuah karunia dari Tuhan. Ini bukan hasil dari usaha kita ataupun penghargaan atas usaha kita. St. Teresa menggambarkan keadaan ini sebagai  doa persatuan dengan Allah/prayer of union di mana kita “memberikan diri kita secara total kepada Allah, menyerahkan sepenuhnya kehendak kita kepada kehendak-Nya.”[37]
Ke-empat fase ini membuat kelengkapan lectio divina. Jika lectio diumpamakan sebagai fase perkenalan, maka meditatio adalah pertemanan, oratio persahabatan dancontemplatio sebagai persatuan.

3. Bagaimana caranya memulai lectio divina

Karena maksud dari lectio divina adalah untuk menerapkan Sabda Allah dalam kehidupan kita, dan dengan demikian hidup kita diubah dan dipimpin olehnya, maka langkah-langkahlectio divina adalah sebagai berikut:
1.    Ambillah sikap doa, bawalah diri kita dalam hadirat Allah. Resapkanlah kehadiran Tuhan di dalam hati kita. Mohonlah agar Tuhan sendiri memimpin dan mengubah hidup kita melalui bacaan Kitab Suci hari itu.
2.    Mohonlah kepada Roh Kudus untuk membantu kita memahami perikop itu dengan pengertian yang benar.
3.    Bacalah perikop Kitab Suci tersebut secara perlahan dan dengan seksama, jika mungkin ulangi lagi sampai beberapa kali.
4.    Renungkan untuk beberapa menit, akan satu kata atau ayat atau hal-hal yang disampaikan dalam perikop tersebut dan tanyakanlah kepada diri kita sendiri, “Apakah yang diajarkan oleh Allah melalui perikop ini kepadaku?”
5.    Tutuplah doa dengan satu atau lebih resolusi/keputusan praktis yang akan kita lakukan, dengan menerapkan pokok-pokok ajaran yang disampaikan dalam perikop tersebut di dalam hidup dan keadaan kita sekarang ini.
6.    Resapkanlah kehadiran Tuhan di sepanjang aktivitas kita sehari itu. Dengan kesadaran ini kita dapat selalu mengarahkan dan mempersembahkan segala sesuatu yang kita lakukan hari itu demi kemuliaan nama-Nya.

4. Contoh merenungkan Kitab Suci dengan lectio divina

Mari kita melihat bacaan Injil dari Mat 18:21-19:2. Di dalam perikop tersebut diceritakan perumpamaan tentang pengampunan. Pada saat kita merenungkan perikop ini, maka kita dapat bertanya pada diri sendiri, apakah yang Tuhan inginkan agar kita terapkan dalam kehidupan kita sehari hari?
Maka kita bisa membayangkan salah satu tokoh dalam perikop itu, misalnya, kita menjadi hamba itu yang berhutang sepuluh ribu talenta. Namun oleh belas kasihan raja [yaitu Tuhan], maka hutang hamba itu dihapuskan. Namun kemudian kita berjumpa dengan orang yang telah menyakiti hati kita, dan kita merasa sulit untuk mengampuni. Dengan demikian, kita bersikap seperti hamba itu, yang walaupun sudah diampuni dan dihapuskan hutangnya, namun tidak dapat/ sukar mengampuni orang lain. Mari dengan jujur melihat, apakah kita pun pernah atau sering bersikap seperti hamba yang tidak berbelas kasihan ini?  Siapakah kiranya orang yang Tuhan inginkan agar kita ampuni? Tanyakanlah kepada Tuhan dalam hati, “Tuhan, tunjukkanlah kepadaku, adakah aku pernah bersikap demikian? Siapakah yang harus kuampuni…?
Sambil terus merenungkan ayat demi ayat dalam perikop tersebut, bercakap-cakaplah dengan Tuhan dalam keheningan batin. Mungkin Tuhan ingin mengingatkan kita akan ayat ini, “Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti Aku telah mengasihani engkau?” (Mat 18:33). Jika ayat itu yang sungguh berbicara pada kita hari ini, maka kita mengingatnya dan mengulanginya kembali dalam hati, sebagai perkataan Tuhan yang ditujukan kepada kita. Dan semakin kita merenungkannya, semakin hiduplah perkataan itu di batin kita, dan bahkan kita dapat mendapat dorongan untuk menerapkannya.
Atau jika pada saat ini kita masih terluka atas perlakuan seseorang kepada kita, maka, kitapun dapat membawanya ke hadapan Kristus. Kita dapat pula menyatakan kepada-Nya, betapa kita ingin mengampuni, namun rasa sakit masih begitu mendalam dan nyata dalam hati kita. Maka, mungkin ayat yang berbicara adalah beberapa ayat sesudahnya yang berkata, “Orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia dan Iapun menyembuhkan mereka di sana.” (Mat 19:2). Kita dapat membayangkan bahwa kita berada di antara orang yang berbondong-bondong itu, dan memohon agar Ia menyembuhkan luka-luka batin kita. Biarlah ayat Mat 19:2 meresap dalam hati kita, dan kita ulangi berkali-kali sepanjang hari, “…. dan Tuhan Yesus-pun menyembuhkan luka-luka batinku di sana.” Biarkan jamahan Tuhan yang menyembuhkan banyak orang pada 2000 tahun yang lalu menyembuhkan kita juga pada saat ini. Dengan kita mengalami kesembuhan batin, maka sedikit demi sedikit Tuhan membantu kita untuk mengampuni, sebab kekuatan kasih-Nya memampukan kita melakukan sesuatu yang di luar batas kemampuan kita sebagai manusia.
Memang, pada akhirnya, lectio divina ini tidak akan banyak berguna jika kita berhenti padameditatio/ permenungan, tapi tanpa langkah selanjutnya. Kita harus menanggapi apa yang Tuhan sampaikan lewat sabda-Nya, dan membuat keputusan tentang apakah yang akan kita lakukan selanjutnya, setelah menerima pengajaran-Nya. Maka langkah berikut, kita dapat mengadakan percakapan/ oratio yang akrab dengan Tuhan Yesus, entah berupa ucapan syukur, pertobatan, atau permohonan, yang semua dilakukan atas dasar kesadaran kita akan besarnya kasih Tuhan kepada kita. Kesadaran akan kasih Kristus inilah yang sedikit demi sedikit mengubah kita, dan mendorong kita untuk memperbaiki diri, supaya dapat mengikuti teladan-Nya, untuk mengasihi orang-orang di sekitar kita, terutama anggota keluarga kita sendiri: suami, istri, orang tua, dan anak-anak. Kasih-Nya ini pula yang membangkitkan di dalam hati kita rasa syukur, atas pengampunan dan pertolongan-Nya pada kita. Dengan memandang kepada Yesus, kita dapat melihat dengan jujur ke dalam diri kita sendiri, untuk menemukan hal-hal yang masih harus kita perbaiki, agar kita dapat hidup sesuai dengan panggilan kita sebagai murid- murid-Nya.
Jika melalui lectio divina akhirnya kita mampu mengalahkan kehendak diri sendiri untuk mengikuti kehendak Allah, maka  kita perlu sungguh bersyukur. Sebab sesungguhnya, ini adalah karya Roh Kudus yang nyata dalam hidup kita. Perubahan hati, atau pertobatan terus menerus yang menghantar kita lebih dekat kepada Tuhan dengan sendirinya mempersiapkan kita untuk bersatu dengan-Nya dalam contemplatio. Dalam contemplatioini, hanya ada Allah saja di dalam hati dan pikiran kita. Kerajaan-Nya memenuhi hati kita, sehingga kehendak-Nya sepenuhnya menjadi kehendak kita. “Jadilah padaku ya Tuhan, menurut kehendak-Mu….” Dan dalam keheningan dan kedalaman batin kita masuk dalam persatuan dengan Dia.
Jika arti doa yang sesungguhnya adalah “turun dengan pikiran kita menuju ke dalam hati, dan di sana kita berdiri di hadapan wajah Tuhan, yang selalu hadir, selalu memandang kita, di dalam diri kita,”[38]. Pandangan kepada Yesus ini adalah suatu bentuk penyangkalan diri, di mana kita tidak lagi menghendaki sesuatu yang lain daripada kehendak Allah. Dengan pandangan ini kita mempercayakan seluruh diri kita ke dalam tangan-Nya, dan kita semakin terdorong untuk mengasihi dan mengikuti Dia yang terlebih dahulu mengasihi kita.

5. Apa buah-buah dari lectio divina?

Buah-buah dari lectio divina adalah compassio dan operatio[39]. Dengan persatuan kita dengan Tuhan, maka kita membuka diri juga untuk lebih memperhatikan dan mengasihi sesama dan ciptaan Tuhan yang lain. Kita juga didorong untuk melakukan tindakan nyata untuk membantu sesama yang membutuhkan pertolongan, ataupun untuk selalu mengusahakan perdamaian dengan semua orang. Dengan demikian perbuatan kita menjadi kesatuan dengan doa kita, atau dengan perkataan lain kita memiliki perpaduan sikap Maria dan Martha (lih. Luk 10:38-42).

6. Mari, memulai perjalanan iman dengan lectio divina

Jika kita membaca pengalaman para orang kudus, kita mengetahui bahwa banyak dari mereka menerapkan lectio divina dalam kehidupan rohani mereka. Diakui bahwa perjalanan menuju contemplatio bukan sesuatu yang mudah, karena memerlukan disiplin dan kesetiaan kita untuk menyediakan waktu untuk berdoa. Namun demikian, sesungguhnya setiap orang dapat mulai menerapkan lectio divina ini dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak orang keliru jika berpikir bahwa membaca dan merenungkan Kitab Suci secara pribadi hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu yang tingkat pendidikan yang tinggi tentang Kitab Suci. Kenyataannya, sebagian besar perikop Kitab Suci tidak sulit di-interpretasikan. Bahkan perikop yang mengandung ayat yang sulit sekalipun, akan tetap berguna untuk direnungkan. Maka sesungguhnya, tidak ada alasan bagi kita untuk malas membaca dan merenungkan Kitab Suci. Kita dapat menggunakan ayat-ayat Kitab Suci untuk berdoa dan untuk menjadi penuntun sikap kita sehari-hari. Membaca atau menghafalkan ayat- ayat Kitab Suci adalah sesuatu yang baik, tetapi alangkah lebih baik jika kita meresapkannya dan membiarkan hidup kita terus menerus diubah olehnya. Tentu, ke arah yang lebih baik, agar kita semakin dapat mengikuti teladan Kristus Tuhan kita.

VI. Kesimpulan

Untuk memberitahukan rencana keselamatanNya, Allah berbicara pada GerejaNya melalui Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium. Ketiga hal ini adalah karunia Allah yang tidak terpisahkan untuk menyampaikan kebenaran melalui GerejaNya. Perlu kita ingat bahwa Rasul Paulus sendiri berkata bahwa Gereja adalah “jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran” (1Tim 3:15). Karena wahyu Allah dinyatakan dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci dan keduanya berasal dari Allah, kita harus menerima dan menghormati keduanya dengan hormat yang sama[40].
Dengan demikian, Kitab Suci harus dibaca dalam terang Tradisi Suci, dengan memperhatikan analogi iman; dan interpretasi suatu ayat dalam Kitab Suci harus memperhatikan artinya dalam kesatuan seluruh Kitab Suci. Selanjutnya, di dalam hal iman dan moral, kita harus menginterpretasikan Kitab Suci dengan menempatkan pemahaman Magisterium Gereja di atas pemahaman pribadi, karena kepada merekalah telah dipercayakan tugas mengartikan Wahyu Allah secara otentik. Namun hal ini janganlah sampai mengurangi semangat kita untuk membaca Kitab Suci, karena Gereja mengajarkan kita agar kita rajin membaca Kitab Suci dan mempelajarinya, sebab melalui Kitab Suci kita dibawa pada ”pengenalan yang mulia akan Kristus” (Flp 3:8).[41] Ini adalah suatu tantangan buat kita semua yang mengatakan bahwa kita mengenal dan mengasihi Yesus.
Dengan menyadari bahwa penulisan Kitab Suci melibatkan Roh Kudus sebagai Penyebab (auctor) dan sang penulis Kitab, maka tidak dapatlah dikesampingkan faktor- faktor keilahian dalam Kitab Suci, maupun faktor latar belakang penulisnya. Dengan demikian harus dihindari kedua cara interpretasi ini: 1) yang meniadakan faktor keilahian dalam Kitab Suci, dan hanya menganggapnya sebagai buku sejarah (hermenetik sekular); dan 2) yang menganggap ketiadaan faktor latar belakang sejarah, dengan menganggap Kitab Suci sebagai hasil ‘dikte’ dari Roh Kudus tanpa ada keterlibatan sang manusia penulis (fundamentalisme). Dengan melihat adanya kerjasama antara ilham Roh Kudus dan manusia penulisnya, Kitab Suci diartikan dengan menggunakan empat prinsip; yaitu bahwa setiap ayat mempunyai makna literal (apa kejadiannya), allegoris (apa yang harus dipercaya), moral (apa yang harus dilakukan) dan anagogis (apa tujuan akhirnya). Di samping itu, untuk mengetahui keempat arti tersebut, peran gaya bahasa penulis Kitab sangatlah penting untuk dipahami.
Akhirnya, permenungan akan makna Sabda Tuhan dapat dilakukan dengan cara lectio divina, yang terdiri dari empat tahapan yaitu membaca Kitab Suci (lectio), merenungkannya (meditatio), berdoa (oratio), menghayati persatuan dengan Allah (contemplatio). Selanjutnya, buah yang ditunjukkannya adalah belas kasihan dan perbuatan baik (compassio dan operatio) yang membawa kepada pertumbuhan hidup rohani menuju kekudusan dalam persahabatan yang erat dengan Allah dan sesama.
O, Tuhan Yesus, tambahkanlah di dalam hatiku, kasih kepada-Mu; sehingga aku dapat setia menginginkan persahabatan dengan Engkau melalui doa dan Sabda.
Catatan: bahan ini diberikan untuk seminar tentang Kitab Suci di paroki St. Matias Cinere yang dihadiri anggota Kelasi (Keluarga Evangelisasi / Alumni KEP)

CATATAN KAKI:
  1. Tradisi Gereja mengajarkan bahwa wahyu umum berakhir dengan Kristus dan para rasulNya, maka sesudah itu tidak akan ada lagi pernyataan wahyu umum. Maka Paus Pius X mengecam mereka yang berpendapat bahwa akan ada lagi wahyu yang baru “New Revelations”, ataupun pendapat bahwa wahyu tersebut tidak berakhir dengan para rasul. (H. Denzinger 2021). KGK 66 mengutip Dei Verbum 4, mengatakan, “Tata penyelamatan Kristen sebagai suatu perjanjian yang baru dan definitif tidak pernah akan lenyap, dan tidak perlu diharapkan suatu wahyu umum baru, sebelum kedatangan yang jaya Tuhan kita Yesus Kristus.” Namun KGK 67 melanjutkan, bahwa dalam peredaran waktu, terdapat apa yang disebut sebagai “wahyu pribadi”, yang beberapa diantaranya diakui oleh Gereja, namun tidak termasuk dalam perbendaharaan iman, sebab fungsinya bukan untuk menyempurnakan wahyu Kristus, tetapi untuk membantu umat beriman untuk menghayatinya lebih dalam lagi. []
  2. Wahyu umum yang tertera di Kitab Injil disampaikan dengan dua cara, seperti yang dikatakan dalam KGK 76: Sesuai dengan kehendak Allah terjadilah pengalihan Injil atas dua cara:
    Secara lisan “oleh para Rasul, yang dalam pewartaan lisan, dengan teladan serta penetapan-penetapan meneruskan entah apa yang mereka terima dari mulut, pergaulan dan karya Kristus sendiri, entah apa yang atas dorongan Roh Kudus telah mereka pelajari.
    Secara tertulis “oleh para Rasul dan tokoh-tokoh rasuli, yang atas ilham Roh Kudus itu juga telah membukukan amanat keselamatan.” []
  3. Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum 9, “Sebab Kitab suci itu pembicaraan Allah sejauh itu termaktub dengan ilham Roh ilahi.” Inilah definisi dari Kitab Suci []
  4. Dei Verbum 9, “….Oleh Tradisi Suci sabda Allah, yang oleh Kristus Tuhan dan Roh Kudus dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya mereka ini dalam terang Roh kebenaran dengan pewartaan mereka memelihara, menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia.”
    Baik Kitab Suci maupun Tradisi Suci berasal dari sumber yang sama, sehingga harus dihormati dengan penghormatan yang sama. []
  5. Katekismus Gereja Katolik, 129; lih. Verbum Domini, 40-41 []
  6. lih. Katekismus Gereja Katolik (KGK), 106 []
  7. lih. Verbum Domini, 52- 71 []
  8. lih. Verbum Domini, 29-30 []
  9. (Against the Letter of Mani Called ‘The Foundation’ 5:6 []
  10. lihat Katekismus Gereja Katolik KGK 112-114 []
  11. KGK 113, Dei Verbum 16 []
  12. Lihat Dei Verbum 10. []
  13. Verbum Domini, 35 []
  14. lih. Verbum Domini, 44 []
  15. lihat Katekismus Gereja Katolik, 115-117; lihat juga Verbum Domini, 37 []
  16. St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, I, q10 ad 1 []
  17. Katekismus Gereja Katolik 118; dikutip juga dalam Verbum Domini, 37 []
  18. Untuk kebih lanjut mengenai ke-4 arti dalam Kitab Suci ini, silakan membaca buku karangan Mark P. Shea, “Making Sense Out of ScriptureReading the Bible as the First Christians did (Rancho Santa Fe, CA: Basilica Press, 1999). []
  19. lihat Father Frank Chacon & Jim Burnham, Beginning Apologetics 7, How to Read the Bible, (San Juan Catholic Seminars, Farmington, NM, 2003) p. 24-25. []
  20. lihat Robert Payesko, The Truth about Mary, Volume II, (Queenship Publishing Company, CA, 1998), p. 2-155 []
  21. Tertullian, On Monogamy, 8 []
  22. St. Athanasius, Discourses Against the Arians, 2, 70, Jurgens, Vol.1, n. 767a []
  23. St. Epiphanus, Well Anchored Man, 120 []
  24. St. Jerome, The Perpetual Virginity of Blessed Mary, Chap 21, seperti dikutip oleh John R. Willis, SJ, The Teaching of the Church Fathers (Ignatius Press, San Francisco, 2002 reprint, original print by Herder and Herder, 1966) p. 358 []
  25. Lihat St. Augustine, Sermons, 186, Heresies, 56; Jurgens, vol.3, n. 1518 dan 1974d []
  26. St. Augustine, Letters no. 137., seperti dikutip oleh John R. Willis, SJ, The Teaching of the Church Fathers, p. 360 []
  27. St. Agustinus, Serm. 189, n.2; PL 38, 1005 []
  28. St. Petrus Kristologus, Sermon 117 []
  29. Paus St. Leo Agung, On the Feast of the Nativity, Sermon 22:2 []
  30. lih. Dr. Ludwig Ott, Fundamentals of Catholic Dogma, ed. James Canon Bastible, D.D, (Rockford, Illinois: TAN books and publishers, Inc. 1974) p.203 []
  31. Robert Payesko, The Truth about Mary, Volume II, Mary in Scripture and the Historic of Christian Faith, (Queenship Publishing Company, CA, 1998), p.2-155, Salah satu butir pengajaran untuk menjawab ajaran yang keliru tentang Bunda Maria di dalam Konsili Konstantinopel II, butir 6,“If anyone declares that it can be only inexactly and not truly said that the holy and glorious ever-virgin Mary is the mother of God, or says that she is so only in some relative way, considering that she bore a mere man and that God the Word was not made into human flesh in her, holding rather that the nativity of a man from her was referred, as they say, to God the Word as he was with the man who came into being; if anyone misrepresents the holy synod of Chalcedon, alleging that it claimed that the virgin was the mother of God only according to that heretical understanding which the blasphemous Theodore put forward; or if anyone says that she is the mother of a man or the Christ-bearer, that is the mother of Christ, suggesting that Christ is not God; and does not formally confess that she is properly and truly the mother of God, because he who before all ages was born of the Father, God the Word, has been made into human flesh in these latter days and has been born to her, and it was in this religious understanding that the holy synod of Chalcedon formally stated its belief that she was the mother of God: let him be anathema.” []
  32. lih. Dr. Ludwig Ott, Fundamentals of Catholic Dogma, Ibid., p. 204 []
  33. lih. Verbum Domini, 86-87 []
  34. Expositions on the Psalms, 85, 7: PL 37, 1086. []
  35. 1. Lih. M. Basil Pennington, Lectio Divina, (New York: A Crossroad Book, 1998), p. 1 []
  36. Lih. Ibid., p. 57, 88 []
  37. St. Teresa of Avila, The Way of Perfection, text prepared by Kieran Kavanaugh, OCD, Washington DC: ICS Publication, 2000), p. 358. []
  38. Henri J.M. Nouwen, The Way of the Heart, (New York: Ballantine Books, 1991), p.59 maka contemplatio adalah puncak doa. Ini adalah saat di mana kita memandang Yesus dengan pandangan iman: “Aku memandang Dia dan Dia memandangku.” Katekismus Gereja Katolik 2715 []
  39. lih. M. Basil Pennington, Lectio Divina, Ibid., p. 89 []
  40. Lihat Katekismus Gereja Katolik, 82, “Dengan demikian maka Gereja, yang dipercayakan untuk meneruskan dan menjelaskan wahyu, “menimba kepastiannya tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui Kitab Suci. Maka dari itu keduanya (baik Tradisi maupun kitab suci) harus diterima dan dihormati dengan cita rasa kesalehan dan hormat yang sama” (Dei Verbum, 9 []
  41. Lihat Dei Verbum, 25, “Begitu pula Konsili suci mendesak dengan sangat dan istimewa semua orang beriman, terutama para religius, supaya dengan sering kali membaca kitab-kitab ilahi memperoleh “pengertian yang mulia akan Yesus Kristus” (Flp3:8) []

Recent Post