Kitab Kejadian 3:15 mengatakan, “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan itu, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya (ia) akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.”
Dalam bahasa Indonesia memang tidak terlihat masalah, karena hanya dikatakan “nya”, tidak spesifik menyatakan laki-laki/ he atau perempuan/ she. Sedangkan dalam bahasa Inggris, memang terdapat dua salinan terjemahan. Teks asli Ibrani menyatakan “he“: “heshall bruise your head and you shall bruise his heel.”(RSV, NAB) “He” di sini berarti Kristus. Namun ada juga salinan yang berasal dari terjemahan tulisan Bapa Gereja dan beberapa salinan Vulgate yang menuliskan, “she shall bruise your head and you shall bruise her heel.” (Douay Rheims). Maka para ahli Kitab Suci memperkirakan ada kemungkinan kesalahan penyalinan teks, ketika sang penyalin tidak melihat bahwa subyek kalimatnya telah bergeser, dari “wanita itu” ke “keturunan wanita itu.” Namun demikian, tidak semua Vulgate menuliskan “she“, sebab pada edisi Vulgate yang disalin oleh St. Jerome (Hieronimus), St. Jerome memakai terjemahan asli Ibrani, dan memakai “he“, bukan “she.”
Namun terlepas dari “he” atau “she” ini tidak mengubah fakta bahwa sejak dari awal abad ke 2, yaitu St. Yustinus Martir (100-165) St. Irenaeus ,Tertullian, St. Agustinus mengajarkan bahwa pada ayat Kej 3:15, ‘perempuan’ yang keturunannya akan mengalahkan Iblis itu mengacu kepada Bunda Maria, karena keturunan yang dimaksud adalah Yesus. ‘Perempuan’ itu bukannya Hawa dengan keturunannya Abel atau Seth. Mengapa? Karena Perempuan yang akan melahirkan Kristus yang akan meremukkan Kepala Iblis itu adalah bukan Hawa, tetapi seorang perempuan yang lain, yaitu Bunda Maria. Maka, Bunda Maria adalah “the woman” yang dibicarakan di Kej 3:15. [Sayangnya dalam Alkitab LAI diterjemahkan sebagai "this woman" (wanita ini) yang sepertinya mengacu kepada Hawa. Padahal menurut penjelasan para Bapa Gereja, perempuan itu bukan Hawa, tetapi Bunda Maria: "the woman". Panggilan "the woman" ini diulangi lagi pada mukjizat di Kana (Yoh 2:4) dan di kaki salib Yesus (Yoh 19:26-27) ].
Maka dengan mengetahui bahwa ‘perempuan’ dan ‘keturunannya’ yang mengalahkan Iblis adalah Bunda Maria dan Yesus, maka Gereja Katolik mengajarkan apapun terjemahan yang dipakai, keduanya benar; sebab pada intinya adalah baik Yesus maupun Bunda Maria keduanya sama-sama mengalahkan Iblis. Jika dikatakan bahwa Bunda Maria mengalahkan Iblis, maka hal itu hanya dimungkinkan oleh kuasa Kristus. Kristuslah yang telah secara langsung meremukkan kepala Iblis dengan kematian-Nya. Dan “tumit yang diremukkan oleh Iblis”, itu adalah gambaran bahwa kemenangan Kristus diperoleh dengan penderitaan-Nya di kayu salib. Sedangkan, Bunda Maria dapat dikatakan secara tidak langsung meremukkan kepala Iblis dengan kerjasamanya di dalam misteri Inkarnasi, dan dengan ketaatannya untuk menolak berbuat dosa yang terkecil sekalipun (menurut ajaran St. Bernardus, Sermon, 2, on Missus est). Selanjutnya, St. Gregorius mengajarkan (Mor 1.38), bahwa kitapun, seperti halnya Bunda Maria, dapat secara tidak langsung meremukkan kepala Iblis setiap kali kita taat akan Tuhan dan mengalahkan godaan. Hal ini sesuai dengan Rom 16:19-20:
“Kabar tentang ketaatanmu telah terdengar oleh semua orang. Sebab itu aku bersukacita tentang kamu. Tetapi aku ingin supaya kamu bijaksana terhadap apa yang baik, dan bersih terhadap apa yang jahat. Semoga Allah, sumber damai sejahtera, segera akan menghancurkan Iblis di bawah kakimu. Kasih karunia Yesus, Tuhan kita, menyertai kamu!”
Maka, sesungguhnya tidak menjadi masalah bagi kita, tentang siapa yang meremukkan kepala ular ini, sebab tetap benar bahwa baik Kristus maupun Bunda Maria sama- sama meremukkan kepala ular (Iblis) ini, dengan ketaatan mereka sampai akhir terhadap kehendak Tuhan. Tumit mereka memang remuk karenanya: tumit Kristus remuk adalah gambaran tentang bahwa Kristus telah mengalahkan Iblis dengan penderitaan dan wafat-Nya di salib. Sedangkan Maria, demikian juga, dengan ketaatannya yang memuncak saat ia berdiri di bawah salib Kristus dan menyaksikan buah rahimnya itu difitnah, disiksa sampai mati di hadapan matanya sendiri. Orang yang mengatakan bahwa ini bukan penderitaan, nampaknya tidak dapat memahami kenyataan yang wajar. Sebab, silakan tanyakan kepada ibu manapun, mereka akan setuju bahwa ini merupakan penderitaan yang paling berat yang dapat dialami oleh seorang ibu, yaitu menyaksikan dengan matanya sendiri anak yang dikandung dan dibesarkannya, difitnah dan dipermalukan sedemikian rupa lalu disiksa sampai mati dengan hukuman yang paling hina dan keji bahkan sampai wujud-Nya bukan seperti manusia lagi. Bagi Maria ‘pedang yang menusuk jiwanya’ ini menjadi lebih lagi tidak terbayangkan, mengingat bahwa kenyataan yang terpampang di hadapannya ini menjadi sangat berlawanan, bahkan sepertinya merupakan penyangkalan total dari apa yang pernah didengarnya dari malaikat, “Ia [Yesus] akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi… dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.” (Luk 1:32-33). Namun Maria tetap teguh berdiri mendampingi Puteranya dengan kesetiaan seorang hamba, “Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu” (lih. Luk 1:38). Ketaatan tanpa syarat ini yang disertai dengan pengorbanan dirinya sendiri sebagai seorang ibu, untuk melihat hal yang paling menyakitkan tersebut terjadi padanya, yang nampaknya sangat berlawanan dengan janji yang pernah diterimanya dari Allah melalui kabar malaikat itu. Inilah makna “tumit Mariapun turut remuk” dalam melawan Iblis. Sejujurnya, tidak ada seorangpun di dunia ini yang pernah mengalami pengalaman begitu tragis seperti yang dialami oleh Bunda Maria; dan dengan demikian ketaatannya kepada Tuhan sampai akhir walau di dalam keadaan yang sepertinya tanpa harapan, inilah yang selalu menjadi teladan kita. Kata “Fiat” dari Bunda Maria itu bukan sekedar kata yang diucapkan dari mulut, tetapi yang mempunyai konsekuensi yang sangat mendalam di sepanjang hidupnya. Maka, janganlah kita meremehkan makna kata “Fiat” dari Bunda Maria, sebab siapa yang meremehkannya belum tentu dapat menerapkannya dalam kehidupannya sendiri, terutama jika dalam keadaan yang nampaknya sangat sulit di mata manusia.
Maka penyaliban itu merupakan cara Kristus mengalahkan maut/kuasa Iblis itu, namun besarlah harga yang harus juga dibayar oleh Kristus sendiri, yaitu penderitaan dan wafat-Nya, sebelum Ia dapat bangkit dengan mulia. Inilah maka disebut bahwa kemenangan meremukkan kepala Iblis itu melibatkan juga ‘remuknya tumit Kristus’. Demikian juga Bunda Maria mengambil bagian di dalam penderitaan dan wafat Kristus, sebab pada saat ia berdiri di bawah salib Kristus, sungguh penderitaan tak terlukiskan yang dialaminya, suatu bentuk pengosongan diri yang total untuk menerima rencana Tuhan walau ini melibatkan rasa sakit tak terhingga karena ‘pedang yang menembus jiwanya’ dan inilah bentuk ‘remuknya tumit Maria’ dalam gambaran yang disampaikan dalam Kej 3:15.
Selanjutnya tentang Kej 3:15, sudah pernah dibahas di artikel ini, silakan klik
إرسال تعليق