Bunda Maria mengetahui bahwa Yang dikandung dalam rahimnya adalah Anak (Putera) Allah, sebab inilah yang dikatakan oleh malaikat itu kepadanya, “Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi” (Luk 1:31-32). Maka dalam hal ini, Bunda Maria mengetahui bahwa Allah mempunyai rencana untuk mengaruniakan Putera-Nya untuk menyelamatkan manusia, melalui penjelmaan-Nya menjadi manusia di dalam rahimnya.
Namun apakah artinya hal ini sepenuhnya, atau hal-hal apakah yang akan dialaminya sebagai akibat dari melahirkan dan membesarkan Putera Allah, belum diketahui secara mendetail oleh Bunda Maria, pada saat ia menerima Kabar Gembira dari malaikat itu. Hal ini baru terungkap sedikit demi sedikit sejalan dengan perjalanan hidupnya. Justru karena inilah, Bunda Maria menunjukkan teladan imannya, bahwa meskipun ia tidak sepenuhnya mengetahui rencana Allah sampai sedetail-detailnya, namun ia percaya dan dengan setia menjalaninya dengan penuh penyerahan diri kepada Allah.
Tak lama setelah menerima Kabar Gembira dari malaikat tentang penjelmaan Yesus Sang Penyelamat, melihat bagaimana hal itu tergenapi di dalam rahimnya, dan saat ia melahirkan Yesus di Betlehem yang disambut dengan paduan suara surgawi (Luk 2:13-15) dan penghormatan dari para majus (lih. Mat 2:11), Bunda Maria menerima kabar lainnya dari Simeon di bait Allah. Yaitu bahwa peran keibuannya harus dilalui di dalam penderitaan: bahwa pedang akan menembus jiwanya (lih. Luk 2:35). Ini nyata dalam pengungsiannya bersama bayi Yesus dan St. Yusuf ke Mesir (Mat 2:13-15) untuk menghindari pembunuhan anak-anak di Betlehem atas titah Raja Herodes. Ini suatu tanda bahwa sejak awal kehadiran Kristus di dunia, Ia sudah ditolak oleh bangsa-Nya sendiri. Bunda Maria dan St. Yusuf adalah orang-orang pertama yang turut mengambil bagian dalam penderitaan Yesus ini, ditolak, hidup sebagai pengungsi, dalam kemiskinan sebagai orang-orang yang tersingkirkan. Puncak penderitaan Bunda Maria yang merupakan penggenapan nubuat Simeon bahwa ‘sebuah pedang akan menembus jiwanya’ (Luk 2:35) adalah ketika Bunda Maria berdiri di kaki salib Kristus, dan melihat bagaimana Putera-Nya dihina dan disiksa sampai wafat. Kenyataan yang terpampang di hadapannya ini menjadi sangat berlawanan, bahkan sepertinya merupakan penyangkalan total dari apa yang pernah didengarnya dari malaikat, “Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi… dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.” (Luk 1:32-33). Namun Maria tetap teguh berdiri mendampingi Puteranya dengan kesetiaan seorang hamba, “Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu” (lih. Luk 1:38). Pengosongan diri Maria inilah yang mungkin disebut sebagai pengosongan diri yang paling dalam yang pernah terjadi dalam sejarah kehidupan manusia, yang oleh Bapa Paus Yohanes Paulus II, sebagai “the deepest kenosis (self-emptying) in human history.” (lihat Redemptoris Mater, 18-19). Para ibu yang pernah menyaksikan anaknya meninggal dunia di depan matanya akan lebih dapat memahami betapa dalamnya duka cita Bunda Maria saat itu. Apalagi dalam hal ini, Yesus disiksa sampai wafat karena difitnah, padahal Ia tidak melakukan kesalahan sedikitpun.
Nah, maka penyingkapan rencana keselamatan Allah dalam kehidupan Bunda Maria terjadi secara bertahap; dan hal ini tidak secara penuh diketahui oleh Bunda Maria sejak awal. Di sinilah berperan ketaatan iman Bunda Maria, sebagaimana dijelaskan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam surat ensikliknya, Redemptoris Mater:
“Ketika Keluarga Kudus kembali ke Nazaret setelah kematian Raja Herodes, di sana dimulailah kehidupan mereka yang tersembunyi dalam jangka waktu yang lama. Bunda Maria “yang percaya bahwa apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan akan terlaksana” (Luk 1:45), menghidupi sabda ini hari demi hari….Sepanjang tahun-tahun kehidupan Yesus yang tersembunyi di rumah di Nazaret, kehidupan Maria juga “tersembunyi bersama Kristus di dalam Tuhan” (lih. Kol 3:3) oleh iman. Sebab iman adalah suatu kontak dengan misteri Tuhan. Setiap hari Maria selalu ada di dalam kontak yang terus menerus dengan misteri yang tak terperikan dari Tuhan yang menjelma, sebuah misteri yang melampaui apapun yang dinyatakan di dalam Perjanjian Lama. Sejak menerima Kabar Gembira, pikiran Bunda Maria telah diperkenalkan kepada pembaruan yang radikal dari pewahyuan diri Tuhan dan telah menyadari misteri tersebut. Maria adalah orang yang pertama dari “mereka yang sederhana” yang tentangnya Yesus akan bersabda: “Bapa, … Engkau telah menyembunyikan hal-hal ini dari mereka yang bijak dan pandai, dan menyatakannya kepada orang-orang sederhana” (Mat 11:25). Sebab “tak seorangpun mengenal Anak selain Bapa” )Mat 11:27). Jika demikian, bagaimana Maria dapat “mengenal Sang Putera”? Tentu saja Maria tidak mengenal Kristus sebagaimana Bapa mengenal-Nya; namun ia adalah orang yang pertama dari mereka yang tentangnya Bapa “telah memilih untuk menyatakan diri-Nya” (lih. Mat 11:26-27; 1Kor 2:11)….Maka Maria terberkati, sebab “ia telah percaya”, dan senantiasa percaya hari demi hari di tengah segala pencobaan dan kemalangan di masa kanak-kanak Yesus, dan lalu di sepanjang tahun kehidupan yang tersembunyi di Nazaret, di mana Ia “tunduk kepada mereka” (Luk 2:51)…. Dan ini adalah jalan di mana Maria, sepanjang tahun-tahun, hidup di dalam ke-intiman dengan misteri Putera-nya, dan melangkah maju di dalam “peziarahan iman“, sementara Yesus “bertumbuh di dalam kebijaksanaan … di hadapan Allah dan manusia.” (Luk 2:52)…Namun demikian, ketika Yesus ditemukan di bait Allah, dan ibu-Nya bertanya, “Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami?” Yesus yangberumur dua belas tahun menjawab, “Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” Dan Penginjil menambahkan: “Dan mereka(Yusuf dan Maria) tidak mengerti apa yang dikatakan-Nya kepada mereka” (Luk 2:48-50). Yesus menyadari bahwa “tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak” (lih. Mat 11:27); maka bahkan ibu-Nya, yang kepadanya telah dinyatakan misteri ke-Allahan-Nya secara paling lengkap, hidup di dalam keintiman dengan misteri ini hanya oleh iman! Hidup berdampingan dengan Putera-nya di bawah satu atap, dan dengan setia menjaga “persatuannya dengan Puteranya”, Maria “melangkah maju dalam peziarahan iman“, seperti yang ditekankan oleh Konsili Vatikan II. Dan demikianlah, di sepanjang kehidupan Kristus di hadapan umum (lih. Mat 3:21-35), hari ke hari digenapilah di dalam diri Maria, berkat yang diucapkan oleh Elisabet pada saat kunjungan Maria, “Terberkatilah ia yang telah percaya” (Paus Yohanes Paulus II, Redemptoris Mater 17).
Semakin kita merenungkan kehidupan Kristus dan Keluarga Kudus di Nazaret, semakin kita dapat melihat teladan iman Bunda Maria, yang dalam ketaatan, kesederhanaan dan kesetiaan, menyerahkan kehidupannya ke dalam pimpinan tangan Tuhan. Kehidupannya di dunia sebagai ibu Tuhan Yesus diwarnai oleh banyak ujian dan penderitaan, namun Bunda Maria tidak beranjak dari imannya yang teguh: “Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu, ya Tuhan”, sebab ia yakin dan percaya bahwa “apa yang dikatakan Tuhan kepadanya akan terlaksana”.
Semoga, seperti Bunda Maria, kita semakin bertumbuh dalam iman hari demi hari, sebab kita percaya bahwa apa yang dijanjikan oleh Tuhan kepada kita yang percaya kepada-Nya, akan terlaksana.
Ditulis oleh: Stefanus Tay & Ingrid Tay
Stefanus Tay, MTS dan Ingrid Listiati, MTS adalah pasangan suami istri awam dan telah menyelesaikan program studi S2 di bidang teologi di Universitas Ave Maria - Institute for Pastoral Theology, Amerika Serikat. (Katolisitas.org)
إرسال تعليق