Pernyataan “Filioque” ini sering dianggap sebagai hal yang memisahkan pemahaman Gereja Orthodox dengan Gereja Katolik Roma. Arti “filioque” sendiri adalah “dan dari Allah Putera” yang mengacu pada frasa Credo Nicea yang diucapkan Gereja Roma, yang ditetapkan pada konsili Toledo (589). Photius, patriarkh dari Konstantinopel menentang keras hal ini di abad ke- 9, yang kemudian menjadi salah satu hal yang memisahkan Gereja Timur dan Gereja Barat (Katolik Roma) di tahun 1054. Photius menentang Gereja Barat yang menurutnya mengubah Credo Nicea dengan penambahan frasa “filioque“.
1. Kata “filioque” tidak bertentangan dengan ajaran Kitab Suci
Pertama-tama, mari kita melihat apa yang dikatakan dalam Kitab Suci tentang Roh Kudus. Kitab Suci mengatakan bahwa Roh Kudus berasal dari Bapa, namun Kristus turut mengambil bagian di dalam pengutusan Roh Kudus itu:
“Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku.”(Yoh 15:26)
“Dan sesudah Ia [Kristus] ditinggikan oleh tangan kanan Allah dan menerima Roh Kudus yang dijanjikan itu, maka dicurahkan-Nya [Kristus] apa yang kamu lihat dan dengar di sini [Roh Kudus].” (Kis 2:33) (Being therefore exalted at the right hand of God, and having received from the Father the promise of the Holy Spirit, he [Christ] has poured out this [the Holy Spirit] which you see and hear.” (Acts 2:33)
“…pada waktu itu Dia telah menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus, yang sudah dilimpahkan-Nya kepada kita oleh Yesus Kristus, Juruselamat kita… ” (Tit 3:5-6)
“Dan sesudah berkata demikian, Ia [Kristus] mengembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” (Yoh 20:23)
“Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu.” (Yoh 16:7)
Maka, Roh Kudus adalah Roh Allah (lih. 1 Kor 2:11) yang dikatakan baik sebagai Roh Bapa (lih. Mat 10:20), maupun Roh Kristus:
“Tetapi kamu tidak hidup dalam daging, melainkan dalam Roh, jika memang Roh Allah diam di dalam kamu. Tetapi jika orang tidak memiliki Roh Kristus, ia bukan milik Kristus.” (Rom 8:9)
“karena aku tahu, bahwa kesudahan semuanya ini ialah keselamatanku oleh doamu dan pertolongan Roh Yesus Kristus.” (Flp 1:19)
Dari sini kita ketahui bahwa Roh Kudus memang berasal dari Allah Bapa sebagai Penyebab Utama, namun penghembusan Pribadi Roh Kudus ini, yang terjadi sejak kekekalan, terjadi melalui Kristus Sang Putera. Inilah sesungguhnya maksud dari frasa “filioque“. Maka sebenarnya, “filioque” -yang mengacu kepada Roh Kudus, yang berasal dari Allah Bapa dan Putera, bukan sesuatu yang baru ataupun bertentangan dengan ajaran Kitab Suci. Pernyataan bahwa Roh Kudus berasal dari Allah Bapa dan Putera itu bahkan menjaga kebenaran utama Credo Nicea, bahwa Allah Putera adalah sehakekat dengan Allah Bapa -bukan setingkat di bawah Bapa. Allah Putera bersama dengan Allah Bapa mengutus Roh-Nya (lih. Yoh 15:26), karena Roh Kudus berasal dari Bapa dan Putera di dalam hubungan Trinitas. Dasarnya adalah: Allah Bapa dan Putera dan Roh Kudus mempunyai satu hakekat yang sama, sehingga ‘perbedaannya’ hanya terletak kepada hubungan asalnya (relations of origin) yang terjadi di dalam kekekalan kesatuan Trinitas. Yaitu bahwa Allah Putera lahir (‘begotten’) dari Allah Bapa dan Roh Kudus dihembuskan (‘proceeds’) dari Allah Bapa dan Allah Putera. Hubungan asal inilah yang membedakan Pribadi Allah Putera dan Roh Kudus, sebab jika Roh Kudus hanya berasal dari Bapa, maka tidak ada yang membedakan antara Roh Kudus dengan Putera, sebab kedua-Nya sama hakekat-Ny.
2. Kronologis kejadian yang menyebabkan perdebatan tentang frasa ‘filioque‘
Berikut ini mari kita melihat secara kronologis, mengapa perkataan ‘filioque‘ tersebut menjadi perdebatan antara Gereja Timur Ortodoks dan Gereja Katolik Barat (Latin):
1. Para Bapa Gereja sejak awal telah mengajarkan bahwa Roh Kudus berasal dari Bapa, dan diutus oleh Putera:
Sebelum isu “filioque” ini mencuat, sebenarnya Gereja Timur dan Barat dapat menerima adanya misteri Trinitas ini seperti yang diajarkan para Bapa Gereja. Namun kemudian, setelah hal filioque ini diangkat ke permukaan, hal ini dijadikan salah satu penyebab terjadinya skisma yang pada dasarnya melibatkan anggapan bahwa Gereja Barat (Roma) telah menambahkan istilah ‘filioque’ tanpa persetujuan Gereja Timur, atau adanya penyalahgunaan wewenang Paus. Padahal, tulisan para Bapa Gereja dari abad- abad awal telah secara prinsip mengajarkan ‘filioque’ ini, yaitu bahwa Roh Kudus yang berasal dari Allah Bapa, diutus melalui Allah Putera. Maka, sesungguhnya hal filioque ini bukan suatu ajaran yang baru ditambahkan di abad ke -9. Contoh ajaran Bapa Gereja tersebut adalah:
Tertullian, (permulaan abad ke 3) telah menekankan bahwa Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus, semua mempunyai satu substansi ilahi, kualitas dan kuasa[1] …. sebagaimana mengalir dari Allah Bapa dan diteruskan oleh Putera kepada Roh Kudus.[2].
St. Hilarius dari Poitiers, (pertengahan abad ke-4) mengatakan tentang Roh Kudus sebagai, “datang/ berasal dari Bapa” dan “dikirimkan oleh Putera” (Hilary of Poitiers, De Trinitate 12.55); sebagai “dari Allah Bapa melalui Putera” (ibid. 12.56); dan sebagai “dengan mempunyai Allah Bapa dan Putera sebagai sumber-Nya [Roh Kudus]” (ibid. 12.56); dan di perikop yang lain St. Hilarius mengacu kepada Yoh 16:15, ketika Yesus mengatakan: “Segala sesuatu yang Bapa punya, adalah Aku punya; sebab itu Aku berkata: Ia [Roh Kudus] akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku.” dan….”menerima dari Putera adalah sama dengan berasal dari Bapa (ibid. 8.20).
St. Athanasius I (296-373), “Satu-satunya yang tidak dilahirkan, dan sumber dari segala ke-Allahan, [adalah] Allah Bapa.”[3]. Namun St. Athanasius juga mengatakan, “Daud bernyanyi dalam Mazmur 35:10, “Sebab dengan-Mu adalah sumber air Hidup; “sebab, tergabung dengan Bapa, Putera adalah sungguh sumber Roh Kudus.”[4] Juga, “Segala yang dimiliki Roh Kudus, Ia miliki dari Sang Sabda [Kristus]”[5]
St. Basil Agung (365), “Sebab bahwa Ia [Roh Kudus] adalah kedua dari Putera, karena memperoleh keberadaan-Nya dari Dia [Putera] dan menerima dari Dia dan … menjadi tergantung sepenuhnya atas Dia [Putera], seperti diajarkan oleh tradisi suci….[6]
St. Ambrosius dari Milan, (sekitar tahun 380) menyatakan dengan jelas bahwa Roh Kudus “berasal dari (‘procedit a’) Bapa dan Putera, tanpa memisahkan satu dengan lainnya[7].
“Lihatlah sekarang, bahwa sebagaimana Allah Bapa adalah Sumber Hidup, demikianlah juga… Putera dikenal sebagai Sumber Hidup; sehingga… dengan Engkau, Allah yang Mahakuasa, Putera-Mu adalah Sumber Hidup. Yaitu Sumber Roh Kudus, sebab Roh Kudus adalah Hidup, seperti dikatakan Tuhan, “Perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah Roh dan hidup (Yoh 6:64), sebab di mana Roh berada, di sana ada hidup dan di mana ada hidup, ada Roh Kudus.”[8]
Maka hak kesamaan hakekat antara Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus telah diajarkan sejak Gereja awal. Kesamaan hakekat inilah yang menjadi dasar mengapa dikatakan bahwa Roh Kudus dikatakan berasal dari Allah Bapa dan Putera, sebab Roh Kudus sebagai Roh Allah adalah Roh Bapa dan Roh Putera (Roh Kristus).
2. Ajaran Sesat Arianisme
Ajaran tentang kesamaan hakekat Allah dalam ketiga Pribadi Trinitas memperoleh tantangan dari ajaran sesat Arianisme (319) yang mengancam perpecahan Gereja di abad 4. Bidaah ini diajarkan oleh Arius, seorang imam dari Alexandria, yang mengajarkan bahwa Kristus tidak sehakekat dengan Allah, namun hanya ciptaan biasa, yaitu ciptaan yang tertinggi. Selanjutnya tentang ajaran sesat Arianisme, klik di sini.
3. Konsili Ekumenis di Nicea (325)
Untuk menanggapi ajaran sesat Arianisme inilah maka para Uskup berkumpul melakukan Konsili Ekumenis yang pertama di Nicea (325) yang diadakan atas dukungan dari Raja Konstantin. Dalam Konsili Nicea inilah dirumuskan secara definitif ajaran tentang Allah Trinitas, yang sudah sejak awal diimani oleh Gereja. Hasil terpenting dari Konsili Nicea adalah Credo (syahadat Nicea) yang disusun sebagai rangkuman iman akan Trinitas, terutama untuk menyatakan ke-Tuhan-an Yesus. Demikianlah terjemahan syahadat Nicea (325)- sebelum digabungkan dengan hasil Konsili Konstantinopel: (sumber klik di sini):
Aku percaya akan satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta dan segala yang kelihatan dan tidak kelihatan; dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Putera Allah yang Tunggal, yaitu dari hakekat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah benar, dilahirkan bukan dijadikan, sehakekat dengan Bapa, yang melalui-Nya segala sesuatu dijadikan di langit dan bumi; Ia turun dari surga untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita, Ia menjelma dan menjadi manusia, menderita, dan bangkit lagi di hari ketiga, naik ke surga dan akan datang kembali untuk mengadili orang yang hidup dan mati. Dan [aku percaya] akan Roh Kudus. Mereka yang berkata: Ada saatnya di mana Ia [Kristus] tidak ada, dan Ia tidak ada sebelum Ia dilahirkan; dan bahwa Ia dijadikan dari ketiadaan; atau ia yang berpegang bahwa Ia adalah dari hypostasis yang berbeda atau dari hakekat yang berbeda dari Allah Bapa, atau bahwa Putera Allah diciptakan, atau dapat berubah, ini Gereja Katolik menyatakan anathema.
Jadi sesungguhnya dalam Kredo Nicea (325) tidak disebutkan secara rinci tentang asal usul Roh Kudus, karena fokus utama Credo adalah untuk menyatakan bahwa Kristus adalah sungguh Allah, dan bahwa Kristus lahir dari Allah Bapa dan sehakekat dengan Allah Bapa. Perlu diketahui, bahwa Gereja tidak hanya mempunyai satu jenis Credo (syahadat), namun terdapat beberapa rumusan (selain syahadat Nicea- Konstantinopel), yang semuanya diterima oleh Gereja, yaitu Syahadat Para Rasul, syahadat Athanasius, demikian pula syahadat umat beriman yang diajarkan oleh Paus Paulus VI dan Paus Pius IV. Keseluruhan rumusan syahadat ini tetap menyampaikan kebenaran iman Kristiani.
4. Konsili Konstantinopel I (381)
Konsili Konstantinopel I pada awalnya dimaksudkan sebagai konsili wilayah/ lokal. Konsili ini, walau dihadiri oleh 150 orang uskup, tidak dihadiri oleh para uskup Gereja Barat (Latin) dan juga tidak dihadiri oleh patriarkh Gereja Timur Aleksandria. Fokusnya adalah untuk menetapkan suksesi di kepatriark-an Konstantinopel (yang saat itu belum diakui oleh Tahta Suci Roma), walaupun juga bertujuan untuk meneguhkan syahadat Nicea, untuk mengajak para semi Arian untuk kembali berekonsiliasi dengan Gereja dan untuk mengakhiri bidaah Makedonian yang menentang ke-Allahan Roh Kudus, maka dapat dimengerti bahwa pada Konsili diadakan penambahan pernyataan tentang Roh Kudus. Makedonius dan pengikutnya, sebelumnya dikecam oleh Konsili Aleksandria (362) dan oleh Paus Damasus I (378) karena mengajarkan bahwa Roh Kudus hanya berasal dari Allah Putera saja, melalui penciptaan.
Konsili Konstantinopel meluruskan dengan memberikan tambahan rumusan, “Roh Kudus berasal dari Allah Bapa”, namun tambahan ini bukan merupakan pernyataan iman yang baru yang sebelumnya tidak ada, tetapi merupakan pernyataan iman tentang Roh Kudus sebagaimana telah diimani oleh para rasul dan Gereja sejak awal, sebagaimana tertulis juga dalam Kitab Suci.
Hasil Konsili Konstantinopel:
Credo/ syahadat Konstantinople I, (sumber: klik di sini):
“Aku percaya akan satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta langi dan bumi, dan segala sesuatu yang kelihatan dan tidak kelihatan. Dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Putera Allah yang Tunggal, lahir dari Bapa sebelum dunia, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar, dilahirkan bukan dijadikan, sehakekat dengan Bapa, oleh-Nya segala sesuatu diciptakan. Ia turun dari surga untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita. Ia dikandung dari Roh Kudus dan dilahirkan oleh Perawan Maria, dan menjadi manusia, disalibkan bagi kita di bawah pemerintahan Pontius Pilatus. Ia menderita sengsara, wafat dan pada hari ketiga bangkit menurut Kitab Suci. Ia naik ke surga dan duduk di sisi kanan Allah Bapa. Ia akan datang kembali dengan mulia untuk mengadili orang yang hidup dan mati, kerajaan-Nya tidak akan berakhir.
Aku percaya akan Roh Kudus, Tuhan dan Pemberi kehidupan, Ia berasal dari Allah Bapa, yang dengan Bapa dan Putera, disembah dan dimuliakan, Ia bersabda dengan perantaraan para nabi. Aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik. Aku mengakui satu Pembaptisan akan pengampunan dosa, [dan] aku menantikan kebangkitan orang mati dan kehidupan kekal. Amin.
Kanon I: pengecaman terhadap ajaran Arianisme, Makedonianisme dan Apollinarianisme.
Kanon II: memperbaharui legislasi Nicea: Uskup berkarya di gereja-gereja di dalam batas diocesannya.
Kanon III: menyatakan bahwa Konstantinopel adalah Roma yang baru, dan bahwa kota Konstantinople mendapat kedudukan kedua setelah Roma.
Kanon IV: membatalkan ordinasi Maximus sebagai Uskup dan meneguhkan St. Gregorius Nazianza sebagai Uskup Konstantinopel.
5. Tanggapan terhadap hasil Konsili Konstantinopel I :
Walaupun menurut Photius (Mansi, III, 596), Paus meratifikasi keputusan Konsili ini, namun catatan dekrit Paus Damasus I pada tahun yang sama, tidak menunjukkan bahwa pernyataan Photius itu seluruhnya benar. Sebab melalui dekritnya, Paus mengakui kepatriarkhan Aleksandria dan Antiokhia, tetapi tidak mengakui kepatriarkhan Konstantinopel:
“Meskipun semua Gereja Katolik tersebar di seluruh dunia…. namun Gereja Roma telah ditempatkan di tempat terdepan, tidak oleh keputusan-keputusan Konsili Gereja, tetapi telah menerima keutamaan dari suara Tuhan dan Penyelamat kita, yang mengatakan, “Kamu adalah Petrus … (Mat 16:18-19).” Sebagai tambahan kepada ini, terdapat juga rekan dari pemilihan tersebut, [yaitu] Rasul Paulus …. Maka, Tahta yang pertama, adalah tahta Rasul Petrus, yaitu dari Gereja Roma, yang tidak mempunyai noda maupun cacat atau semacam itu. Tahta kedua adalah tahta Gereja Aleksandria, yang dikonsekrasikan atas nama Rasul Petrus yang terberkati oleh Markus, muridnya dan sang penulis Injil…. Tahta ketiga adalah tahta Gereja Antiokhia, yang adalah milik Rasul Petrus yang terberkati, di mana ia tinggal sebelum datang ke Roma dan ketika nama Kristen pertama kali dipergunakan bagi bangsa yang baru.” (Decree of Damasus #3, 382 AD).
Enam puluh sembilan tahun berikutnya, St. Paus Leo Agung, melalui Ep. cvi in P.L., LIV, 1003, 1005, menyatakan bahwa kanon III Konsili Konstantinopel ini tidak pernah diserahkan kepada Tahta Suci (dan tidak pernah diterima oleh Roma) dan ini merupakan penyimpangan dari ketentuan Nicea. Baru pada Konsili Umum ke- 8 (869) Konstantinopel diakui sebagai tingkat yang kedua dalam kepatriarkh-an.
Tentang teks syahadat Konsili Konstantinopel tidak dibahas oleh Paus.
6. Konsili Ekumenis di Efesus (431)
Konsili ini diadakan untuk menghentikan ajaran sesat Nestorius, Uskup Konstantinopel. St. Cyril (Sirilus), Patriarkh Aleksandria memperoleh kuasa dari Paus Celestine untuk memberi ultimatum kepada Nestorius untuk menarik ajarannya dalam sepuluh hari, dan jika tidak, ia akan menerima sangsi ekskomunikasi. Nestorius menolak, dan ia terkena ekskomunikasi.
Dalam sesi pertama (dihadiri 198 uskup), syahadat Nicea dibacakan, dan surat St. Cyril kepada Nestorius dibacakan demikian pula jawaban Nestorius, yang disambut oleh yang hadir dengan seruan anathema. Lalu surat Paus Celestine kepada St Cyril dibacakan dan kemudian ditutup oleh surat St. Cyril kepada Nestorius dengan pernyataan anathema.
Maka dalam Konsili ini yang dibacakan masih adalah syahadat Nicea, tanpa ada pernyataan bahwa Roh Kudus berasal dari Bapa, ataupun Roh Kudus berasal dari Bapa dan Putera (‘filioque‘). Ketika St. Cyril mengutip syahadat di dalam Epistle XVII tentang ekskomunikasi Nestorius, yang ditulis di sana adalah teks syahadat Nicea, dan bukan teks syahadat Konstantinopel. Konsili ini merumuskan adanya kesatuan dua kodrat dalam Pribadi Kristus (Kristus adalah sungguh Allah dan sungguh manusia), sehingga karena Yesus sungguh Allah maka Bunda Maria disebut sebagai Bunda Allah.
Demikianlah maka jika Kanon VII Konsili Efesus melarang perubahan ataupun penambahan syahadat Nicea, harus dipahami sebagai perubahan ataupun penambahan yang mengubah isi pernyataan iman dalam syahadat Nicea. Sebab jika dilihat secara obyektif, maka syahadat Konstantinopel (yang awalnya juga merupakan konsili lokal) juga memberikan penambahan terhadap syahadat Nicea tersebut, yaitu pernyataan bahwa Roh Kudus berasal dari Allah Bapa…. Namun demikian, penambahan ini tidak mengubah pemahaman iman Kristiani, sebab memang Sabda Allah menyatakan bahwa Roh Kudus keluar dari Allah Bapa (melalui Putera-Nya). Demikian juga seharusnya kita melihat perihal ‘filioque‘, yang maksudnya adalah menjelaskan bahwa dalam proses hembusan yang berasal dari Allah Bapa itu, melibatkan juga Putera-Nya.
7. Penerjemahan di dalam liturgi Gereja.
Sejalan dengan perkembangan waktu, Gereja Barat menerapkan pernyataan syahadat ke dalam liturgi. Setelah Konsili Kalsedon (451) penerjemahan Latin dari syahadat Konstantinopel menggunakan kata yang nampaknya tidak menyampaikan arti yang sama persis dengan kata aslinya. Permasalahan itu timbul ketika kata Yunani “keluar” (ekporeusis dalam bahasa Yunani) diterjemahkan ke bahasa Latin menjadi “procedit” sebagaimana nampak dalam terjemahan Kitab Suci Vulgate oleh St. Hieronimus (Jerome) dan terjemahan Latin yang terdahulu menyebutkan, “Roh Kebenaran, yang keluar dari Bapa…. qui a Patre procedit….” (Yoh 15:26). Tidak seperti kata aslinya ekporeusis, yang dalam bahasa Yunani menyatakan keluarnya dari satu sumber atau satu penyebab, kata procedit dalam bahasa Latin ini memang tidak mengacu kepada sumber yang satu, namun hanya menyatakan ‘sesuatu keluar dari’. Pengertian inilah yang mendasari istilah “filioque” yang dipergunakan oleh Gereja Barat, yaitu bahwa memang Roh Kudus keluar dari Bapa, namun karena keluarnya Roh Kudus dari Bapa itu melalui Putera, maka dikatakan bahwa Roh Kudus keluar (procedit) dari Bapa dan Putera (filioque). Maka kata filioque ini tidak dimaksudkan oleh Gereja Barat untuk menyatakan bahwa ada dua macam sumber yang berbeda, yang menjadi asal Roh Kudus, namun tetap mengacu bahwa Allah Bapa sajalah yang menjadi Sumber Roh Kudus. Hal ini jugalah yang diajarkan oleh St. Agustinus, yang sering dianggap sebagai promotor ‘filioque‘ bagi Gereja Barat. Dalam tulisannya, St. Agustinus mengajarkan bahwa Roh Kudus keluar dari Bapa sebagai “Principaliter” /Sumber (De Trinitate XV, 25, 47, PL 42, 1094-1095) namun karena Roh Kudus adalah Roh Bapa dan Putera, maka Roh Kudus adalah Roh yang keluar baik dari Bapa maupun Putera juga. Demikianlah ajaran St. Agustinus:
“… Tetapi karena yang melahirkan dan yang dilahirkan adalah satu, juga pengutus dan yang diutus [adalah satu], karena Bapa dan Putera adalah satu, maka Roh Kudus adalah satu dengan keduanya, karena ketiganya adalah satu (1 Yoh 5:7). Dan karena bagi Putera, lahir artinya Ia berasal dari Bapa, sehingga diketahui keberadaan-Nya keluar dari Dia [Bapa] …. Maka kita tidak dapat mengatakan bahwa Roh Kudus tidak keluar dari Putera juga, sebab bukan tidak ada maksudnya jika Roh yang sama disebut sebagai Roh Bapa dan Roh Putera. Dan saya tidak dapat melihat maksud lainnya yang diinginkan Yesus ketika Ia menghembuskan Roh Kudus-Nya sambil berkata, “Terimalah Roh Kudus” (Yoh 20:22)….Tentu kamu tidak waras kalau mengatakan bahwa Roh yang diberikan-Nya dengan hembusan itu berbeda dengan Roh yang diutus-Nya setelah kenaikan-Nya ke surga. Tidak, Roh Allah itu satu, Roh Bapa dan Roh Putera, Roh Kudus yang berkarya dengan segala cara di dalam semua manusia (1Kor 12:6).
Maka dengan mengatakan, “Yang akan Kuutus dari Bapa” (Yoh 15:26), Tuhan Yesus menunjukkan bahwa Roh Kudus adalah Roh Bapa dan Putera. Di ayat-ayat lainnya juga, ketika Ia berkata, Yang akan diutus Bapa, Ia menambahkan, dalam nama-Ku (Yoh 14:26). Ia tidak mengatakan, “Yang akan diutus Bapa dari Aku” namun “yang akan Kuutus dari Bapa” (Yoh 15:26) dan dengan demikian mengatakan bahwa Bapa-lah asal semua ke-Tuhanan. Demikianlah Roh Kudus yang keluar dari Bapa dan Putera berasal dari Ia [Bapa] yang dari-Nya Putera lahir.”[9]
Pernyataan ini sesungguhnya cukup menjelaskan mengapa pernyataan Gereja-gereja Timur Orthodoks yang mengatakan bahwa Roh Kudus berasal dari Allah Bapa itu memang benar, namun juga pernyataan Gereja Barat (Latin) yang mengatakan bahwa Roh Kudus berasal dari Allah Bapa dan Putera (filioque), juga benar. Kedua pernyataan ini menunjukkan penekanan yang berbeda, namun sebagaimana dijelaskan oleh St. Agustinus, keduanya ada dasarnya dari Kitab Suci, dan keduanya benar.
8. Konsili Toledo (589)
Konsili ini dipimpin oleh Uskup Leander dari Seville, untuk maksud menyelesaikan pengaruh ajaran sesat Arianisme yang dianut oleh kaum Visigoths, dan yang tadinya dianut oleh Raja Reccared. Pertobatannya ke iman Kristiani yang asli mendorongnya untuk mendukung konsili Toledo. Di awal Konsili, dibahas mengenai syahadat sebagaimana telah dinyatakan di Nicea, Konstantinopel, Efesus dan Kalsedon. Konsili menyatakan bahwa Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus adalah satu dan sama hakekat dan kedudukannya. Untuk menyatakan kesamaan hakekat Bapa dan Putera, maka dikatakan bahwa Roh Kudus keluar dari Bapa dan Putera (filioque). Pernyataan ini dirumuskan untuk menghentikan pengaruh ajaran Arianisme di Spanyol yang menyatakan bahwa Putera tidak mungkin adalah Allah jika Roh-Nya (Roh Kudus) ada terpisah dari-Nya, atau hanya berasal dari Allah Bapa. Demikianlah, frasa “filioque” ini ada justru untuk melindungi pernyataan iman Kristiani yang asli, akan kesamaan hakekat antara Allah Bapa dan Putera, yang telah diimani Gereja sejak awal. Maka, walaupun di Konsili ini disebut frasa ‘filioque‘, namun sesungguhnya istilah ini tidak baru berasal dari Konsili Toledo ini.
Sejak Konsili Toledo, kata “filioque” dinyanyikan dalam liturgi Gereja Katolik di Spanyol. Tahun 796, istilah “filioque” juga dinyatakan di Sinode Friaul atas prakarsa Patriarkh Aquileia; dan kemudian Konsili di Aachen (809) juga menyetujui istilah “filioque” ini.
9. Konsili Ekumenis ke-IV Konstantinopel (869)
Konsili ini diadakan pada masa Paus Adrian II. Konsili ini mengecam Photius yang telah menentang Paus Nicholas I dan yang secara tidak sah telah mengambil kedudukan patriarkh di Konstantinopel dari Patriarkh Ignatius. Kedudukan Ignatius diteguhkan, dan Photius dan pengikutnya diturunkan. Konsili meneguhkan kembali keputusan-keputusan Konsili Nicea, dan meneguhkan kegunaan ikon dan gambar-gambar Kristus agar dihormati, sebagaimana kitab Injil dihormati.
Namun pada tahun 877 Patriarkh Ignatius wafat, sehingga Photius kembali memperoleh kekuasaannya. Gereja-gereja Timur kemudian mengadakan konsili lagi pada tahun 879-880 yang menobatkan Photius menjadi Santo. Terdapat perbedaan catatan sejarah tentang Konsili ini, Gereja Katolik mengakui Konsili Konstantinopel di tahun 869, sedangkan gereja-gereja Orthodoks mengakui Konsili Konstantinopel yang diadakan di tahun 880.
Selanjutnya tentang kisah Photius, dan mengapa penunjukkannya sebagai uskup dan tidak sesuai dengan ketentuan hukum Gereja, dan bahwa kiprahnya menyingkirkan Patriarkh Ignatius bukanlah tindakan yang benar dan jujur, silakan membaca di sini, silakan klik. Nyatalah dari kisah tersebut, bahwa hal “filioque” diambil sebagai salah satu alasan oleh Photius, namun sesungguhnya hal “filioque” tersebut bukanlah alasan mula-mula yang dipermasalahkan sebelum konflik terjadi.
Setelah konflik antara Gereja-gereja Barat (Latin) dan Timur (Yunani/ Orthodoks) terjadi di abad ke- 9 ini, istilah “filioque” mencuat ke permukaan, dan kerap dianggap menjadi alasan yang memisahkan kedua Gereja. Alasan ini kembali mencuat sampai pada skisma yang terjadi di zaman Michael Cerularius 1054.
10. Konsili Lyons (1274)
Konsili Ekumenis Lyons II diadakan di bawah pimpinan Paus Gregorius X, dihadiri oleh Patriarkh Antiokia dan Konstantinopel, 15 kardinal dan 500 uskup. Konsili ini bermaksud meneguhkan kesatuan Gereja. Kata “filioque” secara resmi ditambahkan kepada syahadat Nicea-Konstantinopel.
Selanjutnya tentang Konsili Lyons II, silakan klik di sini.
Apa yang ditetapkan oleh Konsili Lyons II diteguhkan kembali dalam Konsili Firense (Florence) di tahun 1438, sebagaimana dikutip dalam Katekismus Gereja Katolik 246.
3. Kata “filioque” malah memperjelas iman Gereja
Maka “filioque” tersebut sebenarnya ada untuk memperjelas ajaran Gereja sejak awal yang menolak ajaran Arianisme yang menolak kesamaan hakekat antara Allah Bapa dan Allah Putera. Adanya “filioque” ini bukan untuk menunjukkan ada dua Kepala dalam Allah Trinitas, ataupun dua spirasi/ hembusan. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:
KGK 246 Tradisi Latin dari Kredo mengakui, bahwa Roh “berasal dari Bapa dan Putera, [filioque]“. Konsili Firense 1438 menegaskan: “bahwa Roh Kudus… memperoleh kodrat-Nya dan ada-Nya yang berdikari sekaligus dari Bapa dan Putera dan sejak keabadian berasal dari keduanya, yang merupakan satu asal, dalam satu hembusan… Dan karena Bapa sendiri memberikan segala-galanya yang ada pada Bapa kepada Putera tunggal-Nya waktu kelahiran-Nya, kecuali ke-Bapa-an-Nya, maka kenyataan bahwa Roh Kudus berasal dari Putera, diperoleh Putera sendiri sejak kekal dari Bapa, oleh-Nya Ia diperanakkan sejak kekal” (DS 1300-1301).
Katekismus Gereja Katolik mengacu kepada pernyataan Konsili Florence/ Firense (1438), yang berbunyi sebagai berikut:
“Di dalam nama Trinitas yang kudus, Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, dengan persetujuan Konsili umum yang suci di Firense, kami menetapkan bahwa kebenaran iman ini adalah untuk diimani dan diterima oleh semua umat Kristen, dan bahwa semua juga mengakui bahwa Roh Kudus sejak kekekalan berasal dari Bapa dan Putera dan mempunyai hakekat-Nya dan keberadaan-Nya dari baik Bapa dan Putera, dan berasal dari keduanya sejak kekekalan, sebagai dari satu dasar dan satu hembusan; kami menyatakan bahwa apa yang dikatakan oleh para Pujangga Gereja dan Bapa Gereja yang suci, yaitu, bahwa Roh Kudus berasal dari Bapa melalui Putera, cenderung kepada arti ini, bahwa dengan ini, dimaksudkan bahwa sebagaimana Bapa, Putera juga -menurut Gereja-gereja Yunani (Gereja- gereja Timur) dan menurut Gereja-gereja Latin- adalah penyebab, dasar keberadaan Roh Kudus. Dan karena semua yang Bapa miliki, [yaitu] Bapa sendiri, dengan melahirkan (in begetting) telah memberikan kepada Putera Tunggal-Nya, kecuali ke-Bapa-an-Nya, yang oleh Siapa Ia telah lahir dalam kekekalan. Sebagai tambahan, kami menetapkan bahwa demi menyatakan kebenaran dan juga karena keharusan yang seharusnya terjadi, penjelasan perkataan “Filioque” telah secara sah dan masuk akal ditambahkan kepada Credo/ Syahadat.”[10]Syahadat tentang “Filioque” ini baru ditegaskan dalam liturgi di Gereja Spanyol pada abad ke-6 dan secara berangsur diterapkan juga oleh Gereja-gereja lainnya dan kemudian disetujui oleh Gereja Roma, namun sebenarnya apa yang ditegaskan itu bukan hal tambahan yang baru, tetapi hal yang sudah diyakini oleh para Bapa Gereja di abad- abad sebelumnya. Penyebutan “filioque” ini sama sekali tidak merusak ataupun mengubah Credo (syahadat Pengakuan iman), tetapi malah semakin meneguhkan apa yang sejak awal diimani Gereja tentang kesamaan hakekat/ kodrat Allah Bapa dan Putera dan Roh Kudus; di samping juga menjelaskan satu-satunya perbedaan antara Pribadi Allah Bapa dan Putera dan Roh Kudus, yaitu dalam hal hubungan asalnya. Bapa melahirkan Putera; Putera lahir dari Bapa, sedangkan Roh Kudus berasal dari Bapa dan Putera; di mana hubungan asal ini tidak bisa ditukarkan satu sama lain.
4. Tidak terdapat perbedaan teologis antara pengertian Gereja Timur dan Barat tentang filioque
Jadi sebenarnya, pada dasarnya tidak terdapat perbedaan teologis antara pengertian Gereja Timur dan Barat. Seorang teolog Yunani, Prof. Apostolos Nikolaidis, Professor of the Sociology of Religion and Social Ethics at the University of Athens, menunjukkan bahwa skisma 1054, adalah contoh bagaimana praktek, dan bukan perbedaan teologis, dapat mengakibatkan skisma.
“The local Churches coexisted for centuries with the ‘Filioque’ before Church events brought the problem to a head in the period of Photios the Great, but there was no schism, and in the 1054 period the ‘Filioque’ was dormant. It came back and was intensified after this to justify it and make it fixed.”[11]
terjemahannya:
“Gereja-gereja lokal telah sama- sama ada selama berabad- abad dengan istilah “Filioque” sebelum kejadian-kejadian Gereja mengakibatkan problem tersebut mencuat ke permukaan dalam periode Photius Agung, tetapi saat itu tidak ada skisma, dan di periode 1054 hal ‘Filioque’ tidak aktif (dormant). Hal itu muncul kembali dan menjadi lebih diperkuat setelah ini untuk membenarkan skisma dan menjadikan skisma itu tetap.”
Untuk membaca lebih lanjut tentang topik ini, silakan anda klik di link ini, silakan klik.
Selanjutnya tentang Perbedaan utama gereja Orthodox dengan Gereja Katolik, klik di sini.
Akhirnya, mari kita melihat kenyataan bahwa baik pihak Gereja Katolik maupun Orthodoks mulai saling menyingkirkan prasangka negatif dan mengakui bahwa sesungguhnya tak ada yang menghalangi persekutuan di antara mereka. Uskup Gereja Timur Kallistos Ware yang dulu sangat menentang ajaran “filioque”, menyatakan, “Kontroversi tentang “filioque” yang telah memisahkan kita berabad-abad lamanya adalah lebih dari sekedar masalah teknis, namun bukan masalah yang tak terpecahkan. Memperbaiki posisi yang saya pegang teguh ketika menulis [buku saya] The Orthodox Church dua puluh tahun yang lalu, sekarang saya percaya, setelah pembelajaran yang lebih lanjut, bahwa masalah ini adalah lebih merupakan masalah bahasa (semantik) dan perbedaan penekanan daripada perbedaan dalam hal doktrin yang mendasar.” (Diakonia, quoted from Elias Zoghby’s A Voice from the Byzantine East, 43).
Semoga kita dapat memiliki kerendahan hati, sebagaimana yang dimiliki oleh Uskup Ware ini, dan juga yang dimiliki oleh Paus Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI yang dapat melihat bahwa sesungguhnya hal “filioque” ini tidak memisahkan Gereja Barat (Latin) dan Timur Orthodoks. Mari kita berharap agar suatu saat nanti sikap kerendahan hati dari kedua belah pihak ini akan dapat menghantar kedua Gereja kembali kepada persekutuan yang penuh, menjadi Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik, di bawah pimpinan Paus sebagai penerus Rasul Petrus, sebagaimana dikehendaki oleh Tuhan Yesus (lih. Yoh 17:20-21; Mat 16:18-19).
CATATAN KAKI:
lih. Tertullian, Ad Praexes II [↩]
lih. Tertullian, Ad Praexes XIII [↩]
PG 28:97 BC [↩]
St. Athanasius, On the Incarnation of the Word Against the Arians 9 in PG 26:1000A [↩]
St. Athanasius, Against the Arians 3:25:24 in PG 26:376A [↩]
St. Basil the Great, Against Eunomius 3:1 in PG 29:655A [↩]
St. Ambrose, On the Holy Spirit 1.11.20 [↩]
St. Ambrose, On the Holy Spirit, Bk I, Ch. 15 [↩]
St. Augustine, The Trinity, Book IV, 28-29, translated by Edmond Hill, O.P. (Brooklyn: New City Press) 1991, p.174. [↩]
lih. juga KGK 247 dan KGK 248 [↩]
Sumber: Ekklesia- Official Bulletin of the Church of Greece), June 2008, p. 432 [↩]
Source : katolisistas.org
Renungan Iman
إرسال تعليق