Dasar penghormatan umat Katolik: Maria adalah Bunda Allah dan Hawa yang baru ( Bgn 1 )
Jadi dasar penghormatan umat Katolik kepada Bunda Maria adalah, karena Tuhan telah terlebih dahulu memilihnya sebagai Bunda Allah; sebab Kristus yang dikandung dan dilahirkannya adalah Allah. Itulah sebabnya di dalam Kitab Suci, Maria disebut sebagai Bunda Allah (lih. Luk 1:43, 35, Gal 4:4). Jika kita merenungkan bagaimana malaikat Tuhan menyapa Bunda Maria pada saat ia memberitakan kabar suka cita, kita akan melihat betapa Allah sendiri -melalui malaikat utusan-Nya- menghormati Maria, dengan menyapanya, “Hail, full of grace/ Salam, hai engkau yang dikaruniai” (Luk 1:28).
Kata aslinya menurut Vulgate adalah kecharitomene, yang lebih tepat untuk diterjemahkan sebagai “Salam, hai engkau yang penuh rahmat”. Sapaan semacam ini tidak pernah ditujukan kepada tokoh manapun di dalam Alkitab. Dan kata “penuh rahmat” ini menjadi salah satu dasar yang dipandang oleh para Bapa Gereja untuk mengatakan bahwa sudah sejak awal hidupnya dalam kandungan ibunya, Maria sudah dipenuhi dengan rahmat Allah. Oleh karena tugas yang diembannya sebagai Bunda Allah, maka Maria dibebaskan dari noda dosa.
Kata aslinya menurut Vulgate adalah kecharitomene, yang lebih tepat untuk diterjemahkan sebagai “Salam, hai engkau yang penuh rahmat”. Sapaan semacam ini tidak pernah ditujukan kepada tokoh manapun di dalam Alkitab. Dan kata “penuh rahmat” ini menjadi salah satu dasar yang dipandang oleh para Bapa Gereja untuk mengatakan bahwa sudah sejak awal hidupnya dalam kandungan ibunya, Maria sudah dipenuhi dengan rahmat Allah. Oleh karena tugas yang diembannya sebagai Bunda Allah, maka Maria dibebaskan dari noda dosa.
Nah, selanjutnya, karena Maria adalah Bunda yang melahirkan Kristus Sang Hidup (Yoh 14:6), yang memberi hidup kepada dunia (Yoh 6:33), maka Bunda Maria juga secara tidak langsung berperan serta dalam memberikan Hidup kepada dunia.[1]. Dengan demikian, Maria menyempurnakan arti kata ‘Hawa’ yang artinya ibu dari segala yang hidup”mother of the living“/ ibu dari segala yang hidup. Maria adalah Sang Hawa yang baru, yang daripadanya lahir Sang Hidup, yang memberikan hidup yang kekal. Maka peran Maria sebagai Hawa yang baru mendukung peran Kristus sebagai Adam yang baru (lih. Rom 5:12-21). Rasul Paulus membandingkan Adam dengan Kristus, pada saat mengatakan bahwa oleh ketidaktaatan satu orang [Adam], semua orang telah jatuh dalam kuasa maut; dan karenanya oleh ketaatan satu orang [Kristus] semua orang beroleh hidup yang kekal. Mengambil prinsip yang sama, St. Irenaeus (180) membandingkan Hawa dengan Maria sebagai Hawa yang baru, “Ikatan ketidaktaatan Hawa dilepaskan oleh ketaatan Maria.
Apa yang terikat oleh ketidakpercayaan Hawa dilepaskan oleh iman Maria.”[2] Ikatan ketidak-taatan di sini maksudnya adalah belenggu dosa yang mengikat manusia karena ketidaktaatannya kepada Allah. Harus diakui bahwa meskipun Adam juga berdosa, namun dosanya ini dilakukan setelah Hawa terlebih dahulu jatuh dalam dosa ketidaktaatan kepada kehendak Allah. Oleh karena itu, pada saat penebusan dosa, “obat penawar”-nya adalah kondisi sebaliknya, yaitu diawali dengan ketaatan Bunda Maria, sang Hawa yang baru, kepada kehendak Allah (lih. Luk 1: 38); sehingga Kristus sebagai Adam yang baru dapat datang ke dunia oleh ketaatan-Nya kepada kehendak Allah Bapa (lih. Ibr 10:5-7).
Oleh karena ketaatan Maria inilah, Tuhan Yesus menjelma menjadi manusia di dalam rahim Maria dan kemudian dilahirkan olehnya; sehingga Maria layak disebut Bunda Allah. Dengan melahirkan Kristus, Maria juga dapat disebut sebagai Bunda Gereja, karena Kristus sebagai Kepala selalu berada dalam kesatuan dengan Gereja yang adalah anggota- anggota-Nya yang memperoleh hidup di dalam Dia. Oleh karena itu, para Bapa Gereja tak ragu untuk mengatakan bahwa Maria adalah “bunda mereka yang hidup” dan mengkontraskannya dengan Hawa, dengan menyatakan “maut melalui Hawa, hidup melalui Maria.” Dan inilah yang diajarkan kembali dalam Konsili Vatikan II saat menjabarkan hubungan antara Maria dengan Gereja.[3]
Apa yang terikat oleh ketidakpercayaan Hawa dilepaskan oleh iman Maria.”[2] Ikatan ketidak-taatan di sini maksudnya adalah belenggu dosa yang mengikat manusia karena ketidaktaatannya kepada Allah. Harus diakui bahwa meskipun Adam juga berdosa, namun dosanya ini dilakukan setelah Hawa terlebih dahulu jatuh dalam dosa ketidaktaatan kepada kehendak Allah. Oleh karena itu, pada saat penebusan dosa, “obat penawar”-nya adalah kondisi sebaliknya, yaitu diawali dengan ketaatan Bunda Maria, sang Hawa yang baru, kepada kehendak Allah (lih. Luk 1: 38); sehingga Kristus sebagai Adam yang baru dapat datang ke dunia oleh ketaatan-Nya kepada kehendak Allah Bapa (lih. Ibr 10:5-7).
Oleh karena ketaatan Maria inilah, Tuhan Yesus menjelma menjadi manusia di dalam rahim Maria dan kemudian dilahirkan olehnya; sehingga Maria layak disebut Bunda Allah. Dengan melahirkan Kristus, Maria juga dapat disebut sebagai Bunda Gereja, karena Kristus sebagai Kepala selalu berada dalam kesatuan dengan Gereja yang adalah anggota- anggota-Nya yang memperoleh hidup di dalam Dia. Oleh karena itu, para Bapa Gereja tak ragu untuk mengatakan bahwa Maria adalah “bunda mereka yang hidup” dan mengkontraskannya dengan Hawa, dengan menyatakan “maut melalui Hawa, hidup melalui Maria.” Dan inilah yang diajarkan kembali dalam Konsili Vatikan II saat menjabarkan hubungan antara Maria dengan Gereja.[3]
Perlu kita ketahui di sini bahwa para Bapa Gereja tidak mengartikan suatu gambaran dalam Kitab Suci dengan satu arti saja, melainkan dengan banyak arti yang memperkaya makna keseluruhan yang ingin disampaikan. Maka tidaklah menjadi masalah bahwa Maria yang adalah Bunda Kristus, kemudian juga disebut sebagai Hawa Baru, yang dalam konteks Adam yang baru, adalah mempelai-Nya. Semua gambaran ini adalah untuk menjabarkan makna persatuan antara Kristus dan Gereja yang adalah mempelai-Nya, di mana Maria menjadi anggotanya yang istimewa, karena ia telah terlebih dahulu dipilih Allah untuk melahirkan Kristus.
CATATAN KAKI:
- lih.Konsili Vatikan II tentang Gereja, Lumen Gentium 53 [↩]
- St. Irenaeus, Against Heresies, 189 AD, 3:22:24 [↩]
- Lihat Lumen Gentium 56, S. Ireneus, “dengan taat Maria menyebabkan keselamatan bagi dirinya maupun bagi segenap umat manusia” Maka … para Bapa zaman kuno, … menyatakan bersama Ireneus: “Ikatan yang disebabkan oleh ketidak-taatan Hawa telah diuraikan karena ketaatan Maria; apa yang diikat oleh perawan Hawa karena ia tidak percaya, telah dilepaskan oleh perawan Maria karena imannya” Sambil membandingkannya dengan Hawa, mereka menyebut Maria “bunda mereka yang hidup”. Sering pula mereka (St. Jerome, St. Agustinus, St. Cyril, St. Yohanes Krisostomus, St. Yohanes Damaskinus) menyatakan: “maut melalui Hawa, hidup melalui Maria.” [↩]
- John R Willis, S.J. ed., The Teachings of the Church Fathers, Ignatius Press, San Francisco, 2002 reprint, edisi asli Herder and Herder, New York, 1966 h. 356 [↩]
- John 2:4, RSV Bible, “O Woman, what have you to do with me? My hour has not yet come.” Diterjemahkan di dalam bahasa Indonesia, “Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saatku belum tiba.” [↩]
- John 19:26-27, RSV Bible, “When Jesus saw his mother, and the disciple whom he loved standing near, he said to his mother,”Woman, behold, your son!” Then he said to the disciple, “Behold, your mother!” diterjemahkan di dalam bahasa Indonesia: Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya, “Ibu, inilah anakmu!” Kemudian kata-Nya kepada murid-muridNya: “Inilah ibumu!” [↩]
- Rev 12:1-2 RSV Bible, “Then God’s temple in heaven was opened, and the ark of his covenant was seen within his temple…. And a great portent appeared in heaven, a woman clothed with the sun, with the moon under her feet, and on her head a crown of twelve stars…. Terjemahannya: Maka terbukalah Bait Suci Allah yang di sorga, dan kelihatanlah tabut perjanjian-Nya di dalam Bait Suci itu …. Maka tampaklah suatu tanda besar di langit: Seorang perempuanberselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya. [↩]
- Paus Yohanes Paulus II, Redemptoris Mater 18 [↩]
- lih. Paus Pius XII, Konstitusi Apostolik, Munificentissimus Deus, 39 [↩]
- Paus Pius XII, Munificentissimus Deus, 40, lihat juga definisi dari dogma Maria diangkat ke surga yang disebutkan oleh dokumen yang sama, alinea 44: “…. dengan kuasa dari Tuhan kita Yesus Kristus, dan dari Rasul Petrus dan Paulus yang terberkati, dan oleh kuasa kami sendiri, kami mengumumkan, menyatakan dan menentukan hal ini sebagai dogma yang diwahyukan Tuhan: bahwa Bunda Tuhan yang tidak bernoda, Maria yang tetap Perawan, setelah menyelesaikan tugas nya di dunia, diangkat tubuh dan jiwanya ke dalam kemuliaan surgawi.” [↩]
- lih. Lumen Gentium 62 [↩]
- lih. Lumen Gentium, 63 [↩]
- Origen, Commentary on John I,4, 23, PG 14, 32 [↩]
- St. Ephrem, Hymn 3 on the Birth of the Lord, v.5., ed. Lamy, II, pp 464 f [↩]
- St. Augustine, De sancta virginitate, 6 (PL 40, 399) [↩]
- Paus Pius X, Ad diem illum Laetissimum [↩]
- Luther Works, (Weimar edition), 29:655:26-656:7 [↩]
- Luther Works, (Weimar edition), 11:224:8 [↩]
Source : katolisistas.org Renungan Iman
إرسال تعليق