Tujuh Dukacita Maria: Apa maksudnya ?
Mengapa liturgi Gereja mengistimewakan dukacita Maria dan merayakan sebagai peringatan setiap 15 September? Mengapa sukacita Maria tidak dirayakan? Apa peran tujuh dukacita Maria?
Paulus Hadi Sigit, Malang
Pertama, peringatan Maria berdukacita pada 15 September berkaitan dengan Pesta Salib Suci yang dirayakan setiap 14 September. Salib adalah simbol sengsara, penderitaan, wafat, dan kebangkitan Yesus, sedangkan dukacita Maria seringkali dirinci dalam tujuh dukacita Maria. Kedua perayaan itu didekatkan hendak menunjukkan kedekatan Maria mengikuti Yesus dalam karya penebusan. Artinya, Maria ikut serta menderita bersama Yesus. Karena keikutsertaan Maria yang begitu dekat inilah Maria juga diberi gelar sebagai rekan-penebus (bdk. HIDUP, no 43, 21 Oktober 2012). Kedekatan ini juga tercermin dalam berbagai perayaan paralel antara Yesus dan Maria, antara lain dalam perayaan Hati Yesus yang Mahakudus dan Hati Maria yang tak bercela.
Kedua, sukacita Maria juga dirayakan, yaitu pada perayaan Maria Diangkat ke Surga (15 Agustus), Maria Dimahkotai sebagai Ratu Surga (22 Agustus), dan pada pesta Natal (25 Desember). Memang perayaan-perayaan ini tak menonjolkan sukacita Maria, tetapi secara implisit kita bisa mengandaikan sukacita Maria yang berlimpah pada peristiwa-peristiwa ini.
Ketiga, dukacita Maria mungkin terasa lebih ditonjolkan karena berkaitan dengan sengsara dan penderitaan Yesus. Penderitaan atau dukacita Maria, seperti dikatakan Paulus (Rom 8:17; Fil 3:10; Kol 1:24), juga ikut andil dalam memperlancar penerapan penebusan Kristus pada kita, yaitu sebagai silih atas dosa-dosa manusia. Dalam arti inilah pendalaman atas tujuh dukacita Maria membantu kita mengerti kehebatan Maria sebagai teladan iman dalam penderitaan.
Tujuh dukacita Maria itu ialah mendengar ramalan Simeon (Luk 2:21-35), pengungsian ke Mesir (Mat 2:13-15), kehilangan Yesus di Kenisah (Luk 2:41-52), mengikuti jalan salib Yesus (Luk 23:26-32), memandang Yesus tergantung di salib (Yoh 19:25- 27), memangku jenazah Yesus (Yoh 19:38-40), dan memakamkan Yesus (Yoh 19:41-42). Merenungkan tujuh dukacita Maria juga membantu kita menyadari, bahwa perjalanan iman Maria tidaklah tanpa masalah dan penderitaan. Alih-alih dibebaskan dari penderitaan, penderitaan Maria jauh lebih menyakitkan daripada apa yang kita alami.
Selain sebagai teladan iman, Maria juga menjadi penghibur kita yang sedang menderita. Paus Yohanes Paulus II menunjukkan peran ini; Bunda Maria yang Tersuci senantiasa menjadi penghibur yang penuh kasih bagi mereka yang mengalami berbagai penderitaan,baik fisik maupun moral, yang menyengsarakan serta menyiksa umat manusia. Ia memahami segala sengsara dan derita kita sebab ia sendiri juga menderita, dari Betlehem hingga Kalvari. ‘Dan jiwa mereka pula akan ditembusi sebilah pedang’. Bunda Maria adalah Bunda Rohani kita, dan seorang ibunda senantiasa memahami anak-anaknya serta menghibur dalam penderitaan mereka.
Bunda Maria mengemban suatu misi istimewa untuk mencintai kita, misi yang diterima dari Yesus yang tergantung di salib, untuk mencintai kita selalu dan senantiasa, dan untuk menyelamatkan kita! Lebih dari segalanya, Bunda Maria menghibur kita dengan menunjuk pada Dia yang Tersalib dan Firdaus!” (bdk juga LG 58).
Keempat, tujuh dukacita Maria membuat kita juga mengerti, bahwa Maria tak melarikan diri dari penderitaan. Maria menghadapi dan menghayati penderitaan sebagai sarana untuk semakin menyatukan diri dengan Yesus. Dukacitanya adalah jalan menuju kepersatuannya dengan Kristus. Dukacita Maria juga menunjukkan betapa besar pengorbanan dan kasih Maria yang merelakan Anaknya. Rasa keibuan dan rasa memiliki sebagai ibu dikalahkan oleh kasih ini. Tanpa kasih yang sebesar itu sulit dibayangkan dukacita yang luar biasa hebat itu bisa dilewatinya. Inilah perwujudan penyerahan diri Maria yang menyeluruh.
Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM - HidupKatolik.com
--Deo Gratias--
Source : FBGereja Katolik
إرسال تعليق