Martabat dan Panggilan Wanita


Peran wanita menurut ajaran Kristiani tidak terlepas dari tujuan penciptaan manusia, sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci, yaitu bahwa manusia, baik pria maupun wanita diciptakan sama martabatnya, sesuai dengan gambar dan rupa Allah. Katekismus mengajarkan demikian:
KGK 369    Pria dan wanita diciptakan, artinya, dikehendaki Allah dalam persamaan yang sempurna di satu pihak sebagai pribadi manusia dan di lain pihak dalam kepriaan dan kewanitaannya. “Kepriaan” dan “kewanitaan” adalah sesuatu yang baik dan dikehendaki Allah: keduanya, pria dan wanita, memiliki martabat yang tidak dapat hilang, yang diberi kepada mereka langsung oleh Allah, Penciptanya (Bdk Kej 2:7.22). Keduanya, pria dan wanita, bermartabat sama “menurut citra Allah”. Dalam kepriaan dan kewanitaannya mereka mencerminkan kebijaksanaan dan kebaikan Pencipta.
KGK 2334    “Ketika menciptakan manusia sebagai pria dan wanita, Allah menganugerahkan kepada pria dan wanita martabat pribadi yang sama dan memberi mereka hak-hak serta tanggung jawab yang khas” (FC 22,Bdk. GS 49,2). “Manusia bersifat pribadi: itu berlaku sama untuk pria dan wanita; karena kedua-duanya diciptakan menurut citra dan keserupaan Allah pribadi” (MD 6).
Selanjutnya Paus Yohanes Paulus II pernah memberikan pengajaran tentang martabat dan panggilan perempuan dalam keluarga, Gereja dan dunia, dalam surat Apostoliknya,Mulieris Dignitatem (MD), yang keseluruhan teksnya dapat dibaca di link ini, silakan klik, dan Familiaris Consortio, silakan klik (yang ringkasannya sudah pernah kami sampaikan di sini, silakan klik). Berikut ini adalah beberapa point penting dari kedua dokumen tersebut:

1. Peran wanita harus dilihat dalam kesatuan dengan rencana keselamatan Allah

Paus mengajarkan bahwa secara umum, peran wanita hendaknya dilihat dalam kesatuan rencana keselamatan Allah, yaitu dalam kesatuan dengan Misteri Paskah Kristus. Dalam pemahaman ini tepatlah jika permenungan akan peran wanita ini dihubungkan dengan peran permenungan akan peran Bunda Maria dalam rencana keselamatan Allah, karena peran Bunda Maria ini merupakan gambaran yang sempurna akan peran serta seorang wanita dalam perwujudan rencana Allah tersebut di dunia. Dengan melakukan perannya ini, Bunda Maria “memperoleh persatuan dengan Tuhan yang melampaui segala pengharapan jiwa manusia” (MD 3).

2. Peran ini diwujudkan dengan melayani

Bunda Maria mengambil bagian dalam rencana keselamatan Allah melalui perannya melayani, dalam hal ini adalah untuk mengandung, melahirkan dan membesarkan Kristus Sang Mesias. Dalam diri Bunda Maria, “to serve … means to reign” (MD 5), melayani artinya adalah untuk berkarya bersama Kristus. Maka untuk menjadi ‘pelayan Tuhan’-lah kita semua dipanggil, untuk menjalani panggilan hidup kita masing-masing.

3. Martabat wanita sama dengan martabat pria

Kesamaan martabat wanita dengan martabat pria nyata dari ungkapan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk pria, dan karena itu wanita ditempatkan sejajar untuk menjadi penolong bagi pria (lih. MD 6). Manusia, baik pria maupun wanita memang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, yang artinya adalah diciptakan sebagai mahluk yang berakal budi dan mempunyai kehendak bebas sehingga mampu mengenali dan mengasihi Allah (lih. MD 7). Selain itu, kesejajaran pria dan wanita menunjukkan bahwa keduanya diciptakan untuk kesatuan agar mereka dapat hidup dalam persekutuan kasih, dan dengan demikian mencerminkan persekutuan kasih di dalam Allah Trinitas (lih. MD 7). Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus di dalam kesatuan-Nya terdiri dari Tiga Pribadi yang saling mengasihi dengan kasih ilahi, sebab Allah adalah kasih (lih. 1Yoh 4:16). Maka manusia juga dipanggil ke dalam persekutuan kasih ini, yang realisasinya dipenuhi “melalui pemberian diri yang tulus” (MD 7). Jadi jika dikatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, artinya adalah bahwa manusia dipanggil untuk menjadi ‘pemberian/ gift‘  bagi orang lain.

4. Istri memberikan diri untuk disambut dengan pemberian diri dari pihak suami

Pernyataan dalam Kej 3:16, “ia [suamimu] akan berkuasa atasmu” menjadi penting untuk diketahui konteksnya, sebab di dalam memberikan diri kepada suaminya, istri ada di dalam kuasa suaminya. Dominasi suami menunjukkan kurangnya stabilitas kesamaan derajat antara pria dan wanita, dan pihak yang menerima kerugiannya adalah pihak wanita. Padahal pelanggaran akan kesamaan derajat ini, bukan saja merugikan pihak wanita, tetapi juga mengurangi martabat sang pria. Karena sesungguhnya hal pemberian diri di sini maksudnya adalah hubungan timbal balik antara suami dan istri dalam perkawinan, di mana pemberian diri istri secara tulus ditanggapi dan diimbangi dengan pemberian diri dari pihak suami (lih. MD 10). Maka wanita tidak dapat dijadikan obyek dominasi pria (ibid.)
Sebaliknya, ayat Kej 3:16 tidak dimaksudkan untuk menjadi dasar bagi perlawanan terhadap dominasi pria, ataupun menjadi alasan bagi wanita untuk memperoleh dominasi atas pria. Sebaliknya, wanita harus kembali ke asal usul feminitasnya, yang diperolehnya pada saat ia diciptakan oleh Allah.
Saling pemberian diri antara suami dan istri mengambil dasarnya dari kesatuan kasih antara Kristus sebagai mempelai pria dan Gereja sebagai mempelai wanita-Nya (lih. Ef 5:22-33). Sama seperti Gereja tunduk kepada Kristus, demikian pulalah hendaknya istri tunduk kepada suami, namun sebaliknya seperti Kristus memberikan diri-Nya sehabis-habisnya untuk mengasihi Gereja-Nya, demikian pulalah hendaknya suami terhadap istrinya.

5. Wanita menemukan jatidirinya melalui pemberian diri yang tulus, setia sampai akhir

Wanita akan menemukan jatidirinya “dengan cara memberikan diri secara tulus” (MD 11). Di dalam pengajaran-Nya, Yesus selalu menyatakan perhargaan dan penghormatan terhadap wanita, dan dengan demikian meneguhkan martabat wanita. Yesus menyapa dan bercakap-cakap dengan mereka (lih. Luk 13:16, Luk 23:28, Yoh 4:7-27). Yesus menerima pertobatan wanita yang berdosa (lih. Luk 7:39; Yoh 8:3-11); Yesus menyembuhkan para wanita (lih. Mk 1:30; 5:25-34,41), Yesus menerima peran serta para wanita dalam karya-Nya mewartakan Kerajaan Allah (lih. Luk 8:1-3). Singkatnya, Tuhan Yesus meneguhkan martabat wanita, memperbaharuinya dan menjadikannya bagian dari Injil dan karya keselamatan-Nya (lih. MD 13). Bahkan Injil mencatat bahwa terdapat beberapa wanita yang setia berdiri di kaki salib Yesus, (lih. Yoh 19:25; Mat 27:55)  sedangkan di antara murid-murid-Nya yang laki-laki, hanya Rasul Yohanes yang menyertai-Nya.

6. Dua peran wanita yang saling berhubungan: keperawanan dan keibuan

Dua peran wanita dalam Injil: keperawanan dan keibuan, dan kedua hal ini nyata dengan sempurna dalam diri Bunda Maria (lih. MD 17). Bunda Maria membantu semua orang, terutama para wanita untuk melihat dua dimensi ini dan bagaimana kedua peran ini saling melengkapi. Peran keibuan adalah buah dari kesatuan perkawinan antara pria dan wanita. Kesiapsediaan seorang wanita untuk menerima karunia kehidupan di dalam rahimnya, merupakan ungkapan yang menyerupai ketaatan Maria terhadap rencana Allah yang diterimanya dari malaikat itu, “Terjadilah padaku menurut perkataanmu.” Maka peran sebagai orang tua secara khusus dialami oleh seorang ibu, terutama sebelum kelahiran, saat sang bayi menyerap segala energi dan perkembangannya dari ibunya.
Peran kedua adalah keperawanan, yang di Injil dimaksudkan bahwa seseorang memilih untuk tidak kawin dan tidak mengalami peran keibuan secara fisik; namun ini untuk membuka kesempatan terhadap peran keibuan yang lain, yaitu ibu secara rohani (lih. Rom 8:4) (lih. MD 21).
Maka seorang wanita memenuhi panggilan hidupnya melalui sakramen perkawinan atau perkawinan secara rohani dengan Kristus, sebagaimana terjadi pada para wanita yang hidup tidak menikah dan menyerahkan hidupnya untuk Kristus. Di dalam kedua keadaan ini, wanita tetap dipanggil untuk memberikan dirinya secara tulus kepada mempelainya.

7. Peran ibu dalam keluarga: menerima karunia anak sejak awal konsepsi, kemudian mendidik anak-anak sesuai dengan ajaran iman.

Tugas dasar keluarga adalah untuk melayani kehidupan- termasuk di sini adalah menyalurkan kehidupan, pada saat persatuan kasih suami istri, dan dengan demikian pasangan turut mengambil bagian di dalam misteri penciptaan Allah (lih. FC 28). Sebagai pasangan, baik suami maupun istri meneruskan karunia kehidupan yang dipercayakan kepada Allah kepada mereka dan karena itu dalam perencanaan keluarga, cara yang diperkenankan adalah perencanaan KB alamiah (lih. FC 33).
Karena orang tua telah menyampaikan kehidupan kepada anak-anak mereka, maka orang tua mempunyai tugas kewajiban yang luhur untuk mendidik keturunan mereka. Orang tua (baik ayah dan ibu) merupakan pendidik yang pertama dan utama bagi para anak-anak mereka. Keluarga merupakan sekolah pertama bagi kebajikan-kebajikan yang dibutuhkan dalam lingkungan masyarakat. (lih. FC 36). Pendidikan iman yang penting dan mendasar bagi anak-anak yang harus dilakukan oleh orang tua, terutama oleh ibu, adalah mengajari anak-anak berdoa, mempersiapkan anak-anak untuk menerima sakramen-sakramen Gereja (lih. FC 60), dan menggunakan keadaan-keadaan hidup dan kebutuhan keluarga sebagai kesempatan untuk mengarahkan hati anak-anak dan seluruh keluarga kepada Tuhan.

8. Pekerjaan ibu di rumah hendaknya diakui dan dihormati

Gereja terus menyerukan kepada masyarakat bahwa perkerjaan para ibu di rumah untuk mengasuh dan mendidik anak-anak, hendaknya dihargai karena tidak dapat tergantikan. Walaupun wanita mempunyai hak yang sama untuk melakukan bermacam tugas dalam masyarakat, namun perlu diusahakan bagi para istri dan ibu, agar tidak memiliki keharusan untuk bekerja di luar rumah. Para pria harus sungguh menghargai dan mengasihi para wanita dengan menghormati martabat mereka, dan dengan demikian masyarakat akan dapat menciptakan dan mengembangkan keadaan agar para wanita dapat bekerja di rumah (lih. FC 23), dan dengan demikian dapat menjalankan perannya sebagai pendidik dan penanam nilai-nilai kebajikan kepada anak-anaknya, dengan lebih baik.

Source : katolisistas.org Renungan Iman

Post a Comment

أحدث أقدم