Memang tidak mudah untuk menjawab kondisi apakah seseorang masuk dalam invincible ignorance atau tidak. Untuk orang-orang yang tidak terjangkau oleh pemberitaan Injil, kita dapat mengatakan bahwa mereka adalah termasuk dalam kategori invincible ignoranceatau “ketidaktahuan yang tak teratasi” atau “ketidaktahuan yang bukan karena kesalahan mereka sendiri”. Namun, mereka juga tidak dapat menghindar terhadap natural law atauhukum kodrat, yang telah ditorehkan di dalam hati setiap manusia (hati nurani). Nah, masalahnya adalah, apakah kita dapat mengatakan bahwa orang-orang yang telah mendengar Injil dan tidak percaya pasti termasuk dalam invincible ignorance? Untuk menjawab hal ini, kita dapat melihat dokumen tentang Gereja di dunia dewasa ini – tentang martabat hati nurani dan tulisan dari Paus Pius XII.
Di lubuk hatinya manusia menemukan hukum, yang tidak di terimanya dari dirinya sendiri, melainkan harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu, suara itu menggema dalam lubuk hatinya: jalankanlah ini, elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu, dan menurut hukum itu pula ia akan diadili[16]. Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya[17]. Berkat hati nurani dikenallah secara ajaib hukum, yang dilaksanakan dalam cinta kasih terhadap Allah dan terhadap sesama[18]. Atas kesetiaan terhadap hati nurani Umat kristiani bergabung dengan sesama lainnya untuk mencari kebenaran, dan untuk dalam kebenaran itu memecahkan sekian banyak persoalan moral, yang timbul baik dalam hidup perorangan maupun dalam hidup kemasyarakatan. Oleh karena itu semakin besar pengaruh hati nurani yang cermat, semakin jauh pula pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok menghindar dari kemauan yang membabi-buta, dan semakin mereka berusaha untuk mematuhi norma-norma kesusilaan yang objektif. Akan tetapi tidak jaranglah terjadi bahwa hati nurani tersesat karena ketidaktahuan yang tak teratasi [invincible ignorance], tanpa kehilangan martabatnya. Tetapi itu tidak dapat dikatakan tentang orang, yang tidak peduli untuk mencari apa yang benar serta baik, dan karena kebiasaan berdosa hati nuraninya lambat laun hampir menjadi buta.“(Gaudium et Spes, 16)
Paus Pius XII mengatakan terhadap mereka yang tidak tergabung dalam Gereja Katolik oleh karena ketidaktahuan yang tidak dapat dihindari (invincible ignorance), namun yang selalu mencari kehendak Tuhan: Paus menyebutnya mereka ini sebagai “yang berhubungan dengan Tubuh Mistik Kristus dengan kerinduan dan keinginan tertentu yang tidak disadari” dan mereka ini bukannya tidak termasuk dalam keselamatan kekal, tetapi, “…mereka tetap kurang dapat memperoleh bermacam karunia surgawi dan bantuan-bantuan yang hanya dapat diberikan di dalam Gereja Katolik” (AAS, 1.c., p 243).
Dengan demikian terlihat jelas, bahwa orang yang tidak perduli terhadap nilai-nilai kebenaran dan berbuat dosa tidak dapat langsung dikategorikan invincible ignorance, karena hati nuraninya menjadi tumpul dan tidak dapat membedakan secara jelas antara norma-norma kesusilaan yang baik dengan yang buruk. Namun, orang yang senantiasa mencari kebenaran di atas kepentingan pribadi, yang senantiasa mencari kehendak Allah, akan menemukan kebenaran, apalagi di dunia sekarang ini, di mana informasi tentang iman dapat dengan mudah didapatkan. Dengan dasar ini, maka kita dapat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh anda:
1) Mereka yang telah diperkenalkan Injil dan masih tidak percaya: Kita tidak dapat menilai secara kasat mata, apakah orang tersebut termasuk dalam invincible ignorance(kesalahan karena ketidaktahuan yang tidak terhindari) atau culpable ignorance(Kesalahan karena kekhilafan sendiri). Semua ini tergantung dari kondisi orang tersebut, hati nurani orang tersebut, dan sampai seberapa jauh mereka mencari kebenaran dan menempatkan kebenaran di atas kepentingan pribadi, sampai seberapa jauh mereka menjalankan kehendak Allah, dll. Oleh karena itu, hanya Tuhan saja yang tahu apakah seseorang masuk dalam kategori invincible ignorance atau tidak.
2) Kebebasan beragama. Orang justru sering salah menggunakan semangat kebebasan beragama dan toleransi, yang seolah-olah diartikan bahwa semua agama sama saja, yang berarti tidak perlu memberitakan apa yang dipercayainya kepada orang lain. Justru, menjadi tugas umat Katolik untuk memberitakan kebenaran Injil kepada semua orang tanpa kecuali. Namun, tentu saja, pemberitaan ini harus dilakukan dengan cara yang bijaksana (prudence) dan tidak boleh memaksa dan menggunakan cara-cara yang justru berlawanan dengan nilai-nilai kekristenan.
Kondisi sebagian umat Katolik yang tidak mau menyebarkan kebenaran dapat menjadikan orang-orang yang belum mengenal Kristus menjadi tidak mengetahui kebenaran secara penuh. Dan keadaan ini dapat diperparah dengan sikap sebagian dari umat Katolik yang tidak hidup menurut ajaran Gereja Katolik, yang tidak mencerminkan kekudusan di dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, orang yang tidak percaya karena kurang melihat saksi Kristus yang baik, atau umat Katolik yang tidak hidup menjadi saksi Kristus yang baik harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Kristus sendiri.
Karya-karya pastoral dan karya-karya sosial dan kasih adalah sesuatu yang baik. Namun, semua karya-karya tersebut harus menuntun seseorang kepada Sang Kebenaran, karenakarya-karya tersebut merupakan hasil dari hubungan yang baik dengan Sang Kebenaran itu sendiri, yaitu Yesus. Di satu sisi, pemberitaan Injil harus juga digalakkan, sehingga umat Katolik dapat mengerti secara persis akan apa yang dipercayainya dan melakukan apa yang dipercayainya dengan sungguh-sungguh dan sukacita. Bahkan pemberitaan Injil harus dilihat sebagai perbuatan kasih, karena memberitakan kebenaran, yang akan menuntut semua orang kepada keselamatan kekal. Tidak ada sesuatu yang lebih baik daripada keselamatan kekal. Dan, pemberitaan ini juga diharapkan mampu menjangkau umat dari agama lain. Namun, apakah umat dari agama lain mau menjawab panggilan ini atau tidak, semuanya tergantung dari mereka dan Tuhan, karena pada akhirnya yang dapat merubah hati adalah Tuhan sendiri. Dalam hal ini, yang terpenting adalah kita tidak boleh menjadi penghalang rahmat Tuhan yang hendak dicurahkan kepada semua orang. Oleh karena itu, dalam kapasitas kita masing-masing, kita harus berusaha dengan segenap hati, segenap pikiran dan segenap kekuatan kita untuk senantiasa mengikuti kehendak Allah.
Ditulis oleh: Stefanus Tay & Ingrid Tay
Stefanus Tay, MTS dan Ingrid Listiati, MTS adalah pasangan suami istri awam dan telah menyelesaikan program studi S2 di bidang teologi di Universitas Ave Maria - Institute for Pastoral Theology, Amerika Serikat. (Katolisitas.org)
إرسال تعليق