Bunda Maria: yang Terbesar di antara Para Kudus?


1. Bunda Maria: yang terbesar di antara para kudus?

Gereja Katolik memang melihat kepada Bunda Maria sebagai teladan kekudusan dan kesempurnaan Kristiani, dengan kenyataan bahwa Allah sendiri berkenan memilihnya sebagai ibu yang melahirkan Kristus, Sang Putera Allah yang menjadi manusia. Tentang dasar penghormatan yang istimewa kepada Bunda Maria, sudah pernah dituliskan di sini,silakan klik.
Karena Maria dipilih untuk menjadi Bunda Allah, suatu pilihan yang tidak akan pernah terjadi lagi dalam sejarah manusia bahwa seorang manusia akan melahirkan Tuhan yang menjelma menjadi manusia, maka posisi/ peran Maria memang tidak pernah dapat disamakan oleh peran siapapun. Sebab dengan menjadi bunda Kristus Sang Kepala, maka Maria juga menjadi bunda bagi anggota-anggota Tubuh-Nya, yaitu Gereja. Dengan demikian Gereja menghormati Bunda Maria sebagai bundanya, dan dengan demikian Maria mengambil tempat yang istimewa di antara para orang kudus lainnya, bahkan di antara para mahluk lainnya; sebab Kristus yang dilahirkannya merupakan yang sulung dan yang utama dari segala ciptaan (lih. Kol 1:15).
Maka ringkasnya, Bunda Maria memang adalah orang kudus yang istimewa, jika dibandingkan dengan tokoh- tokoh lainnya dalam Kitab Suci, karena: 1) berkat imannya ia dipilih Tuhan untuk menjadi Bunda Allah; 2) ia dikuduskan Tuhan dan dipenuhi rahmat sehingga tidak berdosa baik dosa asal maupun dosa pribadi; 3) karena ketaatannya ia menyebabkan keselamatan bagi seluruh umat manusia; 4) dengan perannya sebagai perawan dan bunda, Maria menjadi gambaran yang sempurna bagi Gereja.
Berikut ini adalah ajaran Gereja Katolik yang menyatakan hal tersebut:
1. Konsili Vatikan II :
“Sebab Perawan Maria, yang sesudah warta Malaikat menerima Sabda Allah dalam hati maupun tubuhnya, serta memberikan Hidup kepada dunia, diakui dan dihormati sebagai sungguh- sungguh Bunda Allah dan Bunda Penebus. Karena pahala putera-nya ia ditebus secara lebih unggul, serta dipersatukan dengan-Nya dalam ikatan yang erat dan tidak terputuskan. Ia dianugerahi kurnia serta martabat yang amat luhur, yakni menjadi Bunda Putera Allah, maka juga menjadi Puteri Bapa yang terkasih dan kenisah Roh Kudus. Karena anugerah rahmat yang sangat istimewa itu ia jauh lebih unggul dari semua makhluk lainnya, baik di sorga maupun di bumi. Namun sebagai keturunan Adam Ia termasuk golongan semua orang yang harus diselamatkan. Bahkan “ia memang Bunda para anggota (Kristus), -. Karena dengan cinta kasih ia menyumbangkan kerjasamanya, supaya dalam Gereja lahirlah kaum beriman, yang menjadi anggota Kepala itu”. Oleh karena itu ia menerima salam sebagai anggota Gereja yang serba unggul dan sangat istimewa, pun juga sebagai pola-teladannya yang mengagumkan dalam iman dan cinta kasih. Menganut bimbingan Roh Kudus Gereja Katolik menghadapinya penuh rasa kasih-sayang sebagai bundanya yang tercinta. (Lumen Gentium, 53)
Sehubungan dengan penjelmaan Sabda ilahi Santa Perawan sejak kekal telah ditetapkan untuk menjadi Bunda Allah. Berdasarkan rencana penyelenggaraan ilahi ia di dunia ini menjadi Bunda Penebus, dan mengatasi semua orang lain dan dengan cara yang satu-satunya menjadi sang pendamping yang istimewa dan hamba Tuhan yang rendah hati. Dengan mengandung Kristus, melahirkan-Nya, membesarkan-Nya, menghadapkan-Nya kepada Bapa di kenisah, serta dengan ikut menderita bengan Puteranya yang wafat di kayu salib, ia secara sungguh istimewa bekerja sama dengan karya Juru selamat, dengan ketaatannya, iman, pengharapan serta cinta kasihnya yang berkobar, untuk membaharui hidup adikodrtai jiwa-jiwa. Oleh karena itu dalam tata rahmat ia menjadi Bunda kita. (Lumen Gentium, 61)
Karena kurnia serta peran keibuannya yang ilahi, yang menyatukannya dengan Puteranya Sang Penebus, pun pula karena segala rahmat serta tugas-tugasnya, Santa Perawan juga erat berhubungan dengan Gereja. Seperti telah diajarkan oleh St. Ambrosius, Bunda Allah itu pola Gereja, dalam hal iman, cinta kasih dan persatuan sempurna dengan Kristus. Sebab dalam misteri Gereja, yang juga tepat disebut Bunda dan perawan, Santa Perawan Maria mempunyai tempat utama, serta secara ulung dan istimewa memberi teladan sebagai perawan maupun ibu.”
2. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa Maria adalah tokoh yang kudus/ sempurna dan termurni di antara semua mahluk ciptaan-Nya, demikian:
KGK 867    Gereja adalah kudus: … Dalam orang-orang kudusnya terpancar kekudusannya; di dalam Maria ia sudah kudus secara sempurna.
KGK 64    Dengan perantaraan para nabi, Allah membina bangsa-Nya dalam harapan akan keselamatan, dalam menantikan satu perjanjian yang baru dan kekal, yang diperuntukkan bagi semua orang (Bdk. Yes 2:2-4). dan ditulis dalam hati mereka (Bdk. Yer 31:31-34; Ibr 10:16). Para nabi mewartakan pembebasan bangsa Allah secara radikal, penyucian dari segala kejahatannya (Bdk. Yeh 36), keselamatan yang mencakup semua bangsa (Bdk. Yes 49:5- 6; 53:11). Terutama orang yang miskin dan rendah hati di hadapan Allah (Bdk. Zef 2:3) menjadi pembawa harapan ini. Wanita-wanita saleh seperti Sara, Ribka, Rahel, Miriam, Debora, Hana, Yudit, dan Ester tetap menghidupkan harapan akan keselamatan Israel itu; tokoh yang termurni di antara mereka adalah Maria (Bdk. Luk 1:38).
KGK 492    Bahwa Maria “sejak saat pertama ia dikandung, dikaruniai cahaya kekudusan yang istimewa” (Lumen Gentium 56), hanya terjadi berkat jasa Kristus: “Karena pahala Puteranya, ia ditebus secara lebih unggul” (Lumen Gentium 53). Lebih dari pribadi tercipta yang manapun, Bapa “memberkati dia [Maria] dengan segala berkat Roh-Nya oleh persekutuan dengan Kristus di dalam surga” dan [Allah] telah memilih dia “sebelum dunia dijadikan, supaya ia kudus dan tidak bercacat di hadapan-Nya” (Bdk. Ef 1:3-4).
KGK 493    Bapa-bapa Gereja Timur menamakan Bunda Allah “Yang suci sempurna” [panhagia]: mereka memuji dia sebagai yang “bersih dari segala noda dosa, seolah-olah dibentuk oleh Roh Kudus dan dijadikan makhluk baru” (Lumen Gentium 56). Karena rahmat Allah, Maria bebas dari setiap dosa pribadi selama hidupnya.
KGK 494    Atas pengumuman bahwa ia, oleh kuasa Roh Kudus akan melahirkan “Putera yang maha tinggi” tanpa mempunyai suami (Bdk. Luk 1:28-37), Maria menjawab dalam “ketaatan iman” (Rm 1:5), dalam kepastian bahwa “untuk Allah tidak ada sesuatu pun yang mustahil”: “Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu” (Luk 1:37-38). Dengan memberikan persetujuannya kepada Sabda Allah, Maria menjadi bunda Yesus. Dengan segenap hati, ia menerima kehendak Allah yang menyelamatkan, tanpa dihalangi satu dosa pun, dan menyerahkan diri seluruhnya sebagai abdi Tuhan kepada pribadi dan karya Puteranya. Di bawah Dia dan bersama Dia, dengan rahmat Allah yang mahakuasa, ia melayani misteri penebusan (Bdk. Lumen Gentium 56).
“Sebab, seperti dikatakan oleh Santo Ireneus, ‘dengan taat Maria menyebabkan keselamatan bagi dirinya maupun bagi segenap umat manusia‘. Maka tidak sedikitlah para Bapa zaman kuno, yang dalam pewartaan mereka dengan rela hati menyatakan bersama Ireneus: ‘Ikatan yang disebabkan oleh ketidak-taatan Hawa telah diuraikan karena ketaatan Maria; apa yang diikat oleh perawan Hawa karena ia tidak percaya, telah dilepaskan oleh Perawan Maria karena imannya‘. Sambil membandingkannya dengan Hawa, mereka menyebut Maria ‘bunda mereka yang hidup’. Sering pula mereka nyatakan: ‘maut melalui Hawa, hidup melalui Maria”‘ (Lumen Gentium 56).
KGK 495    Dalam Injil-injil Maria dinamakan “Bunda Yesus” (Yoh 2:1; 19:25,Bdk. Mat 13:55 dll). Oleh dorongan Roh Kudus, maka sebelum kelahiran Puteranya ia sudah dihormati sebagai “Bunda Tuhan-Ku” (Luk 1:43). la, yang dikandungnya melalui Roh Kudus sebagai manusia dan yang dengan sesungguhnya telah menjadi Puteranya menurut daging, sungguh benar Putera Bapa yang abadi, Pribadi kedua Tritunggal Maha kudus. Gereja mengakui bahwa Maria dengan sesungguhnya Bunda Allah[Theotokos, Yang melahirkan Allah] (Bdk. DS 251).
KGK 506    Maria adalah perawan, karena keperawanannya adalah tanda imannya, “yang tidak tercemar oleh keraguan sedikit pun” (Lumen Gentium 63), dan karena penyerahannya kepada kehendak Allah yang tidak terbagi (Bdk. 1 Kor 7:34-35).Berkat imannya ia dapat menjadi Bunda Penebus: “Maria lebih berbahagia dalam menerima iman kepada Kristus, daripada dalam mengandung daging Kristus” (Agustinus, virg. 3).
KGK 507    Maria adalah perawan sekaligus bunda, karena ia adalah citra hakikat Gereja dan Gereja dalam arti penuh (Bdk. Lumen Gentium 63): Gereja, “oleh menerima Sabda Allah dengan setia pula – menjadi ibu juga. Sebab melalui pewartaan dan baptis, Gereja melahirkan bagi hidup baru yang kekal-abadi putera-putera yang dikandungnya dari Roh Kudus dan lahir dari Allah. Gereja pun perawan, yang dengan utuh-murni menjaga kesetiaan yang dijanjikannya kepada Sang Mempelai. Dan sambil mencontoh Bunda Tuhannya, Gereja dengan kekuatan Roh Kudus secara perawan mempertahankan imannya, keteguhan harapannya, dan ketulusan cinta kasihnya” (Lumen Gentium 64).
Nah, sekarang bagaimana dengan posisi orang kudus lainnya seperti St. Yusuf, St. Yohanes Pembaptis dan para Rasul? Sepanjang pengetahuan saya tidak ada dokumen Gereja Katolik yang secara definitif menyebutkan urutan- urutan orang kudus setelah Bunda Maria. Nampaknya tidaklah menjadi terlalu penting untuk mempersoalkan urutan tersebut, karena sebagai anggota- anggota Tubuh Kristus, setiap dari mereka mempunyai peran dan kekhususannya sendiri- sendiri.
Mengenai interpretasi Mat 11:11, di mana Yesus berkata, “Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes Pembaptis, namun yang terkecil dalam Kerajaan Sorga lebih besar dari padanya”, menurut keterangan dari the Navarre Bible adalah demikian:
“Dengan Yohanes Pembaptis, berakhirlah sudah Perjanjian Lama dan kita memasuki ambang Perjanjian Baru. Sang Perintis memperoleh kehormatan untuk membuka jalan bagi Kristus, dengan memberitakan Dia kepada orang banyak. Tuhan telah menugaskan kepadanya misi agung untuk mempersiapkan orang- orang sejamannya untuk mendengar Injil. Kesetiaan Yohanes Pembaptis diketahui dan diumumkan oleh Kristus. Pujian kepadanya merupakan penghargaan atas kerendahan hatinya: Yohanes, menyadari perannya, telah berkata, “Ia harus semakin besar dan aku semakin kecil.” (Yoh 3:30).
Yohanes Pembaptis merupakan yang terbesar, dalam arti bahwa ia menerima misi yang unik dan tidak tertandingi di dalam konteks Perjanjian Lama. Namun demikian, di dalam Kerajaan Surga (Perjanjian Baru) yang dimulai oleh Kristus, karunia rahmat ilahi membuat mereka yang terkecil yang dengan setia menerima rahmat itu menjadi lebih besar daripada yang terbesar menurut Perjanjian yang terdahulu. Pada saat karya penebusan kita selesai, rahmat Tuhan juga akan mencapai orang- orang benar di masa Perjanjian Lama. Dengan demikian, kebesaran Yohanes Pembaptis, Sang Perintis dan yang terakhir dari para nabi, akan disempurnakan oleh martabat diangkatnya menjadi anak Allah.”

2. Soal perutusan Maria yang dikatakan istimewa dari segala ciptaan.

Tentang hal ini Anda mengatakan, “Mengandung dan melahirkan adalah hal biasa bagi wanita itu sudah kodratnya yang diberikan Tuhan. Kalau Yusuf yang mengandung itu baru aneh. Jadi tugas sebagai ibu untuk melahirkan adalah seperti tugas Yusuf yang memberi nafkah (makan-pakaian).”
Memang benar hal mengandung dan melahirkan mungkin adalah hal biasa bagi wanita, tetapi itu jika yang dikandung dan dilahirkan adalah manusia. Kalau yang dikandung adalah Tuhan, maka menjadi sangat tidak biasa. Ini yang membuat Bunda Maria menjadi istimewa, karena yang dikandungnya adalah Yesus, yang sungguh Tuhan, walaupun Ia juga sungguh manusia.
Selain itu, Maria mengandung dan melahirkan tidak dengan campur tangan benih laki- laki, melainkan oleh Roh Kudus. Ini yang membuat Maria tidak sama dengan para wanita pada umumnya yang mengandung dengan keterlibatan benih suaminya. Dalam penjelmaan-Nya menjadi manusia, Tuhan Yesus mengambil semua ciri kemanusiaan-Nya (gen, DNA, darah, sel, dst) dari Bunda Maria dan tidak sama sekali dari St. Yusuf. Dengan demikian, maka Maria memang dapat dikatakan sebagai ibu biologis dari Kristus, sedangkan St. Yusuf adalah bapa angkat Yesus (foster father) bukan bapa biologis Yesus. Tentang hal ini, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Maka, tanpa mengecilkan peran Yusuf, kita secara obyektif dapat melihat bahwa kesatuan antara Tuhan Yesus dan Bunda Maria tidak dapat disamakan dengan kesatuan antara Tuhan Yesus dan St. Yusuf. Namun demikian, Gereja Katolik tetap menghormati St. Yusuf dan banyak gereja/ paroki mengambil nama St. Yusuf sebagai santo pelindungnya.
Anda selanjutnya mengatakan, “Jadi mengandung dan melahirkan (Tuhan) bukanlah sesuatu penderitaan tetapi lebih kepada kebanggaan, demikian juga bagi Yusuf yang memberi makan pada “Tuhan” bukanlah suatu beban berat melainkan anugerah. Tentu saja kita harus menghormati keduanya, tapi kalau kita baca pengajaran dalam PB seorang istri harus menghormati suami dan bukan suami yang menghormati istri, melainkan suami harus mengasihi istri. Tentang kehilangan Putra, belum tentu seorang ibu lebih sedih daripada ayahnya, tetapi mungkin sang ayah lebih bisa mengendalikan emosinya saat kehilangan atau sebaliknya akan tetapi kalau seturut Firman dalam PB perbandingan istri kepada suami adalah seperti jemaat kepada KRISTUS.
Benar bahwa mengandung dan melahirkan Tuhan sesungguhnya bukan merupakan penderitaan tetapi kebanggaan dan anugerah. Hal ini juga disadari oleh Bunda Maria, sehingga ia mengatakan juga dalam kidung Magnificatnya, “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku …” (Luk 1:46-49).
Namun janganlah kita lupakan pergumulan batin Maria sebelum ia mengatakan “Ya” terhadap kabar gembira malaikat, yaitu bahwa ada resiko yang cukup besar bagi Maria saat itu, karena menurut hukum Taurat, seorang perempuan yang mengandung bukan dari suaminya terancam hukuman rajam dan dipermalukan di hadapan umum (lih. Ul 22:23-24). Namun Bunda Maria percaya sepenuhnya akan rencana Tuhan sehingga ia dapat berkata, “Aku ini hamba Tuhan. Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu.” (lih. Luk 1:38). Jangan pula dilupakan bahwa meskipun dalam keadaan rahmat dan anugerah Tuhan, Keluarga kudus (Bunda Maria, St. Yusuf dan Yesus) hidup dalam kemiskinan dan kesederhanaan, bahkan pernah menjadi pengungsi di Mesir. Maka kehidupan Bunda Maria dan St. Yusuf merupakan rangkaian mozaik antara kebahagiaan dan keprihatinan namun tidak membuat iman mereka menjadi luntur. Puncak penderitaan Bunda Maria yang merupakan penggenapan nubuat Simeon bahwa ‘sebuah pedang akan menembus jiwanya’ (Luk 2:35) adalah ketika Bunda Maria berdiri di kaki salib Kristus, dan melihat bagaimana Putera-Nya disiksa sampai wafat. Kenyataan yang terpampang di hadapannya ini menjadi sangat berlawanan, bahkan sepertinya merupakan penyangkalan total dari apa yang pernah didengarnya dari malaikat, “Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi… dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.” (Luk 1:32-33). Namun Maria tetap teguh berdiri mendampingi Puteranya dengan kesetiaan seorang hamba, “Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu” (lih. Luk 1:38).
Tentang menghormati suami, itu tentu dilakukan oleh Bunda Maria terhadap St. Yusuf, sebab sebagai perempuan yang taat kepada hukum Taurat (Gal 4:4), Bunda Maria tidak mungkin melakukan sebaliknya. Namun kita juga dapat membayangkan bahwa St. Yusuf juga menghormati Bunda Maria, sebagai seseorang yang telah dipilih Tuhan untuk melahirkan Putera-Nya. Jika dikatakan dalam Kitab Suci bahwa Yusuf adalah seorang yang tulus hati (Mat 1:19), dan ketulusan hatinya ini yang memimpinnya untuk melindungi Maria (lih. Mat 1:19) dan mengikuti kehendak Tuhan yang diberitahukan kepadanya dalam mimpi; terlebih lagi setelah ia menjadi suami Maria, ia akan semakin mengenal panggilan Tuhan dalam hidupnya untuk melindungi Maria sebagai Tabut Allah, dan Putera Allah yang dikandung dan dilahirkan oleh Maria.
Jika kita membaca Kitab Suci, kita akan tahu bahwa keberadaan St. Yusuf disebut terakhir kali saat Yesus diketemukan dalam Allah saat berumur 12 tahun (lih. Luk 2:41-52). Tradisi Gereja mengajarkan bahwa St. Yusuf sudah lama wafat sebelum Yesus disalibkan. Maka yang menyaksikan sengsara dan wafat Yesus adalah Bunda Maria, sedangkan St. Yusuf tidak, sebab ia sudah meninggal dunia. Itulah sebabnya, karena Yesus tidak ingin ibu-Nya hidup sebatang kara sepeninggalan-Nya (karena St. Yusuf sudah wafat dan Yesus tidak mempunyai adik- adik), maka Ia memberikan Bunda Maria kepada Rasul yang dikasihi-Nya, yaitu Yohanes (lih. Yoh 19:26-27).
Akhirnya, Gereja Katolik juga mengajarkan bahwa hubungan antara suami dan istri mengambil teladan dari hubungan antara Kristus dan Gereja, di mana Kristus telah menyerahkan diri-Nya baginya (lih. Ef 5:25). Sebab masing- masing dari kita sebagai anggota Gereja dipanggil kepada kesempurnaan kasih kepada Kristus, yang adalah Kepala kita; dan dalam hal inilah Bunda Maria telah menjadi teladan, sebab ia telah melakukan kesempurnaan kasih itu sepanjang hidupnya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Post a Comment

أحدث أقدم