Ada orang yang bertanya apakah Allah tidak dapat menderita (impassibility) seperti mengalami kesedihan dan penyesalan? Kalau Allah tidak turut mengalami kesedihan, apakah kemudian Allah tidak berbelas kasih dan tidak mempunyai perasaan ketika manusia menderita? Bukankah di dalam Kitab Suci dituliskan bahwa Allah menyesal dan pilu hatinya (lih. Kej 6:6-7; 2 Sam 24:16; Mzm 106:45; Am 7:3), berbelas kasih kepada orang yang merintih hatinya (lih. Hak 2:18), dan masih banyak ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai sikap dan perasaan seperti layaknya manusia. Kita juga melihat bahwa Yesus juga disebut sebagai Hamba yang menderita (Yes 53) dan Yesus telah menyelamatkan manusia dengan jalan penderitaan dan bahkan wafat di kayu salib.
Untuk menjawab pertanyaan ini, maka pertama kita akan melihat dari sisi etimologi. Pengertian impassibility adalah sebagai berikut: “incapable of feeling pain, exempt from suffering, mid-14c., from O.Fr. impassible (13c.), from Church L. impassibilis ”incapable of passion,” from assimilated form of in- ”not, opposite of” (see in- (1)) + passibilis, from passio ”suffering” (see passion). Related:Impassibility.” Dari kamus etimologi ini, maka kita dapat mengerti bahwa kata impassibility adalah dari kata impasible (Perancis, abad 13) dan dari bahasa latin impassibilis, yang merupakan gabungan dari in danpassibilis – dari passio. Jadi impassibility berarti tidak dapat menderita.
Dari pengertian di atas, maka berikut ini adalah prinsip-prinsip yang berhubungan denganimpassibility.
1. Impassibility adalah kodrat Allah. Kalau kita melihat kodrat Allah, maka Allah tidak dapat menderita, karena Allah berbahagia secara sempurna dan Allah tidak berubah. Segala sesuatu terbentang di hadapan Allah baik masa lalu, saat ini, maupun masa depan, sehingga tidak ada satu kejadian yang mengejutkan Allah. Allah juga tidak mengubah keputusan-Nya, karena dia maha bijaksana dan adillah segala jalan-Nya. Allah juga bahagia secara sempurna dan secara total, sehingga apapun yang terjadi di dunia ini tidak menambah kebahagiaan-Nya maupun mengurangi kebahagian-Nya.
Kodrat Allah yang tidak dapat menderita inilah yang juga dipunyai oleh manusia pertama, sehingga sebelum manusia berdosa, dia tidak dapat menderita. Dan ketika manusia masuk ke dalam Sorga, dia juga tidak dapat menderita. Mungkin kita dapat merenungkan, bahwa orang-orang yang mendahului kita dan masuk ke dalam Sorga, juga tahu bahwa ada penderitaan di dalam dunia – karena mereka mengalami penderitaan sebelumnya – dan mereka juga tahu bahwa ada sebagian dari manusia yang akan masuk ke dalam neraka. Namun apakah kemudian mereka bersedih? Kalau mereka masih dapat bersedih, berduka dan menangis di Sorga, maka sebenarnya menjadi pertanyaan mengapa masih ada kesedihan di Sorga. Kitab Wahyu menuliskan bahwa Tuhan akan menghapus segala air mata dari mata mereka (lih. Why 7:17), yang berarti tidak ada lagi kesedihan di Sorga. Hal ini dipertegas lagi di dalam Kitab Wahyu “Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.” (Why 21:4) Katekismus Gereja Katolik menuliskannya sebagai berikut:
KGK 1044 Kalau Allah menjadikan “semuanya baru” (Why 21:5) dalam Yerusalem surgawi, Ia akan mempunyai tempat tinggal-Nya di antara manusia. “Ia akan menghapuskan segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita. Sebab segala sesuatu yang lama itu sudah berlalu” (Why 21:4; Bdk. Why 21:27).
Bagaimana mungkin kalau tidak ada lagi dukacita di Sorga sementara ada penderitaan di dalam diri Allah? Ini hanya mungkin kalau Allah sendiri bahagia secara mutlak dan tidak ada kesedihan dan penderitaan di dalam Allah dan kemudian Allah mengangkat manusia ke dalam kehidupan-Nya, sehingga manusia dapat berbahagia selamanya di dalam Kerajaan Sorga.
2. Impassibility bukanlah tidak peduli. Ketika kita mengatakan bahwa Tuhan tidak dapat menderita, maka bukan berarti bahwa Tuhan tidak peduli terhadap penderitaan manusia. Bukan berarti kalau Tuhan tetap bahagia secara absolut di tengah-tengah penderitaan manusia, maka berarti Tuhan tidak peduli akan penderitaan manusia. Tuhan tidak dapat menderita karena memang itu adalah kodrat Allah. Dengan demikian, apa yang terjadi terhadap makhluk ciptaan tidaklah mengubah kodrat Allah. Namun demikian, Tuhan justru begitu peduli dengan penderitaan manusia, sehingga Dia merelakan Putera-Nya yang dikasihi-Nya untuk turun ke dunia, agar barang siapa percaya kepada-Nya tidak akan binasa melainkan akan memperoleh hidup kekal (lih. Yoh 3:16).
Dari pemaparan di atas, maka sudah seharusnya kita tidak mempertentangkan kodrat Allah yang tidak dapat menderita (impassibility) dengan kepedulian Tuhan terhadap penderitaan manusia, karena keduanya tidaklah bertentangan. Kalaupun Kitab Suci menggunakan kata-kata Allah menyesal, pilu hatinya, maka semuanya itu adalah gaya bahasa, yang ingin mengungkapkan bahwa Allah benar-benar peduli dengan manusia.
Bagaimana dengan Yesus, yang sungguh menderita? Penderitaan Kristus – yang sungguh Allah dan sungguh manusia – memang nyata dan menjadi penebus dosa manusia. Penderitaan Yesus terjadi karena persatuan kodrat manusia dan kodrat Allah dalam satu pribadi. Sesuai dengan kodrat manusia, maka Yesus juga dapat menderita dan wafat. Dan ini adalah merupakan rencana keselamatan Allah.
Source : katolisistas.org Renungan Iman
إرسال تعليق