Tanpa Petrus dan Para Paus Tidak Akan Ada Kekristenan yang Otentik


Pada tahun 1517, pendiri gerakan Protestantisme, Martin Luther, bertemu dengan seorang yang kelak akan menjadi Bapa Protestantisme Inggris dan Amerika, John Calvin. Mereka bertemu untuk menyatukan perbedaan teologis. Tetapi, mereka gagal mencapai kesepakatan. Pada suatu titik frustasi, Luther datang ke Calvin dan berkata, �Saya memulai semuanya ini dan engkau harus mengikuti apa yang telah aku mulai!� Calvin menjawab, �Kamu pikir siapa dirimu di dunia ini, seorang Paus?�

Dalam kasus ini, para protestor tersebut tidak menyadari bahwa tanpa suatu penentu keputusan terakhir, tidak akan ada kesatuan dalam ajaran iman. Tanpa penentu ini, Kekristenan akan menjadi sebuah akumulasi dari kepercayaan dan praktik yang membingungkan. Setiap orang akan berpegang pada opini pribadi untuk membenarkan apa yang dia yakini dan dengan demikian, tidak akan ada kesatuan ajaran dalam Kekristenan.

Dalam Kekristenan, penentu ini adalah Petrus dan Para Paus. Mari kita melihat kepada beberapa Para Paus dalam lima abad pertama Kekristenan, terutama Para Paus yang mengajarkan doktrin yang dipegang oleh orang-orang Kristen. Ketika kita memeriksanya, kita dapat melihat bahwa tanpa Para Paus, Kekristenan tidak akan ada atau hadir sebagai akumulasi dari keyakinan-keyakinan yang membingungkan.

Paus Pertama, St. Petrus (33-67), memimpin konsili pertama Gereja, Konsili Yerusalem. Ia menyatakan bahwa orang-orang non-Yahudi dapat diterima ke dalam Gereja tanpa perlu disunat. Paus ke-2, St. Linus (67-76), dikenal sebagai seorang yang berperan dalam pembagian kota Roma menjadi beberapa paroki untuk memenuhi kebutuhan spiritual dari populasi Kristen yang tumbuh. Dia juga berperan dalam pengembangan kaum klerus dan pembagian tugas dan fungsi mereka. Paus ke-9, St. Hyginus (136-140), menetapkan bahwa seorang bayi atau kanak-kanak yang dibabtis harus memiliki wali babtis yang membimbing iman anak-anak tersebut. Paus ke-10, St. Pius I (140-155), menolak bidaah agnotisisme dan menetapkan proses penentuan tanggal Paskah. Paus ke-11, St. Anisetus (155-166), menekankan Perayaan Paskah sebagai perayaan sentral dan utama Kristen. Paus ke-12, St. Soter (166-175), menegaskan perkimpoian sebagai Sakramen. Paus ke-21, St. Kornelius (251-253), menolak dan melawan bidaah Novasianisme yang meyakini bahwa dosa-dosa tidak dapat diampuni dan Gereja harus terdiri dari orang-orang kudus saja. Paus ke-22, St. Lusius I, menegaskan kembali larangan hubungan seksual pra-nikah dan hidup bersama sebelum menikah. Paus ke-26, St. Feliks I (269- 274), menegaskan ajaran bahwa Kristus adalah sungguh Allah sungguh manusia, memiliki dua kodrat dalam satu pribadi. Paus ke-35, St. Julius I (337- 352), menetapkan bahwa Natal dirayakan pada tanggal 25 Desember. Ia juga menolak dengan tegas bidaah Arianisme. Paus ke-37, St. Damasus I (366-384), menentukan kitab-kitab yang dimasukkan ke dalam Kanon Kitab Suci dan menolak beberapa kitab untuk dimasukkan ke dalam Kanon Kitab Suci. St. Damasus I kemudian memerintahkan St. Hieronimus (St. Jerome) untuk menerjemahkan Kitab Suci berbahasa Yunani ke dalam Bahasa Latin yang kita kenal dengan nama Vulgata. Kitab-kitab yang ditentukan oleh Paus St. Damasus ke dalam Kanon Kitab Suci adalah yang kita pergunakan oleh orang-orang Kristen hingga saat ini. Daftar kitab-kitab yang ditolak oleh St. Damasus I untuk dimasukkan ke dalam Kanon Kitab Suci antara lain:

�Injil� Thomas, Dialog Sang Penyelamat, �Injil� Maria Magdalena, �Injil� masa kanak-kanak Yesus menurut Thomas, �Injil� masa kanak-kanak Yesus menurut Yakobus, �Injil� Petrus, �Injil� Bartolomeus, �Injil� Nikodemus, �Injil� Nazorean, �Injil� kaum Ebionit, �Injil� Filipus, �Injil� orang-orang Mesir, Apokrifa Yakobus, Apokrifa Yohanes, Wahyu kepada Paulus, dua kitab Wahyu kepada Yakobus, Wahyu kepada Petrus, Kisah Petrus dan Kedua belas Rasul, Kisah Andreas, Kisah Yohanes, Kisah Thomas, dll.

Menarik bahwa orang-orang Kristen non-Katolik tidak menolak atau mempertanyakan otoritas dan karya Paus St. Damasus I ini. Dengan kata lain, mereka menerima bahwa Paus St. Damasus infallible (tidak dapat salah) dalam menentukan kitab-kitab dalam Kanon Kitab Suci.

Di samping hal-hal di atas, Para Paus Roma tersebut pun berjuang dengan gigih untuk melawan bidaah-bidaah (ajaran sesat) yang muncul pada masanya. Para Pauslah yang berjuang melawan dan menolak bidaah-bidaah berikut:

Docetisme, Gnostisisme, Marcionisme, Montanisme, Donatisme, Novasianisme, Modalisme, Sabelianisme, Monarkianisme, Patripasionisme, Subordinasionisme, Arianisme, Pneumatomakisme, Eunominanisme, Nestorianisme, Monofisitisme, Jansenisme, dan lain-lain.

Sebagian besar Kristen non-Katolik menerima apa yang diajarkan dan dipertahankan oleh Para Paus tersebut. Tetapi, mengapa mereka menerima ajaran-ajaran Para Paus ini tetapi menolak seluruh ajaran-ajaran Paus lainnya? Mengapa mereka memilih yang mereka suka tetapi menolak yang tidak mereka suka?

Perlulah orang-orang Kristen yakini bahwa dalam penggembalaan Para Paus-lah kita dapat menemukan Iman yang sejati, benar adanya dan berasal dari Firman Allah.

*diadaptasi dari tulisan Pater John J. Pasquini dalam buku "Ecce Fides" hlm. 31-32


In Spiritu Domini

Post a Comment

أحدث أقدم