Gereja Katolik (yang dipimpin oleh Paus dan para uskup) tidak dapat salah mengajarkan dan menginterpretasi Alkitab. Kristus memberikan kuasa �infalibilitas/ infallibility� kepada para pemimpin Gereja tersebut yang disebut sebagai Magisterium. Magisterium adalah Wewenang Mengajar Gereja, yang terdiri dari Bapa Paus (sebagai pengganti Rasul Petrus) dan para uskup (sebagai pengganti para rasul) dalam persekutuan dengannya. Karisma �tidak dapat sesat� (infalibilitas) yang diberikan oleh Yesus, itu terbatas dalam hal pengajaran mengenai iman dan moral. Maka kita ketahui bahwa sifat infalibilitas ini tidak berlaku dalam segala hal, namun hanya pada saat mereka mengajar secara definitif tentang iman dan moral, seperti yang tercantum dalam Dogma dan doktrin resmi Gereja Katolik. Lebih lanjut tentang Magisterium, silakan klik di sini.
Mengapa karisma infalibilitas ini perlu dan penting? Karena justru dengan karisma inilah Tuhan Yesus melindungi Gereja yang didirikanNya dari perpecahan. Tanpa kuasa wewenang mengajar dari Magisterium, maka seseorang dapat mengatakan pemahamannya yang paling benar, dan dengan demikian memisahkan diri dari kesatuan Gereja, seperti yang sudah terjadi berkali-kali dalam sejarah Gereja. Kuasa infalibilitas dari Yesus kepada Petrus dan para penerusnya diberikan oleh Yesus, pada saat Ia mengatakan kepada Petrus sesaat setelah Ia mengatakan bahwa akan mendirikan Gereja-Nya atas Petrus (Mat 16:18). Yesus berkata, �Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.� (Mat 16:19)
Maksudnya di sini adalah Yesus memberikan kuasa kepada Petrus untuk mengajarkan tentang iman dan moral, sebagai ketentuan yang �mengikat� manusia di dunia dan kelak diperhitungkan di sorga. Tanpa kesatuan pemahaman tentang iman dan moral, maka yang terjadi adalah relativisme, dan perpecahan gereja, dan ini sudah terbukti sendiri dengan adanya banyak sekali denominasi Protestan (sekitar 28.000), yang dimulai umumnya dengan ketidaksesuaian pemahaman dalam hal doktrin (baik iman maupun moral) antara para pemimpin gereja Protestan, sehingga yang tidak setuju memisahkan diri.
Maka fakta sendiri menunjukkan interpretasi pribadi tidak bisa berfungsi sebagai �filter� (istilah yang dipakai teman anda) bagi pengajaran Paus dalam hal iman dan moral. Karena pengajaran Paus (Magisterium) dalam hal iman dan moral sudah pasti 100% benar, sehingga tidak perlu difilter. Mereka mengajarkan berdasarkan sumber dari pengajaran para rasul dan Bapa Gereja yang langsung/ lebih dekat terhubung dengan Kristus, sedangkan kita sekarang terpisah sekian abad dari jaman Kristus. Tentu mereka lebih memahami maksud Kristus daripada kita. Menganggap kita harus �mem-filter� ajaran para rasul itu sama saja dengan menganggap diri �lebih tinggi dari para rasul�. Ini menurut saya adalah kesombongan rohani. Sebab klaim teman anda bahwa �filter�nya adalah Kitab Suci, sebenarnya tidak tepat, karena nyatanya yang dijadikan �filter� adalah interpretasi pribadi tentang ayat- ayat Kitab Suci. Kita juga dapat melihat faktanya, kalaupun pengajaran para rasul dan Bapa Gereja ini �difilter� dengan pandangan pribadi, hasilnya malah perpecahan, dan akhirnya kebenaran dianggap sebagai sesuatu yang relatif. Ini akhirnya menghasilkan faham ketidakpedulian akan agama (religious indifferentism) karena orang berpikir semua pendapat toh akhirnya bisa �benar�, sehingga orang tidak peduli pada agama, seperti yang sudah terjadi terutama di negara- negara Eropa.
Yesus, dalam kapasitas-Nya sebagai Allah yang Maha tahu, sudah mengetahui akan kemungkinan ini, pada masa Ia hidup di dunia sebagai manusia. Maka, Yesus hanya mendirikan satu Gereja, dan Ia berjanji bahwa Gereja-Nya tidak akan dikuasai oleh maut (lih. Mat 16:18), artinya tidak akan disesatkan oleh Iblis hingga binasa. Yesus yang mengajarkan perkawinan adalah antara satu laki-laki dan satu perempuan, juga pasti akan menerapkan hal itu sendiri, ketika melalui Rasul Paulus, Ia mengatakan bahwa Ia adalah seumpama Mempelai laki-laki, dan Gereja-Nya adalah mempelai perempuan (Ef 5:22-33). Sebelum sengsaraNya, Ia juga berdoa kepada Allah Bapa, agar para rasul-Nya dan pengikut- mereka (yaitu kita semua sebagai anggota Gereja-Nya) bersatu (Yoh 17:20-23). Dan tentu kesatuan ini termasuk dan terutama dalam kesatuan Baptisan dan kesatuan ajaran, sebagai pesan Yesus yang terakhir yang diberikan kepada para rasul-Nya sebelum Ia naik ke surga (lih. Mat 28:19-20).
Maka penting di sini bagi kita untuk memahami Kitab Suci sesuai dengan pengajaran para rasul, agar kita dapat sungguh melaksanakan apa yang menjadi ajaran Kristus. Kita terhubung dengan para Rasul itu melalui para Bapa Gereja, karena para Bapa Gereja merupakan murid dari para rasul ataupun murid dari murid para rasul; dengan perkataan lain, merekalah yang dengan setia meneruskan ajaran dari para rasul. Melalui kesaksian para Bapa Gereja inilah kita memperoleh kitab-kitab Injil, dan merekalah yang menentukan kanon Kitab suci, yang terdiri dari kitab-kitab yang diyakini sebagai yang diilhami oleh Roh Kudus. Silakan membaca tentang kanon Kitab Suci di sini, silakan klik.
Dengan demikian adalah suatu pandangan yang keliru, jika Gereja Katolik yang setia berpegang kepada pengajaran para rasul dan Bapa Gereja tersebut disebut sebagai Gereja yang �kuno�. Kita harus melihat Gereja itu sebagai �pemberian� Kristus yang dibentuk oleh Kristus sendiri, dan bukannya Gereja yang bisa kita bentuk sesuai keinginan hati manusia. Maka dengan pengertian ini Gereja hanya bisa kita terima, dan bukannya sesuatu yang bisa �didirikan� oleh manusia atas dasar pemahaman pribadi manusia tentang suatu ajaran, yang sudah �disesuaikan� atau dimodernisasi sesuai dengan kebutuhan. Ini adalah pandangan yang keliru tentang Gereja.
Nah, dengan keinginan Yesus untuk mempertahankan kesatuan Gereja-Nya, maka sudah menjadi konsekuensi bahwa Ia memberikan kuasa tidak dapat sesat/ infalibilitas kepada pemimpinnya (yaitu Bapa Paus) untuk mengajarkan hal iman dan moral. Maka infalibilitas ini hanya berlaku: 1) jika Bapa Paus mengajar atas nama Rasul Petrus (jadi bukan atas nama pribadi) istilahnya �ex-cathedra�; 2) menyangkut pengajaran definitif tentang iman dan moral, 3) pengajaran ini berlaku untuk Gereja secara universal. Tiga syarat ini dijabarkan dalam Konsili Vatikan II, Lumen Gentium (Konstitusi tentang Gereja), 25, menegaskan kembali apa yang telah ditetapkan dalam Konsili di Konstantinopel (869-70), Lyons (1274) dan Florence (1438-45). Pada saat ketiga syarat di atas terpenuhi, maka pengajaran tersebut dapat dikatakan sebagai pengajaran Magisterium, dan ajarannya dikenal dengan sebutan Tradisi Suci. Tradisi Suci dan Kitab Suci inilah yang harus dilihat sebagai �deposit of faith�, sumber ajaran iman, dan keduanya tidak terpisahkan, karena bersumber pada sumber yang sama yaitu pengajaran Kristus dan para rasul. Namun, jika ketiga syarat ini tidak dipenuhi, misalnya Paus mengajar atas nama pribadi, dan bukan tentang iman dan moral, tidak pula menyangkut Gereja universal, maka pengajarannya tidak dapat dikatakan �infallible/ tidak dapat sesat.� (Contoh: Paus Benediktus XVI yang adalah seorang pianis handal, mengajar musik, namun dalam hal ini, ajarannya bisa salah, karena ia mengajar tidak dalam kapasitas sebagai Rasul Petrus, dan hal yang diajarkannya bukan tentang iman dan moral).
Interpretasi pribadi akan Kitab Suci tanpa pemahaman yang benar, sesuai dengan Tradisi Suci, akan menghasilkan perpecahan, dan ini sudah terbukti di dalam sejarah, dengan adanya 28.000 denominasi gereja protestan yang masing-masing meng-klaim, mendapat inspirasi dari Roh Kudus. Sebenarnya, jujur perlu di renungkan, mengapa jika Roh Kudus adalah Roh Kasih, Roh pemersatu dan Roh Kebenaran, mengapa orang-orang yang mengaku dituntun oleh-Nya tidak dapat lagi mengasihi (tidak lagi sabar menanggung segala sesuatu 1 Kor 13:7) sehingga harus memisahkan diri? Mengapa orang-orang tersebut tidak membuat pembaharuan di dalam Gereja seperti yang dilakukan oleh para orang kudus, tetapi malah meninggalkannya? Mengapa kebenaran yang mereka yakini bisa berbeda-beda, dan bertentangan? Dalam hal ini, sebagai umat Katolik kita perlu bersyukur, sebab dengan adanya kepemimpinan Magisterium Gereja, Gereja Katolik dapat tetap eksis dalam persatuan selama lebih dari 2000 tahun. Dengan ketaatan, umat Katolik menerima pengajaran dari Magisterium, justru karena kita yakin yang diajarkan oleh mereka mempunyai dasar dari Alkitab, pengajaran para rasul dan Bapa Gereja, dan bukan dari interpretasi pribadi.
Sumber : http://katolisitas.org/3305/tentang-infalibilitas-dan-paus-holy-father
In Spiritu Domini
Maksudnya di sini adalah Yesus memberikan kuasa kepada Petrus untuk mengajarkan tentang iman dan moral, sebagai ketentuan yang �mengikat� manusia di dunia dan kelak diperhitungkan di sorga. Tanpa kesatuan pemahaman tentang iman dan moral, maka yang terjadi adalah relativisme, dan perpecahan gereja, dan ini sudah terbukti sendiri dengan adanya banyak sekali denominasi Protestan (sekitar 28.000), yang dimulai umumnya dengan ketidaksesuaian pemahaman dalam hal doktrin (baik iman maupun moral) antara para pemimpin gereja Protestan, sehingga yang tidak setuju memisahkan diri.
Maka fakta sendiri menunjukkan interpretasi pribadi tidak bisa berfungsi sebagai �filter� (istilah yang dipakai teman anda) bagi pengajaran Paus dalam hal iman dan moral. Karena pengajaran Paus (Magisterium) dalam hal iman dan moral sudah pasti 100% benar, sehingga tidak perlu difilter. Mereka mengajarkan berdasarkan sumber dari pengajaran para rasul dan Bapa Gereja yang langsung/ lebih dekat terhubung dengan Kristus, sedangkan kita sekarang terpisah sekian abad dari jaman Kristus. Tentu mereka lebih memahami maksud Kristus daripada kita. Menganggap kita harus �mem-filter� ajaran para rasul itu sama saja dengan menganggap diri �lebih tinggi dari para rasul�. Ini menurut saya adalah kesombongan rohani. Sebab klaim teman anda bahwa �filter�nya adalah Kitab Suci, sebenarnya tidak tepat, karena nyatanya yang dijadikan �filter� adalah interpretasi pribadi tentang ayat- ayat Kitab Suci. Kita juga dapat melihat faktanya, kalaupun pengajaran para rasul dan Bapa Gereja ini �difilter� dengan pandangan pribadi, hasilnya malah perpecahan, dan akhirnya kebenaran dianggap sebagai sesuatu yang relatif. Ini akhirnya menghasilkan faham ketidakpedulian akan agama (religious indifferentism) karena orang berpikir semua pendapat toh akhirnya bisa �benar�, sehingga orang tidak peduli pada agama, seperti yang sudah terjadi terutama di negara- negara Eropa.
Yesus, dalam kapasitas-Nya sebagai Allah yang Maha tahu, sudah mengetahui akan kemungkinan ini, pada masa Ia hidup di dunia sebagai manusia. Maka, Yesus hanya mendirikan satu Gereja, dan Ia berjanji bahwa Gereja-Nya tidak akan dikuasai oleh maut (lih. Mat 16:18), artinya tidak akan disesatkan oleh Iblis hingga binasa. Yesus yang mengajarkan perkawinan adalah antara satu laki-laki dan satu perempuan, juga pasti akan menerapkan hal itu sendiri, ketika melalui Rasul Paulus, Ia mengatakan bahwa Ia adalah seumpama Mempelai laki-laki, dan Gereja-Nya adalah mempelai perempuan (Ef 5:22-33). Sebelum sengsaraNya, Ia juga berdoa kepada Allah Bapa, agar para rasul-Nya dan pengikut- mereka (yaitu kita semua sebagai anggota Gereja-Nya) bersatu (Yoh 17:20-23). Dan tentu kesatuan ini termasuk dan terutama dalam kesatuan Baptisan dan kesatuan ajaran, sebagai pesan Yesus yang terakhir yang diberikan kepada para rasul-Nya sebelum Ia naik ke surga (lih. Mat 28:19-20).
Maka penting di sini bagi kita untuk memahami Kitab Suci sesuai dengan pengajaran para rasul, agar kita dapat sungguh melaksanakan apa yang menjadi ajaran Kristus. Kita terhubung dengan para Rasul itu melalui para Bapa Gereja, karena para Bapa Gereja merupakan murid dari para rasul ataupun murid dari murid para rasul; dengan perkataan lain, merekalah yang dengan setia meneruskan ajaran dari para rasul. Melalui kesaksian para Bapa Gereja inilah kita memperoleh kitab-kitab Injil, dan merekalah yang menentukan kanon Kitab suci, yang terdiri dari kitab-kitab yang diyakini sebagai yang diilhami oleh Roh Kudus. Silakan membaca tentang kanon Kitab Suci di sini, silakan klik.
Dengan demikian adalah suatu pandangan yang keliru, jika Gereja Katolik yang setia berpegang kepada pengajaran para rasul dan Bapa Gereja tersebut disebut sebagai Gereja yang �kuno�. Kita harus melihat Gereja itu sebagai �pemberian� Kristus yang dibentuk oleh Kristus sendiri, dan bukannya Gereja yang bisa kita bentuk sesuai keinginan hati manusia. Maka dengan pengertian ini Gereja hanya bisa kita terima, dan bukannya sesuatu yang bisa �didirikan� oleh manusia atas dasar pemahaman pribadi manusia tentang suatu ajaran, yang sudah �disesuaikan� atau dimodernisasi sesuai dengan kebutuhan. Ini adalah pandangan yang keliru tentang Gereja.
Nah, dengan keinginan Yesus untuk mempertahankan kesatuan Gereja-Nya, maka sudah menjadi konsekuensi bahwa Ia memberikan kuasa tidak dapat sesat/ infalibilitas kepada pemimpinnya (yaitu Bapa Paus) untuk mengajarkan hal iman dan moral. Maka infalibilitas ini hanya berlaku: 1) jika Bapa Paus mengajar atas nama Rasul Petrus (jadi bukan atas nama pribadi) istilahnya �ex-cathedra�; 2) menyangkut pengajaran definitif tentang iman dan moral, 3) pengajaran ini berlaku untuk Gereja secara universal. Tiga syarat ini dijabarkan dalam Konsili Vatikan II, Lumen Gentium (Konstitusi tentang Gereja), 25, menegaskan kembali apa yang telah ditetapkan dalam Konsili di Konstantinopel (869-70), Lyons (1274) dan Florence (1438-45). Pada saat ketiga syarat di atas terpenuhi, maka pengajaran tersebut dapat dikatakan sebagai pengajaran Magisterium, dan ajarannya dikenal dengan sebutan Tradisi Suci. Tradisi Suci dan Kitab Suci inilah yang harus dilihat sebagai �deposit of faith�, sumber ajaran iman, dan keduanya tidak terpisahkan, karena bersumber pada sumber yang sama yaitu pengajaran Kristus dan para rasul. Namun, jika ketiga syarat ini tidak dipenuhi, misalnya Paus mengajar atas nama pribadi, dan bukan tentang iman dan moral, tidak pula menyangkut Gereja universal, maka pengajarannya tidak dapat dikatakan �infallible/ tidak dapat sesat.� (Contoh: Paus Benediktus XVI yang adalah seorang pianis handal, mengajar musik, namun dalam hal ini, ajarannya bisa salah, karena ia mengajar tidak dalam kapasitas sebagai Rasul Petrus, dan hal yang diajarkannya bukan tentang iman dan moral).
Interpretasi pribadi akan Kitab Suci tanpa pemahaman yang benar, sesuai dengan Tradisi Suci, akan menghasilkan perpecahan, dan ini sudah terbukti di dalam sejarah, dengan adanya 28.000 denominasi gereja protestan yang masing-masing meng-klaim, mendapat inspirasi dari Roh Kudus. Sebenarnya, jujur perlu di renungkan, mengapa jika Roh Kudus adalah Roh Kasih, Roh pemersatu dan Roh Kebenaran, mengapa orang-orang yang mengaku dituntun oleh-Nya tidak dapat lagi mengasihi (tidak lagi sabar menanggung segala sesuatu 1 Kor 13:7) sehingga harus memisahkan diri? Mengapa orang-orang tersebut tidak membuat pembaharuan di dalam Gereja seperti yang dilakukan oleh para orang kudus, tetapi malah meninggalkannya? Mengapa kebenaran yang mereka yakini bisa berbeda-beda, dan bertentangan? Dalam hal ini, sebagai umat Katolik kita perlu bersyukur, sebab dengan adanya kepemimpinan Magisterium Gereja, Gereja Katolik dapat tetap eksis dalam persatuan selama lebih dari 2000 tahun. Dengan ketaatan, umat Katolik menerima pengajaran dari Magisterium, justru karena kita yakin yang diajarkan oleh mereka mempunyai dasar dari Alkitab, pengajaran para rasul dan Bapa Gereja, dan bukan dari interpretasi pribadi.
Infalibilitas Paus Roma terjadi sepanjang berkaitan dengan iman dan moral, dikeluarkan dari ex cathedra, dalam persatuan dengan sinode Uskup sedunia baik barat maupun timur yang setuju akan suatu hal secara Unanim (1 suara), dan apa yang disampaikan bukan merupakan sesuatu yang baru dalam iman Gereja. Dan sejauh ini hanya ada 2 dogma Katolik Roma yang dikeluarkan dengan kuasa Infalibilitas Paus Roma : Immaculate Conception & Maria Diangkat ke Surga.
Menurut prediksi beberapa teolog, sepertinya kuasa Infalibilitas ini tidak akan pernah dipakai lagi untuk mengeluarkan suatu dogma di masa mendatang.
Sumber : http://katolisitas.org/3305/tentang-infalibilitas-dan-paus-holy-father
In Spiritu Domini
إرسال تعليق