Latest News

Showing posts with label Pewartaan. Show all posts
Showing posts with label Pewartaan. Show all posts

Sunday, December 30, 2012

Invincible ignorance dalam jaman ini


Memang tidak mudah untuk menjawab kondisi apakah seseorang masuk dalam invincible ignorance atau tidak. Untuk orang-orang yang tidak terjangkau oleh pemberitaan Injil, kita dapat mengatakan bahwa mereka adalah termasuk dalam kategori invincible ignoranceatau “ketidaktahuan yang tak teratasi” atau “ketidaktahuan yang bukan karena kesalahan mereka sendiri”. Namun, mereka juga tidak dapat menghindar terhadap natural law atauhukum kodrat, yang telah ditorehkan di dalam hati setiap manusia (hati nurani). Nah, masalahnya adalah, apakah kita dapat mengatakan bahwa orang-orang yang telah mendengar Injil dan tidak percaya pasti termasuk dalam invincible ignorance? Untuk menjawab hal ini, kita dapat melihat dokumen tentang Gereja di dunia dewasa ini – tentang martabat hati nurani dan tulisan dari Paus Pius XII.
Di lubuk hatinya manusia menemukan hukum, yang tidak di terimanya dari dirinya sendiri, melainkan harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu, suara itu menggema dalam lubuk hatinya: jalankanlah ini, elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu, dan menurut hukum itu pula ia akan diadili[16]. Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya[17]. Berkat hati nurani dikenallah secara ajaib hukum, yang dilaksanakan dalam cinta kasih terhadap Allah dan terhadap sesama[18]. Atas kesetiaan terhadap hati nurani Umat kristiani bergabung dengan sesama lainnya untuk mencari kebenaran, dan untuk dalam kebenaran itu memecahkan sekian banyak persoalan moral, yang timbul baik dalam hidup perorangan maupun dalam hidup kemasyarakatan. Oleh karena itu semakin besar pengaruh hati nurani yang cermat, semakin jauh pula pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok menghindar dari kemauan yang membabi-buta, dan semakin mereka berusaha untuk mematuhi norma-norma kesusilaan yang objektif. Akan tetapi tidak jaranglah terjadi bahwa hati nurani tersesat karena ketidaktahuan yang tak teratasi [invincible ignorance], tanpa kehilangan martabatnya. Tetapi itu tidak dapat dikatakan tentang orang, yang tidak peduli untuk mencari apa yang benar serta baik, dan karena kebiasaan berdosa hati nuraninya lambat laun hampir menjadi buta.“(Gaudium et Spes, 16)
Paus Pius XII mengatakan terhadap mereka yang tidak tergabung dalam Gereja Katolik oleh karena ketidaktahuan yang tidak dapat dihindari (invincible ignorance), namun yang selalu mencari kehendak Tuhan: Paus menyebutnya mereka ini sebagai “yang berhubungan dengan Tubuh Mistik Kristus dengan kerinduan dan keinginan tertentu yang tidak disadari” dan mereka ini bukannya tidak termasuk dalam keselamatan kekal, tetapi, “…mereka tetap kurang dapat memperoleh bermacam karunia surgawi dan bantuan-bantuan yang hanya dapat diberikan di dalam Gereja Katolik” (AAS, 1.c., p 243).
Dengan demikian terlihat jelas, bahwa orang yang tidak perduli terhadap nilai-nilai kebenaran dan berbuat dosa tidak dapat langsung dikategorikan invincible ignorance, karena hati nuraninya menjadi tumpul dan tidak dapat membedakan secara jelas antara norma-norma kesusilaan yang baik dengan yang buruk. Namun, orang yang senantiasa mencari kebenaran di atas kepentingan pribadi, yang senantiasa mencari kehendak Allah, akan menemukan kebenaran, apalagi di dunia sekarang ini, di mana informasi tentang iman dapat dengan mudah didapatkan. Dengan dasar ini, maka kita dapat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh anda:
1) Mereka yang telah diperkenalkan Injil dan masih tidak percaya: Kita tidak dapat  menilai secara kasat mata, apakah orang tersebut termasuk dalam invincible ignorance(kesalahan karena ketidaktahuan yang tidak terhindari) atau culpable ignorance(Kesalahan karena kekhilafan sendiri). Semua ini tergantung dari kondisi orang tersebut, hati nurani orang tersebut, dan sampai seberapa jauh mereka mencari kebenaran dan menempatkan kebenaran di atas kepentingan pribadi, sampai seberapa jauh mereka menjalankan kehendak Allah, dll. Oleh karena itu, hanya Tuhan saja yang tahu apakah seseorang masuk dalam kategori invincible ignorance atau tidak.
2) Kebebasan beragama. Orang justru sering salah menggunakan semangat kebebasan beragama dan toleransi, yang seolah-olah diartikan bahwa semua agama sama saja, yang berarti tidak perlu memberitakan apa yang dipercayainya kepada orang lain. Justru, menjadi tugas umat Katolik untuk memberitakan kebenaran Injil kepada semua orang tanpa kecuali. Namun, tentu saja, pemberitaan ini harus dilakukan dengan cara yang bijaksana (prudence) dan tidak boleh memaksa dan menggunakan cara-cara yang justru berlawanan dengan nilai-nilai kekristenan.
Kondisi sebagian umat Katolik yang tidak mau menyebarkan kebenaran dapat menjadikan orang-orang yang belum mengenal Kristus menjadi tidak mengetahui kebenaran secara penuh. Dan keadaan ini dapat diperparah dengan sikap sebagian dari umat Katolik yang tidak hidup menurut ajaran Gereja Katolik, yang tidak mencerminkan kekudusan di dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, orang yang tidak percaya karena kurang melihat saksi Kristus yang baik, atau umat Katolik yang tidak hidup menjadi saksi Kristus yang baik harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Kristus sendiri.
Karya-karya pastoral dan karya-karya sosial dan kasih adalah sesuatu yang baik. Namun, semua karya-karya tersebut harus menuntun seseorang kepada Sang Kebenaran, karenakarya-karya tersebut merupakan hasil dari hubungan yang baik dengan Sang Kebenaran itu sendiri, yaitu Yesus. Di satu sisi, pemberitaan Injil harus juga digalakkan, sehingga umat Katolik dapat mengerti secara persis akan apa yang dipercayainya dan melakukan apa yang dipercayainya dengan sungguh-sungguh dan sukacita. Bahkan pemberitaan Injil harus dilihat sebagai perbuatan kasih, karena memberitakan kebenaran, yang akan menuntut semua orang kepada keselamatan kekal. Tidak ada sesuatu yang lebih baik daripada keselamatan kekal. Dan, pemberitaan ini juga diharapkan mampu menjangkau umat dari agama lain. Namun, apakah umat dari agama lain mau menjawab panggilan ini atau tidak, semuanya tergantung dari mereka dan Tuhan, karena pada akhirnya yang dapat merubah hati adalah Tuhan sendiri. Dalam hal ini, yang terpenting adalah kita tidak boleh menjadi penghalang rahmat Tuhan yang hendak dicurahkan kepada semua orang. Oleh karena itu, dalam kapasitas kita masing-masing, kita harus berusaha dengan segenap hati, segenap pikiran dan segenap kekuatan kita untuk senantiasa mengikuti kehendak Allah.

Ditulis oleh: Stefanus Tay & Ingrid Tay
Stefanus Tay, MTS dan Ingrid Listiati, MTS adalah pasangan suami istri awam dan telah menyelesaikan program studi S2 di bidang teologi di Universitas Ave Maria - Institute for Pastoral Theology, Amerika Serikat. (Katolisitas.org)

Saturday, December 29, 2012

Mewartakan Kepenuhan Kebenaran



Kita mewarta karena kita dicinta

Dalam suatu perjalanan ke bandara Sukarno- Hatta, kami menumpang di salah satu taksi yang dikendarai oleh seorang bapak separuh baya. Ia sungguh seorang yang sangat periang dan pandai bercerita. Kami sangat terkesan akan kisahnya tentang keluarganya, tentang anak-anak dan cucu-cucunya. Dengan wajah yang sangat bersemangat ia menunjukkan foto-foto cucu-cucunya yang direkam di handphone-nya, dan dengan bangga ia berkata, “Ini cucu laki-laki saya, baru empat tahun umurnya. Dia ini cakep dan pandai, sudah beberapa kali jadi bintang iklan. Semua orang yang melihatnya pasti demen ama dia….” Lalu sambil menunjukkan foto cucunya yang lain, ia berujar,  “Kalau yang ini cucu perempuan saya, enam tahun. Ia cantik seperti ibunya, dan sering jadi juara kelas… Mereka ini selalu menyambut saya setiap kali saya pulang kerja, dan saya selalu senang mendengarkan celoteh mereka. Mereka bikin saya bangga dan merasa orang yang paling beruntung di dunia!”
Orang yang paling beruntung di dunia. Adakah kita juga merasa demikian? Jika kita dicintai oleh seseorang yang kita cintai, kita merasa bahagia, atau ‘beruntung’, kalau meminjam istilah bapak pengemudi taksi itu. Betapa lebih berbahagianya, jika yang mencintai kita adalah Allah yang menciptakan kita, yang sedemikian mengasihi kita, sampai mau melakukan apa saja, agar kita dapat mengalami cinta-Nya itu.  Di dalam Kristus Sang Putera Allah, kita mengalami cinta Tuhan yang tiada batasnya itu. Kristus telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita sahabat-sahabat-Nya (lih. Yoh 15:13) demi menebus dosa-dosa kita. Ia telah menyerahkan hidup-Nya di kayu salib, supaya kita bisa beroleh hidup di dalam Dia dan sampai kepada kebahagiaan abadi bersama Allah.Duh, betapa seharusnya  kita selalu mengingat kasih Tuhan ini, supaya kita dapat mempunyai semangat seperti bapak pengemudi taksi itu, yang tidak segan-segan berceritera tentang betapa ia telah dikasihi. Jika kita sungguh telah mengalami kasih Allah, seharusnya dengan sendirinya, kita mewartakan Dia. Bukan hanya kita mewartakan bahwa Allah begitu mengasihi saya, tetapi bahwa Allah begitu mengasihi semua orang: Anda dan saya. Betapa berita ini adalah Kabar Gembira!

Apakah yang diwartakan?

Maka berita utama yang perlu kita wartakan kepada dunia sekeliling kita sesungguhnya sangatlah sederhana, yaitu: Tuhan mengasihimu! Ya, belas kasih Tuhan adalah berita utama dalam pewartaan kita. Memang Kitab Suci menuliskan banyak pengajaran, namun hal belas kasih Tuhan merupakan topik yang hampir selalu nampak dalam kisah-kisah Injil. Tentang belas kasihan Tuhan sudah pernah diulas di sini
yang intinya adalah demikian:
1. Kasih Allah dinyatakan dengan mengutus Kristus Putera-Nya untuk menjelma menjadi manusia; agar dapat turut merasakan dan mengalami segala pergumulan kita sebagai manusia. Dalam penjelmaan-Nya sebagai manusia, Kristus rela taat sampai wafat di kayu salib, demi menghapus dosa-dosa kita manusia (lih. Flp 2:5-11).
Namun demikian, dalam penjelmaan-Nya sebagai manusia, Kristus tidak berhenti menjadi Allah, dan karena itu, Ia dapat bangkit dari kematian-Nya. Oleh kebangkitan-Nya, Kristus mematahkan kuasa dosa dan maut, dan mendatangkan keselamatan bagi mereka yang percaya kepada-Nya (lih. Yoh 3:16).
2. Belas kasih Allah ini dialami manusia melalui pertobatan. Karena kasih Allah ini sifatnya mempersatukan dan hal yang memisahkan antara Allah dan manusia adalah dosa, maka belas kasihan Allah ini dialami secara nyata jika kita sungguh bertobat, yaitu meninggalkan dosa-dosa kita untuk berbalik kepada Allah. Oleh rahmat Allah dan pertobatan kita, hubungan kasih antara kita dengan Allah dipulihkan, sebagaimana yang dengan begitu indahnya dikisahkan dalam perumpamaan anak yang hilang (lih. Luk 15:11-32). Kristus juga mengajarkan pentingnya pertobatan dan kerendahan hati, agar kita dapat masuk ke dalam Kerajaan Surga: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga.” (Mat 18:3-4).
Di sini kita melihat bahwa rahmat keselamatan yang membawa kita ke surga mensyaratkan sikap pertobatan dan kerendahan hati, dan ini tidak berlaku hanya sekali saja, tetapi sepanjang hidup. Maka berita belas kasih Allah seyogyanya selalu disandingkan dengan ajakan untuk bertobat.
3. Maka puncak karya keselamatan Kristus adalah Misteri Paska Kristus, yaitu sengsara, wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga.[1] Sebab melalui Misteri Paska, terputuslah belenggu dosa yang memisahkan kita dengan Allah.
Kebangkitan Kristus tidak bisa dipisahkan dari kematian-Nya di kayu salib, sebab tanpa kematian, tidak ada kebangkitan. Rasul Paulus mengatakan, “Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan” (1 Kor 2:2). Itulah sebabnya  ajaran iman Katolik tidak pernah memisahkan  kebangkitan  Kristus dengan wafat-Nya di salib.  Minggu Paskah ada karena Jumat Agung, dan keduanya tidak dapat dipisahkan.  Itulah sebabnya ajaran yang menekankan hanya kepada kemenangan, teori kemakmuran, tidak sejalan dengan ajaran iman Katolik, sebab hal itu tidak sesuai dengan ajaran Injil.
4. Misteri Paska Kristus dihadirkan oleh kuasa Roh Kudus di dalam Gereja. Sebelum Kristus naik ke surga, Kristus mempercayakan karya penyelamatan kepada Gereja (lih. Mat 16:18-19; 28:19-20; Yoh 20:21-23). Para rasul, yang mewakili Gereja diberi perintah oleh Kristus untuk membaptis, untuk mengampuni dosa orang yang bertobat, dan mengajar segenap ajaran Kristus kepada dunia agar sebanyak mungkin orang dapat diselamatkan (lih. 1Tim 2:4). Kita yang dibaptis, artinya adalah, kita telah digabungkan ke dalam kematian Kristus, agar kita dapat dibangkitkan bersama dengan Dia dan memperoleh hidup yang kekal yaitu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus (lih. Rom 6:3-11).[2]
Misteri Paska Kristus dihadirkan oleh Gereja, secara khusus melalui sakramen-sakramennya,[3] maka sakramen-sakramen ini merupakan tanda dan sarana yang dipilih oleh Tuhan untuk menyertai dan menguduskan umat-Nya. Jika dalam Perjanjian Lama penyertaan Tuhan dinyatakan dengan bagaimana Tuhan menguduskan umat-Nya melalui bermacam kurban – seperti: kurban bakaran, kurban sajian, kurban keselamatan, kurban penghapus dosa, dst (lih. Im 1-7) – betapa lebih sempurnanya Allah menguduskan umat pilihan-Nya yang baru, yaitu Gereja, dalam Perjanjian Baru. Allah menguduskan Gereja-Nya dengan kurban yang sempurna, yaitu Kristus, Putera-Nya sendiri. Jika dahulu dalam Perjanjian Lama, darah anak domba jantan dan lembu jantan dan percikan abunya dapat menguduskan bangsa Israel secara lahiriah, betapa lebih sempurna-nya darah Kristus sebagai kurban yang tak bercacat, akan menyucikan hati nurani kita (lih. Ibr 9:12-14). Oleh kuasa Roh Kudus yang mengatasi ruang dan waktu, kurban Kristus yang satu dan sama ini dihadirkan kembali secara sakramental; agar kita dapat memperoleh buah-buahnya[4] yaitu: persatuan kita dengan Kristus dikuatkan, kehidupan rahmat yang kita terima pada saat dibaptis ditingkatkan, kita dipisahkan dari dosa dan dikuatkan untuk menolak dosa, untuk berbuat kasih, untuk meninggalkan kebiasaan buruk dan dosa-dosa ringan, dan kita dipersatukan dengan sesama anggota Tubuh Kristus, serta kita didorong untuk memperhatikan kaum miskin.[5] Singkatnya, oleh kurban Kristus, Sang Anak Domba Allah, kita dikuduskan oleh Allah; sebab pengudusan kita adalah kehendak-Nya bagi kita (lih.1Tes 4:3).
5. Kekudusan, yaitu kasih kepada Tuhan dan kepada sesama, menjadi hukum yang terutama untuk diwartakan. Karena Allah adalah Kasih (1 Yoh 4:8, 16) maka sudah menjadi sifat Allah bahwa Ia mengasihi kita manusia. Kasihnya tidak berhenti hingga manusia dapat mengalaminya; melainkan lebih dari itu, yaitu hingga manusia dapat diubah untuk menjadi semakin mirip dengan Diri-Nya yang adalah Kasih itu sendiri. Panggilan terhadap kesempurnaan kasih, atau yang disebut sebagai kekudusan ini, adalah panggilan Allah yang ditujukan kepada semua orang.[6] Oleh karena itu, jika kita ingin turut menyebarkan Kabar Gembira, kita juga perlu menyampaikan panggilan ini: bahwa Allah begitu mengasihi kita, namun Allah tidak berhenti sampai di situ; Ia menghendaki kita untuk bertumbuh di dalam kasih dan kekudusan, sehingga kita dapat semakin menyerupai Dia.

Peran Gereja dalam membantu kita mewarta


Ajaran Gereja hanya ajaran manusia?

Pernahkah Anda mendengar celetukan, “Kalau saya mau memahami Kitab Suci, saya berdoa langsung pada Roh Kudus untuk memberi pengertian pada saya…. Lalu benar saja, saya mendapat pengertian baru. Saya nggak perlu belajar dari mana-mana, juga dari ajaran Gereja, karena ajaran Gereja kan ajaran manusia biasa….” Walau mungkin orang ini tidak bermaksud negatif, tetapi komentar semacam ini sesungguhnya mengandung praduga, bahwa seolah-olah Roh Kudus lebih menyatakan kebenaran kepadanya, daripada kepada Gereja. Sebagai pewarta Katolik, kita perlu waspada, agar jangan sampai kita bersikap seperti ini. Sebab Kristus sendiri yang berjanji akan menyertai Gereja-Nya -yang didirikan-Nya di atas Rasul Petrus- sampai akhir zaman; dan menjamin bahwa Gereja-Nya itu tidak akan sesat ataupun binasa (lih. Mat 16:18-19; 28:19-20) maka dengan kerendahan hati, mari kita mendengarkan ajaran Gereja, agar kita dapat sampai kepada pemahaman yang benar akan ajaran dan kehendak Tuhan. Sebab keseluruhan ajaran Kristus disampaikan kepada Gereja, yaitu yang dimulai dari para rasul, baik secara lisan maupun tulisan, yang kemudian diteruskan secara turun temurun oleh para penerus mereka; dan yang sampai sekarang dilestarikan oleh Gereja Katolik. Dengan demikian, kita tidak sepantasnya menganggap bahwa ajaran Gereja adalah semata ajaran manusia. Justru dalam banyak hal, ketika ada banyak orang yang sama-sama mengklaim ‘mendapat pencerahan Roh Kudus’ namun mengajarkan hal yang berbeda-beda untuk suatu topik ajaran yang sama, kita perlu dengan rendah hati mendengarkan penjelasan Gereja, agar kita dapat memperoleh jaminan, akan manakah ajaran yang benar atau yang mengandung kepenuhan kebenaran sebagaimana dikehendaki oleh Kristus yang adalah Sang Kebenaran itu sendiri (lih. Yoh 14:6).
Jangan kita lupa, iman Kristiani adalah iman yang tidak hanya berdasarkan buku, sebab yang kita ikuti bukanlah hanya hukum dan peraturan, tetapi Seorang Pribadi, yaitu Kristus, Sang Sabda Allah yang menjelma menjadi manusia (lih. Yoh 1:1, 14). Yesus sendiri tidak pernah menulis buku, tetapi mengajar secara lisan kepada para rasul dan para pengikut-Nya. Sebagian dari ajaran Yesus secara lisan inilah, bersama dengan kejadian-kejadian seputar hidup Yesus, yang kemudian dituliskan dalam kitab Injil, baik oleh rasul-Nya (Matius dan Yohanes), maupun oleh murid dari rasul-rasul-Nya (Markus yang adalah murid Rasul Petrus, dan Lukas yang adalah murid Rasul Paulus). Melihat kenyataan ini, selayaknya kita memiliki penghargaan terhadap pengajaran para rasul dan para penerus mereka -yaitu Gereja- sebab dari merekalah kita memperoleh Injil. Sudah sepantasnya, kita mempunyai sikap seperti jemaat di Tesalonika, yang menerima pengajaran para rasul sebagai ajaran Tuhan, dan bukan sebagai ajaran manusia belaka (lih. 1 Tes 2:13).

St. Agustinus: “Jadilah gembala yang menyuarakan ajaran dari Satu Gembala”

Dalam salah satu khotbahnya,[7] St. Agustinus mengajarkan bahwa semua gembala yang baik adalah mereka semua yang berada dalam kesatuan dengan Satu Gembala, yaitu Kristus. Walaupun ada banyak gembala, namun mereka janganlah sampai terpecah belah; sebab Kristus mengajarkan bahwa hanya ada satu Gembala, sebab kesatuan dalam satu Gembala itu-lah yang menjadi perintah-Nya. Itulah sebabnya Kristus mendirikan Gereja-Nya di atas Rasul Petrus, dan dengan menunjuk Rasul Petrus, Kristus memerintahkan kesatuan. Ada banyak rasul, namun hanya kepada seorang [Petrus], Kristus mengatakan, “Gembalakanlah domba-domba-Ku”. Semoga kita tidak pernah kekurangan gembala-gembala yang baik. Semua gembala yang baik adalah gembala yang ada dalam kesatuan dengan Gembala yang satu, dan dalam pengertian ini, maka mereka bukan banyak tetapi hanya satu. Ketika mereka sedang menggembalakan domba, maka Kristus sendirilah yang menggembalakan domba, sebab dengan suara Kristuslah mereka berbicara dan dengan kasih Kristuslah mereka mengasihi kawanan dombanya. Jadi meskipun Kristus mempercayakan domba-domba-Nya kepada Rasul Petrus, Kristus sesungguhnya membuat Rasul Petrus menjadi satu dengan-Nya. Ia mempercayakan kawanan domba-Nya kepada Rasul Petrus, supaya Ia sendirilah yang menjadi Kepala, dan Rasul Petrus -sebagaimana mewakili tubuh-Nya yaitu Gereja-  seperti seumpama mempelai pria dan mempelai wanita, yang walaupun dua menjadi satu tubuh.
Sebelum Yesus mempercayakan tugas penggembalaan kepada Petrus, Ia terlebih dahulu bertanya -bahkan sampai tiga kali- kepada Petrus, “Apakah engkau mengasihi Aku?” Dan Petrus menjawab, “Ya, aku mengasihi Engkau” (lih. Yoh 21:15-19). Maka kasih menjadi pondasi kesatuan. Kristus Sang Gembala Agung, menggembalakan domba-domba-Nya di dalam diri banyak gembala, dan para gembala itu, menggembalakan domba-domba itu di dalam Dia, yang adalah Sang Gembala yang satu. Sebab menggembalakan domba-domba bagi Kristus adalah menggembalakan mereka di dalam Kristus, dan bukan untuk menggembalakan terpisah dari Kristus sendiri.
Maka biarlah para gembala semua berada di dalam Gembala yang satu dan memberitakan suara Gembala yang satu itu. Biarlah setiap gembala menyuarakan satu suara di dalam Kristus dan tidak dengan banyak suara. Aku memohon kepadamu saudara-saudariku: kamu semuanya, katakanlah sesuatu yang sama, dan jangan sampai ada perpecahan di antara kamu. Semoga suara itu bersih dari segala perpecahan dan bebas dari segala kesalahan, dan menjadi suara yang didengarkan oleh para domba, sebagaimana mereka mengikuti Sang Gembala Agung yang berkata, “Domba-dombaku-Ku mendengarkan Aku dan mengikuti Aku.”

Barangsiapa mewartakan ajaran Gereja, mewartakan ajaran Kristus

Walaupun tugas utama mengajar umat Tuhan dipegang oleh para gembala (baik Paus, Uskup maupun para imam) namun dewasa ini, para awam Katolik juga mengambil bagian di dalamnya, entah sebagai katekis ataupun sebagai pewarta sabda Tuhan. Ini diizinkan sebab melalui Pembaptisan, kita semua mengambil bagian di dalam ketiga misi Kristus, baik sebagai imam, nabi maupun raja.[8] Tentu peran kita sebagai awam tidak pernah dapat menggantikan peran para imam tertahbis. Namun dalam tugas pewartaan, prinsipnya tetap sama, yaitu kita semua dipanggil untuk mewarta dalam kesatuan dengan ajaran Gereja, yang telah dipercaya oleh Kristus untuk mengajar. Dalam mewartakan pengajaran, kita tidak dapat mengandalkan pemahaman kita sendiri -walaupun kita yakin Roh Kudus membimbing kita- namun kita perlu dan bahkan harus memperhatikan ajaran Gereja Katolik. Sebab di dalam Gereja Katolik-lah kita percaya Roh Kudus bekerja, untuk menjaga kesatuan dan keberadaan Gereja sampai sekitar 2000 tahun; dengan mengajarkan ajaran yang sama sejak zaman Kristus, para rasul, para penerus mereka, sampai sekarang. Hal ini hanya mungkin terjadi karena Roh Kudus selalu menyertai Gereja, sebagaimana yang dijanjikan oleh Kristus sendiri (lih. Mat 28:19-20). Ajaran Gereja yang tidak berubah ini juga menyatakan otentisitasnya sebagai ajaran Kristus, sebab Kristus sendiri tetap sama, dahulu sekarang dan selamanya (lih. Ibr 13:8).

Ajaran Gereja adalah Injil atas Dasar Tiga Pilar

Ya, Allah memberitahukan rencana keselamatan-Nya yang tiada berubah ini kepada manusia melalui Sabda-Nya, yang adalah Kabar Gembira (Injil) bagi kita manusia. Injil inilah yang disampaikan oleh Kristus dan para rasul dengan dua cara, yaitu secara lisan dan tertulis, untuk diteruskan kepada kita, anggota-anggota Gereja-Nya. Para rasul mewartakan secara lisan apa yang mereka terima dari Kristus, entah dari perbuatan Kristus ataupun dari percakapan dengan-Nya, ataupun dari dorongan Roh Kudus. Selain itu, para rasul dan tokoh-tokoh rasuli atas ilham Roh Kudus menuliskan amanat keselamatan tersebut untuk dijadikan buku.[9] Hasil penulisan amanat Allah tersebut dikenal sebagai Kitab Suci. Nah, supaya pesan Injil ini dapat diturunkan secara utuh dan hidup di dalam Gereja, para rasul menunjuk uskup-uskup untuk menggantikan mereka dan menyerahkan kepada mereka kedudukan untuk mengajar. Penerusan ajaran Injil ini, yang terjadi di bawah kuasa Roh Kudus, disebut sebagai Tradisi Suci. Sedangkan para penerus rasul yang mendapat wewenang mengajar dari para rasul ini disebut sebagai Magisterium. Magisterium bertugas untuk menginterpretasikan ajaran Injil sesuai dengan maksud aslinya dan meneruskannya kepada seluruh Gereja. Jadi Allah berkarya di dalam ketiga hal ini, yaitu Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium, untuk menjamin kemurnian penurunan wahyu kudus-Nya. Peran Magisterium ini ibaratnya sebagai peran wasit dalam sebuah pertandingan sepak bola. Sebagaimana wasit tidak menciptakan peraturan pertandingan melainkan hanya memastikan peraturan tersebut ditaati, demikian juga Magisterium tidak mengatasi Kitab Suci maupun Tradisi Suci, namun hanya memberikan panduan agar Kitab Suci dan Tradisi Suci sungguh ditaati dan dipahami sebagaimana mestinya.
Jelaslah bahwa Tradisi Suci dan Kitab Suci ini berhubungan sangat erat dan terpadu, sebab keduanya berasal dari Allah, dan keduanya menghadirkan misteri Kristus di dalam Gereja, yang mendatangkan buah keselamatan.[10] Hanya dengan perpaduan Tradisi Suci dan Kitab Suci, kita memperoleh gambaran yang lengkap tentang Sabda/ wahyu  Allah. Dalam hal ini, Magisterium memegang peran yang sangat penting dan tak terpisahkan dari Kitab Suci dan Tradisi Suci, karena Magisterium berperan untuk menjamin pengertian yang benar terhadap wahyu Allah tersebut. Oleh karena itu, Allah menganugerahkan kurnia ‘infallibility‘/ ‘tidak mungkin sesat’ kepada Magisterium (lih. Mat 16:18-19; 18:18), yaitu Paus dan para uskup dalam persekutuan dengannya, untuk dapat mengartikan dan melestarikan wahyu Allah itu dan mengajarkannya kepada Gereja.[11]
Katekismus Gereja Katolik merupakan ajaran resmi Gereja Katolik,[12] yang memaparkan ajaran iman Katolik berdasarkan ketiga pilar tersebut, yaitu Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium (wewenang mengajar Gereja). Dengan demikian adalah sesuatu yang baik untuk dilakukan oleh setiap pewarta Katolik untuk membaca dan mempelajari apa yang diajarkan dalam Katekismus Gereja Katolik; agar dapat menjadi semakin akrab dengan ajaran Gereja, sebagaimana yang dikehendaki Kristus.

1. Tradisi Suci

Tradisi Suci adalah Tradisi yang berasal dari para rasul yang meneruskan apa yang mereka terima dari ajaran dan contoh Yesus dan bimbingan dari Roh Kudus. Oleh Tradisi Suci, Sabda Allah yang dipercayakan Yesus kepada para rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya dalam pewartaannya, mereka memelihara, menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia.[13] Maka Tradisi Suci ini bukan tradisi manusia yang hanya merupakan ‘adat kebiasaan’. Dalam hal ini, perlu kita ketahui bahwa Yesus tidak pernah mengecam seluruh adat kebiasaan manusia, Ia hanya mengecam adat kebiasaan yang bertentangan dengan perintah Tuhan (Mrk 7:8).
Jadi, Tradisi Suci dan Kitab Suci tidak akan pernah bertentangan. Pengajaran para rasul, seperti ajaran tentang Allah Tritunggal, Api penyucian, keperawanan Maria, telah sangat jelas diajarkan melalui Tradisi Suci dan tidak bertentangan dengan Kitab Suci, meskipun hal-hal itu tidak disebutkan secara eksplisit di dalam Kitab Suci. Janganlah kita lupa, bahwa Kitab Suci sendiri mengajarkan agar kita memegang teguh Tradisi yang disampaikan kepada kita secara lisan ataupun tertulis (2Tes 2:15, 1Kor 11:2).
Juga perlu kita ketahui bahwa Tradisi Suci bukanlah kebiasaan-kebiasaan seperti doa rosario ataupun berpuasa setiap hari Jumat. Walaupun semua kebiasaan tersebut baik, namun hal-hal tersebut bukanlah doktrin. Tradisi Suci meneruskan doktrin yang diajarkan oleh Yesus kepada para rasul-Nya yang kemudian diteruskan kepada Gereja di bawah kepemimpinan penerus para rasul, yaitu para Paus dan uskup.

2. Kitab Suci

Allah memberi inspirasi kepada manusia yaitu para penulis suci yang dipilih Allah untuk menuliskan kebenaran. Allah melalui Roh Kudus-Nya berkarya dalam dan melalui para penulis suci tersebut, dengan menggunakan kemampuan dan kecakapan mereka. “Oleh sebab itu, segala sesuatu yang dinyatakan oleh para pengarang yang diilhami tersebut, harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus.”[14] Jadi jelaslah bahwa Kitab Suci yang mencakup Perjanjian Lama dan Baru adalah tulisan yang diilhami oleh Allah sendiri (2Tim 3:16). Kitab-kitab tersebut mengajarkan kebenaran dengan teguh dan setia, dan tidak mungkin keliru. Karena itu, Allah menghendaki agar kitab-kitab tersebut dicantumkan dalam Kitab Suci demi keselamatan kita.[15]
Mungkin ada orang Kristen yang berkata, bahwa sumber ajaran mereka diperoleh melalui Kitab Suci saja. Namun, sejujurnya, hal itu tidak pernah diajarkan oleh Kitab Suci itu sendiri. Seperti telah disebut di atas, Kitab Suci mengajarkan pentingnya agar jemaat berpegang kepada ajaran lisan para rasul, di samping ajaran yang tertulis (lih. 2 Tes 2:15). Selanjutnya dikatakan bahwa Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak pribadi (2Pet 1:20-21), sebab ada kemungkinan dapat diartikan keliru (2Pet 3:15-16). Gereja pada abad-abad awal juga tidak menerapkan teori ‘hanya Kitab Suci’. Teori ini, atau yang umum dikenal dengan istilah ‘Sola Scriptura’ adalah salah satu inti dari pengajaran di zaman Reformasi Protestan pada tahun 1500-an, yang jika kita teliti, malah tidak berdasarkan Kitab Suci.
Pada kenyataannya, Kitab Suci tidak dapat diinterpretasikan sendiri-sendiri, karena dapat menghasilkan pengertian yang berbeda-beda. Sejarah membuktikan hal ini, di mana dalam setiap tahun timbul berbagai gereja baru yang sama-sama mengklaim “Sola Scriptura” dan mendapat ilham dari Roh Kudus. [Ini adalah suatu kenyataan yang memprihatinkan, yang secara obyektif tidak sesuai dengan ajaran St. Agustinus, yang mengajarkan pentingnya para pengajar untuk mengajar dengan satu suara, yang bersumber pada ajaran Kristus Sang Gembala yang satu, yang telah mengajar di dalam diri Rasul Petrus dan para penerusnya]. Jika kita percaya bahwa Roh Kudus tidak mungkin menjadi penyebab perpecahan (lih. 1Kor 14: 33) dan Allah tidak mungkin menyebabkan pertentangan dalam hal iman, maka kesimpulan kita adalah: “Sola Scriptura” itu teori yang keliru.

3. Magisterium (Wewenang mengajar) Gereja

Dari uraian di atas, kita mengetahui pentingnya peran Magisterium yang “bertugas untuk menafsirkan secara otentik Sabda Allah yang tertulis atau diturunkan itu yang kewibawaannya dilaksanakan dalam nama Yesus Kristus.”[16] Maka Magisterium tidak berada di atas Sabda Allah, melainkan melayaninya, supaya dapat diturunkan sesuai dengan yang seharusnya. Oleh kuasa Roh Kudus, Magisterium yang terdiri dari Bapa Paus dan para uskup pembantunya -yang dalam kesatuan dengan Bapa Paus-  menjaga dan melindungi Sabda Allah dari interpretasi yang salah.[17]
Kita perlu mengingat bahwa Gereja sudah ada terlebih dahulu sebelum keberadaan kitab-kitab Perjanjian Baru. Para pengarang/ penulis suci dari kitab-kitab tersebut adalah para anggota Gereja yang diilhami oleh Roh Kudus, sama seperti para penulis suci yang menuliskan kitab-kitab Perjanjian Lama. Magisterium yang dibimbing oleh Roh Kudus yang sama, diberi kuasa untuk meng-interpretasikan kedua Kitab Perjanjian tersebut dengan benar.
Jelaslah bahwa Magisterium sangat diperlukan untuk memahami seluruh isi Kitab Suci. Karunia mengajar yang ‘infallible‘ (tidak mungkin sesat) itu diberikan kepada Magisterium pada saat mereka mengajarkan secara resmi doktrin-doktrin Gereja. Karunia ini adalah pemenuhan janji Kritus untuk mengutus Roh KudusNya untuk memimpin para rasul dan para penerus mereka kepada seluruh kebenaran (Yoh 16:12-13).

Sekilas prinsip yang diajarkan oleh Gereja untuk mengartikan Kitab Suci


1. Tiga kriteria yang diajarkan oleh Konsili Vatikan II

Konsili Vatikan II mengajarkan tiga cara umum untuk menafsirkan Kitab Suci sesuai dengan Roh Kudus yang mengilhaminya[18], yaitu: (a) Memperhatikan isi dan kesatuan seluruh Kitab Suci.; (b) Membaca Kitab Suci dalam terang Tradisi hidup seluruh Gereja; (c) Memperhatikan “analogi iman”.

a. Memperhatikan isi dan kesatuan seluruh Kitab Suci

Pernahkah Anda membaca novel, namun hanya membaca bagian akhirnya saja? Walaupun mungkin Anda dapat menangkap bagian yang terpenting dari kisah tersebut, namun tentu, kisah tersebut akan lebih dapat dipahami, jika Anda membaca buku tersebut mulai dari bagian awal. Demikianlah halnya dengan Kitab Suci yang merupakan Sabda Allah yang dituliskan, tentang rencana keselamatan Allah yang dimulai sejak awal mula penciptaan dunia, sampai penggenapannya di dalam diri Kristus. Untuk memahami makna suatu ayat dalam Kitab Suci, kita perlu memperhatikan keterkaitannya dengan keseluruhan ajaran Kitab Suci.
Oleh karena itu, untuk mempelajari Kitab Suci, kita perlu melihat kaitan antara Perjanjian Lama (sebelum kedatangan Kristus) dan Perjanjian Baru (saat dan setelah kedatangan Kristus), dan antara ayat yang satu dengan ayat yang lainnya, untuk mendapat pengertian yang menyeluruh dan pemahaman yang benar akan Sabda Allah itu. Perjanjian Lama yang melatar-belakangi Perjanjian Baru, merupakan satu kesatuan dengan Perjanjian Baru. Sebab “Perjanjian Baru terselubung dalam Perjanjian Lama, sedangkan Perjanjian Lama tersingkap dalam Perjanjian Baru.”[19] Sama seperti suatu kisah tidak akan lengkap jika hanya dibaca awalnya saja, atau akhirnya saja, tanpa memperhatikan kaitannya, demikian juga Kitab Suci hanya akan dapat kita pahami secara menyeluruh dalam kesatuan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dan dalam kaitan antara satu ayat dengan ayat yang lain.
Jadi, kita harus mengartikan ayat tertentu dalam Kitab Suci dalam kaitannya dengan pesan Kitab Suci secara keseluruhan. Mengartikan satu paragraf atau bahkan satu kalimat saja namun tidak memperhatikan kaitannya dengan ayat yang lain, dapat berakibat fatal. Contohnya, seorang atheis mengutip Mzm 14:1, dan berkata “Tidak ada Allah”. Tetapi sebenarnya, keseluruhan kalimat itu berkata, “Orang bebal berkata dalam hatinya: “Tidak ada Allah”. Maka arti yang disampaikan dalam Kitab Suci tentu sangat berbeda dengan pengertian orang atheis tersebut.
Demikian juga, penting bagi kita untuk melihat kejadian-kejadian ataupun tokoh-tokoh dalam Perjanjian Lama yang merupakan figur/ gambaran dari penggenapannya dalam Perjanjian Baru. Berikut ini adalah contohnya:
- Adam (PL) dibandingkan dengan Kristus sebagai Adam yang baru (PB);
- Hawa (PL) dibandingkan dengan Bunda Maria sebagai Hawa yang baru (PB);
- Tabut Perjanjian Lama yang berisi dua loh batu 10 perintah Allah, kitab Taurat Musa, tongkat imamat Harun dan roti manna (PL) merupakan gambaran dari Tabut Perjanjian Baru yaitu Bunda Maria (PB) yang mengandung Kristus Sang Sabda yang menjelma menjadi manusia, Sang Roti Hidup, Sang Imam Agung tertinggi.
- Imam Agung Melkisedek, Raja Salem (PL), menjadi gambaran Kristus yang adalah Imam Agung Tertinggi, Raja Damai (PB).
- Eliyakim yang diberikan kunci kerajaan Daud, sebagai pemimpin rumah tangga kerajaan Daud (PL) menjadi gambaran dari Rasul Petrus, yang diberikan kunci Kerajaan Surga oleh Kristus Sang Raja keturunan Daud, sebagai pemimpin Gereja-Nya (PB).
Hubungan penggambaran/ tipologi ini juga terlihat dalam kejadian-kejadian berikut ini:
- Penyertaan Allah atas bangsa Israel ke Tanah Perjanjian (PL) menggambarkan penyertaan Allah atas bangsa pilihan Allah yaitu Gereja-Nya ke Surga (PB).
- Pemeliharaan Allah atas umat Israel di padang gurun yang dinyatakan dengan menjatuhkan roti manna dari langit (PL) dan pemeliharaan Allah atas Gereja-Nya dinyatakan dengan Ekaristi di mana Kristus Sang Roti Hidup hadir dalam rupa hosti kudus (PB).
- Bahtera Nuh (PL) menggambarkan keselamatan dengan Baptisan (PB) (lih. 1 Pet. 3:18-22, KGK 1219)
- Penyeberangan Laut Merah yang membebaskan bangsa Israel dari perbudakan (PL) menggambarkan Pembaptisan yang membebaskan seseorang dari perbudakan dosa. (lih. KGK 1221).
- Perjamuan Paskah adalah gambaran dari kurban Kristus (lih. 1 Kor. 5:7).
- Sunat dianggap sebagai gambaran dari Pembaptisan (lih. Kol. 2:11-12).
- Penyeberangan sungai Yordan yang menghantar bangsa Israel ke Tanah Perjanjian (PL) merupakan gambaran dari janji kehidupan kekal yang dimulai dari Baptisan (PB) (lih. KGK 1222).
- Pergulatan Yakub dengan Allah (PL) menggambarkan Pentakosta (PB), seperti pernah dibahas di sini, http://katolisitas.org/2009/12/19/pergulatan-yakub-dengan-allah-menggambarkan-pentakosta/.
- Kisah cinta Kidung Agung (PL) menggambarkan Inkarnasi (PB), seperti pernah dibahas di sini, http://katolisitas.org/2009/12/14/kidung-agung-81-3-menceritakan-inkarnasi-kristus/.
- Yesus menggunakan analogi ular tembaga yang ditinggikan, sebagai gambaran akan penyaliban-Nya di atas bukit (Yoh 3:14; lih. Bil 21:8-9).

b. Membaca Kitab Suci dalam terang Tradisi hidup seluruh Gereja

Banyak ahli Kitab Suci di zaman modern yang tidak mengindahkan interpretasi yang berakar dari Tradisi Gereja. Mereka berpikir seolah-olah baru pada saat mereka menginterpretasikan Kitab Suci, Roh Kudus memberikan pengertian yang paling “asli”, sedang interpretasi pada abad- abad yang lalu itu keliru. Sikap ini tentunya tidak mencerminkan kerendahan hati. Gereja mengajarkan bahwa kita harus menginterpretasikan Kitab Suci sesuai dengan Tradisi hidup seluruh Gereja, sebab “Kitab suci lebih dulu ditulis di dalam hati Gereja daripada di atas pergamen (kertas dari kulit)”.[20] Di dalam Tradisi Suci inilah Roh Kudus menyatakan kenangan yang hidup tentang Sabda Allah dan interpretasi spiritual dari Kitab Suci. Tradisi Suci tercermin dari tulisan Para Bapa Gereja, dan ajaran- ajaran definitif yang ditetapkan oleh Magisterium, seperti yang dihasilkan dalam Konsili-konsili, Bapa Paus maupun yang dijabarkan dalam ajaran Gereja.

c. Memperhatikan “analogi iman”

Analogi iman maksudnya adalah bahwa wahyu Allah berisi kebenaran- kebenaran yang konsisten dan tidak bertentangan satu sama lain. Gereja Katolik percaya bahwa Roh Kudus yang meng-inspirasikan Kitab Suci adalah Roh Kudus yang sama, yang membimbing dan menjaga wewenang mengajar Gereja (Magisterium), yang juga bekerja dalam Tradisi Suci Gereja. Maka tidak mungkin ajaran Gereja Katolik bertentangan dengan Kitab Suci, karena Roh Kudus tidak mungkin bertentangan dengan diri-Nya sendiri. Juga, karena Gereja menjaga kemurnian ajaran dalam Kitab Suci, maka untuk meng-interpretasikan Kitab Suci, kita harus melihat kaitannya dengan ajaran/ doktrin Gereja.
Analogi iman yang berdasarkan ajaran Gereja berperan sebagai “penjaga” yang membantu kita agar kita tidak sampai salah jalan dalam meng-interpretasikan Kitab Suci. Ibaratnya, seperti pagar yang membatasi rumah kita dengan dunia luar yang penuh dengan anjing galak. Di dalam halaman rumah, kita tetap dapat beraktivitas, anak-anak dapat bermain dengan bebas, namun aman dari bahaya. Maka dengan berpegang pada ajaran Gereja, kita tetap mempunyai kebebasan dalam menginterpretasikan ayat-ayat Kitab Suci, namun kita dapat yakin bahwa interpretasi kita tidak salah, ataupun tidak bertentangan dengan kebenaran yang diwahyukan. Keyakinan ini merupakan karunia yang diberikan kepada kita, jika kita setia berpegang pada pengajaran Gereja yang disampaikan oleh Magisterium (Wewenang mengajar Gereja). Magisterium inilah yang bertugas menginterpretasikan Sabda Allah dengan otentik, baik yang tertulis (Kitab Suci) maupun yang lisan (Tradisi Suci), dengan wewenang yang dilakukan dalam nama Tuhan Yesus[21] agar Sabda itu dapat diteruskan sesuai dengan yang diterima oleh para rasul.

2. Empat prinsip untuk menginterpretasikan Kitab Suci dengan memperhatikan kedua macam arti Kitab Suci

Untuk memahami kekayaan makna Kitab Suci, kita perlu memahami bahwa ayat-ayat Kitab Suci mempunyai dua macam arti, yaitu arti literal/ harafiah dan arti spiritual/rohaniah. Kemudian arti rohaniah ini terbagi menjadi 3 macam, yaitu: alegoris, moral dan anagogis.[22] Pepatah yang berasal dari Abad Pertengahan tentang ke-empat arti Kitab Suci, adalah: “Huruf [dari kata letter/ literal] mengajarkan kejadian; apa yang harus kau percaya, alegori; apa yang harus kau lakukan, moral; ke mana kau harus berjalan, anagogi.”[23]
Ke-empat macam arti ini secara jelas menghubungkan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

a. Arti literal/ harafiah

Arti harafiah adalah arti yang berdasarkan atas penuturan teks yang ada secara tepat. Mengikuti ajaran St. Thomas Aquinas, kita harus berpegang bahwa, “Tiap arti [Kitab Suci] berakar di dalam arti harafiah.”[24] Jadi dalam membaca Kitab suci, kita harus mengerti akan arti kata-kata yang dimaksud secara harafiah yang ingin disampaikan oleh pengarangnya, baru kemudian kita melihat apakah ada maksud rohani yang lain. Arti rohani ini timbul berdasarkan arti harafiah.

b. Arti alegoris

Arti alegoris adalah arti yang lebih mendalam yang diperoleh dari suatu kejadian, jika kita menghubungkan peristiwa tersebut dengan Kristus. Contohnya:
  1. Penyeberangan bangsa Israel melintasi Laut Merah adalah tanda kemenangan yang diperoleh umat beriman melalui Pembaptisan (lih.Kel 14:13-31; 1Kor 10:2).
  2. Kurban anak domba Paska di Perjanjian Lama merupakan gambaran kurban Yesus Sang Anak Domba Allah pada Perjanjian Baru (Kel 12: 21-28; 1 Kor 5:7).
  3. Abraham yang rela mengurbankan anaknya Ishak adalah gambaran dari Allah Bapa yang rela mengurbankan Yesus Kristus Putera-Nya (Kej 22: 16; Rom 8:32).
  4. Tabut Perjanjian Lama adalah gambaran dari Bunda Maria, Sang Tabut Perjanjian Baru. Karena pada tabut Perjanjian Lama tersimpan dua loh batu kesepuluh perintah Allah (Kel 25:16), roti manna (Kel 25:30), tongkat Harun sang imam (Ibr 9:4); sedangkan pada rahim Maria Sang Tabut Perjanjian Baru tersimpan Sang Sabda yang menjadi manusia (Yoh 1:14), Sang Roti Hidup (Yoh 6:35), Sang Imam Agung (Ibr 8:1).

c. Arti moral

Arti moral adalah arti yang mengacu kepada hal-hal yang baik yang ingin disampaikan melalui kejadian-kejadian di dalam Kitab Suci. Hal-hal itu ditulis sebagai “contoh bagi kita …sebagai peringatan” (1 Kor 10:11).
  1. Ajaran Yesus agar kita duduk di tempat yang paling rendah jika diundang ke pesta (Luk 14:10), maksudnya adalah agar kita berusaha menjadi rendah hati.
  2. Peringatan Yesus yang mengatakan bahwa ukuran yang kita pakai akan diukurkan kepada kita (Mrk 4: 24) maksudnya agar kita tidak lekas menghakimi orang lain.
  3. Melalui mukjizat Yesus menyembuhkan dua orang buta, yang berteriak-teriak, “Yesus, Anak Daud, kasihanilah kami!” (Mat 20: 29-34) Yesus mengajarkan agar kita tidak lekas menyerah dalam doa permohonan kita.

d. Arti anagogis

Arti anagogis adalah arti yang menunjuk kepada surga sebagai ‘tanah air abadi’. Contohnya adalah:
  1. Gereja di dunia ini melambangkan Yerusalem surgawi (lih. Why 21:1-22:5).
  2. Surga adalah tempat di mana Allah akan menghapuskan setiap titik air mata (Why 7:17).

e. Contoh interpretasi yang melibatkan 4 arti:

Maka semua kejadian di dalam Kitab Suci memiliki makna harafiah, walaupun dapat mengandung arti rohaniah juga. Salah satu contoh interpretasi Kitab Suci dengan menggunakan ke-4 prinsip adalah kisah Allah menurunkan roti manna di padang gurun (Kel 16).[25]
  1. Secara harafiah, memang Allah memberi makan bangsa Israel dengan manna yang turun dari langit selama 40 tahun saat mereka mengembara di padang gurun.
  2. Secara alegoris, roti manna menjadi gambaran Ekaristi, di mana Yesus sebagai Roti Hidup adalah Roti yang turun dari surga (Yoh 6:51), menjadi santapan rohani kita umat beriman yang masih berziarah di dunia ini.
  3. Secara moral, kisah ini mengajarkan kita untuk tidak cepat mengeluh dan bersungut-sungut (Kel 16:2-3) kepada Allah. Umat Israel yang bersungut-sungut akhirnya dihukum Allah sehingga tak ada dari generasi mereka yang dapat masuk ke tanah terjanji (selain Yoshua dan Kaleb).
  4. Secara anagogis, kita diingatkan bahwa seperti roti manna yang berhenti diturunkan setelah bangsa Israel masuk ke Tanah Kanaan, maka Ekaristipun akan berakhir pada saat kita masuk Surga, yaitu saat kita melihat Tuhan dalam keadaan yang sebenarnya (1 Yoh 3:2).

3. Memperhatikan gaya bahasa, cara penyusunan dan budaya penulis kitab

Kitab Suci merupakan Sabda Allah yang disampaikan melalui tulisan penulis kitab yang ditunjuk oleh Allah untuk menuliskan hanya yang diinginkan oleh Tuhan.[26] Namun demikian, penulisan ini melibatkan juga kemampuan sang penulis dalam hal gaya bahasa, cara penyusunan, latar belakang budayanya, dst. Maka jika kita ingin memahami Kitab Suci, kita perlu mengetahui “situasi zaman dan kebudayaan mereka, jenis sastra yang biasa pada waktu itu, serta cara berpikir, berbicara, dan berceritera yang umumnya digunakan pada zaman teks tertentu ditulis.”[27] Sebab kebenaran dalam Kitab Suci disampaikan dengan beragam cara, entah itu bersifat historis, nubuat ataupun puisi, atau karya sastra lainnya.
Seperti halnya pada karya tulis pada umumnya, peran gaya bahasa adalah sangat penting. Demikian juga pada Kitab Suci, sebab Allah berbicara pada kita dengan menggunakan bahasa manusia. Maka kita perlu memahami gaya bahasa yang digunakan, agar dapat lebih memahami isinya. Secara umum, gaya bahasa yang digunakan dalam Kitab Suci sebenarnya tidaklah rumit, sehingga orang kebanyakan dapat menangkap maksudnya. Dalam hampir semua perikop Kitab Suci, sebenarnya cukup jelas, apakah pengarang Injil sedang membicarakan hal yang harafiah atau yang rohaniah. Namun ada kekecualian pada perikop-perikop tertentu, sehingga kita perlu mengetahui beberapa prinsipnya:[28]
  1. Simili: adalah perbandingan langsung antara kedua hal yang tidak serupa. Misalnya, pada kitab Dan 2:40, digambarkan kerajaan yang ke-empat ‘yang keras seperti besi’, maksudnya adalah kekuatan kerajaan tersebut, yang dapat menghancurkan kerajaan lainnya.
  2. Metafor: adalah perbandingan tidak langsung dengan mengambil sumber sifat-sifat yang satu dan menerapkannya pada yang lain. Contohnya, “Jiwaku haus kepada Allah Yang hidup” (Mzm 42:3). Sesungguhnya, jiwa yang adalah rohani tidak mungkin bisa haus, seperti tubuh haus ingin minum. Jadi ungkapan ini merupakan metafor untuk menjelaskan kerinduan jiwa kepada Allah.
  3. Bahasa perkiraan: adalah penggambaran perkiraan, seperti jika dikatakan pembulatan angka-angka perkiraan. Misalnya,“Yesus memberi makan kepada lima ribu orang laki-laki” (Mat 14: 21; Mrk 6:44; Luk 9:14; Yoh 6:10) dapat berarti kurang lebih 5000 orang, dapat kurang atau lebih beberapa puluh.
  4. Bahasa fenomenologi: adalah penggambaran sesuatu seperti yang nampak, dan bukannya seperti mereka adanya. Kita mengatakan ‘matahari terbit’ dan ‘matahari terbenam’, meskipun kita mengetahui bahwa kedua hal tersebut merupakan akibat dari perputaran bumi. Demikian juga dengan ucapan bahwa ‘matahari tidak bergerak’ (Yos 10: 13-14).
  5. Personifikasi/ antropomorfis : adalah pemberian sifat-sifat manusia kepada sesuatu yang bukan manusia. Contohnya adalah ungkapan ‘wajah Tuhan’ atau ‘tangan Tuhan’ (Kel 33: 20-23), meskipun kita mengetahui bahwa Tuhan adalah Allah adalah Roh (Yoh 4:24) sehingga tidak terdiri dari bagian-bagian tertentu.
  6. Hiperbolisme: adalah pernyataan dengan penekanan efek yang besar, sehingga kekecualian tidak terucapkan. Contohnya adalah ucapan rasul Paulus, “Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rom 3:23); di sini tidak termasuk Yesus, yang walaupun Tuhan juga sungguh-sungguh manusia dan juga tidak termasuk Bunda Maria yang walaupun manusia tetapi sudah dikuduskan Allah sejak dalam kandungan (tanpa dosa asal).
Ayat ini sering dikutip oleh umat Kristen non- Katolik untuk menyatakan bahwa semua orang berdosa, termasuk Bunda Maria. Namun sebenarnya kita perlu melihat konteksnya. Sebelum Rom 3:23, di ayat 9 dan 10 Rasul Paulus mengatakan, “mereka semua [baik orang yahudi maupun Yunani] ada di bawah kuasa dosa, seperti ada tertulis: “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak.” Sebenarnya di sini Rasul Paulus mengutip Mazmur 14, khususnya ayat 3, “Mereka semua telah menyeleweng, semuanya telah bejat; tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak.” Mazmur 14 ini ditulis Raja Daud yang menyampaikan ratapannya tentang besarnya pemberontakan bangsa Israel. Sebab musuh Raja Daud pada saat Mazmur itu ditulis, tidak lagi hanya bangsa-bangsa non Yahudi, tetapi bangsa Yahudi itu sendiri, bahkan orang terdekat dan anggota keluarganya sendiri, Saul dan Absolom. Maka Raja Daud menggunakan kata “semua” adalah dalam konteks menyatakan semua golongan, baik Yahudi maupun non Yahudi- dan bukan bermaksud untuk menyatakan semua orang. Jadi di sini digunakan gaya bahasa hiperbolisme. Kita ketahui demikian, karena segera sesudah menyebutkan “semua orang melakukan kejahatan”, Raja Daud menyebutkan “umat-Ku” (ay. 4) dan “angkatan yang benar” (ay.5). Kalau semua orang (dalam arti setiap orang tanpa kecuali) adalah jahat seperti yang disebutkan pada ayat 3 tersebut, siapa yang disebut Raja Daud sebagai “angkatan yang benar” tersebut? Sama konteksnya dengan perkataan Raja Daud, Rasul Paulus juga mengatakan “semua” dalam ayat Rom 3:23 dalam arti semua golongan telah berdosa terhadap Tuhan, tidak hanya orang-orang non- Yahudi, namun orang Yahudi juga (lih. Rom 3:9). Jadi yang ingin disampaikan di sini adalah, tidak adanya perbedaan antara orang yang bersunat dan tidak bersunat, kedua kelompok itu mempunyai dosa- dosa yang dilakukan oleh pribadi- pribadi di dalamnya, dan keduanya memerlukan kasih karunia Allah untuk dibenarkan di dalam iman akan Yesus Kristus.
Jadi perikop ini tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa “semua orang telah berbuat dosa” dalam arti mutlak. Sebab Yesus adalah perkecualiannya, dan anak- anak yang di bawah umur (under the age of reason) juga demikian. Gereja Katolik mengajarkan bahwa Bunda Maria juga termasuk kekecualian dalam hal ini. Dengan demikian, gaya bahasa yang digunakan di sini adalah hiperbolisme, dengan pesan utama yang hendak disampaikan, bahwa secara umum manusia dari segala golongan, telah berbuat dosa.
Selanjutnya, tentang gaya bahasa dalam Kitab Suci, ada juga kekecualian pada keadaan-keadaan berikut:
1. Jika Kitab Suci jelas mengatakannya bahwa yang disampaikan adalah perumpamaan, maka yang disampaikan tidak/ belum tentu terjadi. Contoh Yoh 10:6 “Itulah yang dikatakan Yesus dalam perumpamaan kepada mereka…” yang kemudian dilanjutkan oleh Yesus, yang mengumpamakan Ia sebagai ‘pintu’ (Yoh 10:7). Demikian juga dengan Mat 13:33 yang mengatakan bahwa Yesus mengajar dengan perumpamaan. Di sini perumpamaan belum tentu terjadi secara nyata.
2. Interpretasi harafiah dilakukan sejalan dengan akal sehat, namun jika tidak masuk akal, maka tidak mungkin dimaksudkan secara harafiah. Jadi misalnya, pada saat Yesus mengatakan bahwa raja Herodes adalah ‘serigala’ (Luk 13:32), maka kita tidak akan mengartikan bahwa pada waktu itu pemerintah di jaman Yesus dikepalai oleh mahluk mamalia, berambut, berekor, berkuping lancip yang bernama Herodes.
3. Jika pengartian secara harafiah malah menunjukkan kontradiksi pada Allah, maka gaya bahasa yang diucapkan tidak dimaksudkan untuk diartikan secara harafiah. Dalam hal ini penting sekali kita melihat ayat-ayat lain untuk melihat gambaran yang lebih jelas akan makna ayat tersebut. Contoh: Dalam Mat 23:9, Yesus berkata “Jangan memanggil seorangpun sebagai bapa di bumi ini”, padahal baru sesaat sebelumnya Yesus mengulangi perintah ke-4 dari kesepuluh perintah Allah, “Hormatilah ibu bapa-mu” (Mat 19:19) dan Ia juga menyebut Abraham sebagai “bapa” (Mat 3:9). Selanjutnya kita melihat bagaimana Rasul Paulus kemudian menyebut dirinya sendiri sebagai “bapa” bagi umat di Korintus (1 Kor 4:15) dan kepada Onesimus (Flm 1:10). Maka ayat Mat 23:9 tidak mungkin diartikan secara harafiah. Dalam hal ini, Yesus menggunakan gaya bahasa hiperbolisme untuk menyatakan otoritas ilahi yang mengatasi otoritas duniawi. Dengan demikian, ayat Mat 23:9 tidak dapat dikatakan menjadi dasar tuduhan bahwa Gereja Katolik telah melanggar ajaran Kitab Suci, karena memanggil pemimpinnya dengan sebutan ‘paus’/ Pope/ Papa dan para imam dengan sebutan Romo -yang artinya bapa.

Beberapa contoh tiga pilar kebenaran saling melengkapi

Rasul Petrus menuliskan, “Dalam surat-suratnya itu ada hal-hal yang sukar difahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain” (2Pet 3:16). Tanpa Tradisi Suci dan Magisterium Gereja dan hanya bertumpu pada Kitab Suci saja, maka sungguh sangat sulit-lah bagi kita untuk benar-benar yakin apakah kebenaran yang kita pegang adalah sungguh-sungguh benar. Beberapa contoh di bawah ini menunjukkan bagaimana Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja saling melengkapi: (1) Apakah kita diselamatkan hanya karena iman?; (2) Apakah Yesus tahu hari kiamat (Mat 24:36)?; (3) Apakah boleh bercerai dengan alasan berzinah (Mat 19:9)?; (4) Apakah Yesus mendirikan Gereja Katolik (Mat 16:16-19)?; (5) Apakah Yesus mempunyai saudara-saudara kandung? (Mat 12:46-50; Mrk 3:31-35; Luk 8:19-21).

1. Apakah kita diselamatkan hanya karena iman saja tanpa perbuatan?

Ayat Yoh 3:16 mengatakan bahwa siapa yang percaya pada Yesus akan memperoleh hidup kekal, atau “diselamatkan”; lalu pada ayat Ef 2:8 ada perkataan “diselamatkan oleh iman”, maka ada banyak orang Kristen non- Katolik mengatakan bahwa Kitab Suci mengajarkan bahwa kita diselamatkan hanya oleh iman saja (saved by faith alone). Padahal ayat-ayat Kitab Suci yang lain memberikan pengajaran yang lebih menyeluruh, misalnya pada ayat Ef 2:8 sendiri dikatakan: “Karena kasih karunia kita diselamatkan oleh iman”, sehingga di sini saja kita tahu bahwa bukan hanya iman yang menyelamatkan kita. Ayat yang lain mengajarkan iman yang menyelamatkan itu “bekerja oleh kasih” (Gal 5:6). Artinya kita harus melakukan perintah Tuhan agar dapat diselamatkan (Mat 19:17), dan perintah ini adalah hukum kasih kepada Tuhan dan sesama (Mat 22:37-40; Mrk 12:30-31). Kitab Suci juga mengajarkan bahwa -keselamatan dalam Kristus diperoleh dengan iman melalui pertobatan dan pembaptisan dalam nama-Nya, demi penebusan dosa (Kis 2:38-41; Mrk 16:16). Rasul Yakobus, bahkan dengan jelas mengatakan bahwa kita dibenarkan karena perbuatan-perbuatan kita dan bukan hanya karena iman (Yak 2:24). Kristus sendiri menyatakan bahwa agar seseorang dapat masuk dalam Kerajaan Allah (diselamatkan), ia harus dilahirkan kembali dengan air dan Roh (Yoh 3:5). Dengan demikian, untuk mengetahui gambaran yang menyeluruh tentang keselamatan, maka kita harus melihat Kitab Suci secara keseluruhan. Maka jika ingin mengatakan ‘diselamatkan oleh iman saja’, bagi Gereja Katolik, ‘iman saja’ di sini adalah iman akan Allah Tritunggal yang diperoleh dari kasih karunia Allah, iman yang mencakup perbuatan kasih, pertobatan, Pembaptisan dan ketaatan iman sampai akhir hidup kita. Jadi bukan iman yang berdiri sendiri, yang dipisahkan dari perbuatan kasih.
Oleh karena itu, Magisterium Gereja Katolik mengajarkan demikian:
KGK 1257 Tuhan sendiri mengatakan bahwa Pembaptisan itu perlu untuk keselamatan (Bdk. Yoh 3:5). Karena itu, Ia memberi perintah kepada para murid-Nya, untuk mewartakan Injil dan membaptis semua bangsa (Bdk. Mat 28:19-20; DS 1618; LG 14; AG 5). Pembaptisan itu perlu untuk keselamatan orang-orang, …Gereja tidak mengenal sarana lain dari Pembaptisan, untuk menjamin langkah masuk ke dalam kebahagiaan abadi. Karena itu, dengan rela hati ia mematuhi perintah yang diterimanya dari Tuhan, supaya membantu semua orang yang dapat dibaptis, untuk memperoleh “kelahiran kembali dari air dan Roh”. Tuhan telah mengikatkan keselamatan pada Sakramen Pembaptisan, tetapi Ia sendiri tidak terikat pada sakramen-sakramen-Nya.
KGK 1815 Anugerah iman tinggal di dalam dia yang tidak berdosa terhadapnya (Bdk. Konsili Trente: DS 1545). Tetapi “iman tanpa perbuatan adalah mati” (Yak 2:26) Iman tanpa harapan dan kasih tidak sepenuhnya mempersatukan orang beriman dengan Kristus dan tidak menjadikannya anggota yang hidup dalam Tubuh-Nya.
KGK 1816 Murid Kristus harus mempertahankan iman dan harus hidup darinya, harus mengakuinya, harus memberi kesaksian dengan berani dan melanjutkannya; Semua orang harus “siap-sedia mengakui Kristus di muka orang-orang, dan mengikuti-Nya menempuh jalan salib di tengah penganiayaan, yang selalu saja menimpa Gereja ” (LG 42, Bdk. DH 14). Pengabdian dan kesaksian untuk iman sungguh perlu bagi keselamatan: “Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di surga. Tetapi barang siapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di surga” (Mat 10:32-33).

2. Apakah Yesus tahu hari kiamat (Mat 24:36)

Di ayat Mat 24:36 tertulis, “Tetapi tentang hari dan saat itu tidak seorangpun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anakpun tidak, hanya Bapa sendiri.” (bdk. Mrk 13:32). Kalau kita membaca ayat ini, maka secara harafiah kita dapat menyimpulkan bahwa tentang saat hari kiamat, hanya Allah Bapa saja yang tahu dan tidak ada seorangpun yang tahu, termasuk Kristus sendiri. Namun, kalau kita berpendapat bahwa Yesus tidak tahu hari kiamat, maka dapat disimpulkan bahwa Dia bukan Tuhan, karena Tuhan adalah maha tahu. Padahal kita juga tahu, bahwa ada banyak ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Yesus adalah Tuhan. Polemik ini bukan hanya terjadi pada saat ini, namun sudah mulai terjadi di abad ke-6.
1. Themistius dan para pengikutnya, di abad ke-6, mengartikan ayat tersebut bahwa Yesus benar-benar tidak tahu akan hal saat akhir jaman ini. Heresi/ ajaran sesat ini dikenal dengan nama Agnoetae: Penyangkalan akan kepenuhan pengetahuan manusiawi di dalam diri Kristus.
2. Para penganut Protestant Kenotic Christology (Kristologi Kenotik menurut Protestan) yang berpendapat bahwa melalui Inkarnasi maka Tuhan Yesus melepaskan kepenuhan sifat-sifat keilahian-Nya, sehingga Sang Sabda menjadi terbatas dalam hal omniscience, omnipresence dan omnipotence. Martin Luther mendasari pendapatnya ini dengan teks dari Flp 2:6-11. Teori ini dikembangkan secara ekstrim oleh teolog Protestan, Wolfgang Friedrich Gess (1819-91) yang menyatakan bahwa melalui Inkarnasi terjadi perubahan besar dalam Trinitas, karena Allah Bapa ‘berhenti’ menghasilkan Sabda, sehingga Roh Kudus hanya bersumber pada Allah Bapa, dan tidak melibatkan Kristus. Secara objektif dapat kita lihat bahwa teori ini dapat mengarah kepada penyangkalan akan kesamaan hakekat antara Allah Bapa dan Yesus (Allah Putera), yang hampir sama dengan heresi Arianisme di awal abad ke 4.
Gereja Katolik TIDAK mengartikan ayat tersebut seperti kedua pendapat di atas. Sebab Gereja Katolik berpegang pada apa yang tertera di banyak ayat di dalam Alkitab yang menyatakan kesetaraan Yesus dengan Allah Bapa, sebagai Firman yang adalah Allah sendiri yang menjelma menjadi manusia (Yoh 1:1, 14), sebagai Pribadi kedua dari Trinitas (silakan membaca  http://katolisitas.org/2506/yesus-sungguh-allah-sungguh-manusia dan http://katolisitas.org/501/kristus-yang-kita-imani-yesus-menurut-sejarah, tentang banyaknya bukti Alkitabiah tentang ke-Allahan Yesus dan kesetaran-Nya dengan Allah Bapa). Kesetaraan ini mencakup segala hal, termasuk dalam hal pengetahuan akan hari dan saat Penghakiman Terakhir.
Pengajaran Gereja Katolik tentang hal ini berdasarkan atas pengajaran Magisterium Gereja yang ditegaskan di dalam:
1. Konsili Nicea (325), yang menegaskan doktrin Ke-Allah-an Yesus: bahwa Kristus adalah Tuhan, “consubstantial”/ sehakekat dengan Allah Bapa. Konsili ini diadakan untuk menegakkan pengajaran Gereja yang pada waktu itu diserang oleh ajaran sesat Arianisme.
2. Konsili Chalcedon (451), yang membacakan “The Tome of Leo”, bunyinya, “Jadi di dalam keutuhan dan kesempurnaan Yesus sebagai manusia, Allah telah menjelma, lengkap di dalam segala sesuatunya sebagai Allah, lengkap di dalam segala sesuatunya sebagai manusia, ….. menaikkan derajat manusia, tanpa mengurangi derajat-Nya sebagai Allah: sebab dengan mengosongkan Diri-Nya, Ia yang tidak kelihatan membuat Diri-Nya menjadi kelihatan; Pencipta segala sesuatu menginginkan Diri-Nya menjadi mahluk yang fana, bukan karena kegagalan kekuasaan-Nya, namun karena pernyataan belas kasihan-Nya. Oleh karena itu, Ia yang tetap Allah, mengambil rupa manusia, bahkan menjadi seorang hamba. Sebab, kedua sifat itu [ke-Allahan dan kemanusiaan-Nya] tetap mempertahankan karakter keduanya tanpa menghilangkan satu sama lain: dan ke-AllahanNya tidak menghapuskan karakter hamba, ke-hamba-anNya tidak mengurangi karakter ke-Allahan-Nya.”
3. Patriarkh Alexandria, bernama Eulogius, bersama dengan uskup-uskup Yerusalem, Stephanus dan Sophronius dan Paus Gregorius Agung menanggapi heresi Agnoetae (abad ke 6) tersebut dengan menyatakan: “Allah Putera yang Maha tahu mengatakan bahwa Ia tidak tahu harinya [akhir zaman, sehingga] Ia tidak menyatakannya, bukan disebabkan oleh sebab Ia sendiri tidak tahu, tetapi karena Ia tidak mengizinkan hal tersebut diketahui sama sekali…. Putera Tunggal Allah yang menjelma menjadi manusia yang sempurna untuk kita, pasti mengetahui hari dan saatnya Penghakiman Terakhir di dalam diriNya sebagai manusia, namun demikian Ia tidak mengetahui hal itu dari kapasitasnya sebagai manusia…. Sebab untuk maksud apa bahwa Ia yang menyatakan DiriNya sebagai Kebijaksanaan Allah yang menjelma, jika ada sesuatu yang tidak diketahui oleh-Nya sebagai Kebijaksanaan Allah? … Juga tertulis bahwa, …. Allah Bapa menyerahkan segala sesuatu ke dalam tangan-Nya [Yesus Kristus di dalam Yoh 13:3]. Jika disebutkan segala sesuatu, tentu termasuk hari dan saat Penghakiman Terakhir. Siapa yang begitu naif untuk mengatakan bahwa Allah Putera menerima di dalam tangan-Nya sesuatu yang tidak diketahui oleh-Nya?”
4. St. Maximus (580-662): Jika para nabi saja dapat mengetahui hal- hal di masa depan yang akan terjadi, betapa lebih lagi Kristus dapat mengetahui semua itu melalui kesatuan-Nya dengan Sang Sabda.[29]
5. Paus Pius XII, ensiklik Sempiternus Rex (1951): Sedangkan untuk menanggapi Kristologi Kenotik menurut Protestan, Paus Pius XII dalam memperingati Konsili Chalcedon yang ke 1500, menulis surat ensiklikSempiternus Rex pada tahun 1951, yang mengecam penyalah-artian ayat Filipi 2:7 pada mereka yang berpikir bahwa tidak ada keilahian di dalam Sabda yang menjadi manusia dalam diri Kristus. Menurut Bapa Paus, ini adalah maksud yang keliru, seperti halnya heresi Docetism yang mengklaim sebaliknya. Selanjutnya Bapa Paus menegaskan kembali apa yang telah ditetapkan di dalam The Tome of Leo, “Ia yang sungguh-sungguh Allah telah lahir, lengkap di dalam ke-Allahan-Nya, dan lengkap di dalam kemanusiaan-Nya.”
Dari contoh ini, kita dapat melihat bahwa hanya melihat satu ayat (Mat 24:36; Mrk 13:32) tanpa melihat kaitannya dengan ayat-ayat yang lain dan kaitannya dengan Tradisi Suci serta ketetapan Magisterium Gereja dapat membawa kita pada pengertian yang salah.

3. Apakah boleh bercerai dengan alasan pasangan telah berzinah (Mat 19:9)?

Ada sejumlah orang, yang dengan membaca Mat 19:9, memperkirakan bahwa Tuhan Yesus memperbolehkan perceraian, jika karena alasan perzinahan (salah satu dari pasangan berbuat zinah). Benarkah? Ayatnya demikian, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.” (Mat 19:9).
Sesungguhnya untuk memahami makna ayat tersebut, kita perlu mengetahui apakah yang dimaksud dengan ‘kecuali karena zinah’ pada ayat tersebut. Sebab di ayat sebelumnya (ay.6) Yesus baru saja mengajarkan bahwa ‘apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia’. Jika perceraian karena perzinahan itu diperbolehkan maka hal itu menjadi tidak sesuai dengan ayat ini.
Untuk memahani ayat ini, Gereja Katolik memegang penjelasan St. Klemens dari Aleksandria (150-216), yang mengajarkan maksud ajaran Yesus pada ayat Mat 5:32, 19:9, “Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah…” Zinah di sini artinya adalah perkawinan antara mereka yang sudah pernah menikah namun bercerai, padahal pasangannya yang terdahulu itu belum meninggal.[30] Jadi, dalam hal ini, Yesus mengakui perkawinan yang pertama sebagai yang sah, dan perkawinan kedua itulah yang harusnya diceraikan agar pihak yang pernah menikah secara sah dapat kembali kepada pasangan terdahulu.

4. Apakah Yesus mendirikan Gereja Katolik (Mat 16:16-19)?

Ada sejumlah orang Katolik yang beranggapan bahwa Tuhan Yesus tidak mendirikan Gereja Katolik, karena di Injil tidak dituliskan secara eksplisit, ‘Yesus mendirikan Gereja Katolik’. Tetapi anggapan ini keliru. Sebab kitab Injil mencatat bahwa Tuhan Yesus mendirikan jemaat-Nya (ekklesia/ Gereja-Nya) di atas Rasul Petrus;  Gereja-Nya ini tidak akan sesat/ dikuasai alam maut; dan Kristus memberikan kuasa kepada Rasul Petrus untuk ‘mengikat dan melepaskan’; yaitu suatu ungkapan yang artinya mengajar/ menetapkan ketentuan perihal iman dan moral (lih. Mat 16:16-19). Karena janji Kristus akan menyertai Gereja-Nya ini sampai akhir zaman (lih. Mat 28:19-20) maka janji penyertaan Yesus tidak mungkin berhenti sampai Rasul Petrus saja, tetapi juga terus sampai kepada semua para penerusnya. Nah, Gereja yang dipimpin oleh Rasul Petrus dan para penerusnya itu adalah Gereja Katolik. Paus Benediktus adalah Paus ke 265, jika diurut dari Rasul Petrus. Oleh sebab itu,  sebagai umat Katolik kita perlu bersyukur atas rahmat penyertaan Tuhan Yesus kepada Gereja-Nya, dan kita perlu berdoa bagi kesatuan Gereja dan bagi para pemimpin Gereja (Paus, para Uskup dan para imam) agar dapat seterusnya mempertahankan kesatuan dan keseluruhan ajaran Kristus.
Ada sejumlah saudara-saudari kita yang non- Katolik mengartikan bahwa ‘Batu karang’ yang disebut di sana maksudnya adalah Kristus, dengan mengacu kepada ayat 1 Kor 10:4. Dalam menginterpretasikan makna suatu ayat dalam Kitab Suci, kita memang dapat mengacu kepada ayat-ayat lain sebagai bantuan, namun tidak dapat kita mengabaikan konteks ayat-ayat yang langsung berhubungan dengan ayat yang dimaksud dalam perikop itu. Lagipula Kitab Suci tidak pernah mengatakan bahwa istilah ‘Batu Karang’ ini hanya untuk ditujukan kepada Kristus saja. Memang Kristus adalah Batu karang (1Kor 10:4), namun istilah ‘batu karang’ ini dalam konteks perikop Mat 16:13-20, ditujukan kepada Petrus (lih. Mat 16:18). Ayatnya demikian: Kata Yesus kepadanya: “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus …. Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya” (Mat 16:17-18). Kita perlu melihat bahwa ayat 18 tersebut terdiri dari dua bagian kalimat yang dihubungkan oleh kata “dan”. Matius memilih kata “kai” untuk menghubungkan kedua bagian kalimat itu, di mana kata “-kai” (dalam bahasa Yunani)  mengacu kepada “pronoun”/ subyek yang sama yang sudah disebut sebelumnya. Selanjutnya, digunakan kata ‘taute‘ yang kalau dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi “this very“, atau dalam bahasa Indonesianya adalah “dan… inilah”. Maka sesungguhnya, yang ingin dikatakan oleh Yesus adalah, “Engkau adalah Petrus (Batu karang), dan di atas batu karang inilah, Aku akan mendirikan jemaat (Gereja)-Ku.” Jika maksud Yesus adalah untuk membedakan keduanya -antara Petrus dan batu karang- Rasul Matius seharusnya menggunakan kata “alla”,  yaitu “tetapi” sehingga tidak mengacu kepada subyek yang sedang dibicarakan sebelumnya, atau dapat diartikan sebagai batu yang lain. Tetapi kita mengetahui tidak demikian halnya. Selanjutnya tentang topik siapakah atau apakah yang dimaksud dengan “Batu Karang” ini, sudah pernah dibahas di sini,http://katolisitas.org/4606/tentang-petros-dan-petra
Maka Kristus sebagai “Batu Karang” ini serupa dengan hal bahwa Kristus adalah Terang Dunia (Yoh 9:5). Sama seperti kita semua menjadi terang dunia (lih. Mat 5:14) dengan mengambil bagian dalam Sang Terang dunia yaitu Kristus; demikian pula Petrus menjadi batu karang yang atasnya Gereja didirikan, karena Petrus mengambil bagian dalam Kristus Sang Batu Karang.
Jadi dalam menginterpretasikan Kitab Suci, kita selayaknya tidak mengabaikan arti literalnya. Jika suatu ayat juga memiliki arti simbolis, bukan berarti arti literal ayat itu dapat diabaikan begitu saja. Maka, di ayat Mat 16:18, ‘batu karang’ di sini dapat diartikan literal sebagai nama Petrus, dan diartikan secara simbolis (alegoris) bahwa yang dimaksud adalah pengakuan iman Petrus. Gereja Katolik menerima kedua arti ini.

5. Apakah Yesus mempunyai ‘saudara-saudara’ kandung?

Dalam Kitab Suci memang terdapat ayat- ayat yang menyebutkan adanya ‘saudara- saudara’ Yesus. Perikop Luk 8:19-21 atau juga Mat 12:46-50, Mrk 3:31-35, berjudul: Yesus dan sanak saudara-Nya. Bahkan dalam Mat 13:55 dan Mrk 6:3 disebutkan nama saudara- saudara-Nya itu yaitu: Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon. Oleh karena itu ada banyak orang menyangka bahwa Yesus mempunyai saudara- saudara kandung, atau artinya Bunda Maria mempunyai anak- anak lain selain Yesus. Namun tentu ini tidak benar!
Di dalam Kitab Suci, istilah “saudara” dipakai untuk menjelaskan banyak arti. Kata “saudara” (dari kata Yunani,‘adelphos’ ) memang dapat berarti saudara kandung, namun dapat juga berarti saudara seiman (Kis 21:7), saudara sebangsa (Kis 22:1), ataupun kerabat, seperti pada kitab asli bahasa Ibrani yang mengatakan Lot sebagai saudara Abraham (Kej 14:14), padahal Lot adalah keponakan Abraham.
Jadi untuk memeriksa apakah Yakobus dan Yusuf itu adalah saudara Yesus, kita melihat kepada ayat-ayat yang lain dalam Kitab Suci, yaitu ayat Matius 27:56 dan Markus 15:40, yang menuliskan nama-nama perempuan yang ‘melihat dari jauh’ ketika Yesus disalibkan. Mereka adalah Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus dan Yusuf/ Yoses, dan ibu anak-anak Zebedeus (Mat 27:56); atau Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus Muda, Yoses dan Salome (Mrk 15:40). Maka di sini, Kitab Suci menunjukkan bahwa Maria ibu Yakobus ini tidak sama dengan Bunda Maria, sebab jika ya, maka seharusnya ditulis Maria ibu Yesus, Yakobus Muda, Yoses dan Salome. Maria ibu Yakobus dan Yoses (Yusuf) dicatat dalam Kitab Suci sebagai salah satu wanita yang menyaksikan penyaliban Kristus (Mat 27:56; Mrk 15:40) dan kubur Yesus yang kosong/ kebangkitan Yesus (Mrk 16:1; Luk 24:10).
Mungkin yang paling jelas adalah kutipan dari Injil Yohanes, yang menyebutkan bahwa yang hadir dekat salib Yesus adalah, Bunda Maria, saudara Bunda Maria yang juga bernama Maria yang adalah istri  Klopas, dan Maria Magdalena (Yoh 19:25). Jadi di sini jelaslah bahwa Maria (saudara Bunda Maria) ini adalah istri Klopas/ Kleopas, yang adalah juga ibu dari Yakobus dan Yusuf/Yoses. Kleopas adalah salah satu dari murid-murid Yesus yang berjalan ke Emmaus dan mengalami penampakan diri Yesus setelah kebangkitan-Nya (Luk 24:18).
Kesimpulannya, Yakobus dan Yoses ini bukan saudara kandung Yesus, namun adalah kerabat-Nya.

Ini aku, utuslah aku!


Pewartaan dimulai dari pertobatan kita yang terus menerus

Kita yang sudah pernah mengikuti program Kursus Evangelisasi Pribadi akan mengingat lirik dari teks lagu yang hampir selalu dinyanyikan dalam setiap pertemuan, yaitu “Lihatlah ladang sudah mulai menguning, telah siap dituai….” Sungguh, dewasa ini di tengah arus dunia yang semakin hebatnya, Roh Kudus juga terus bekerja di dalam Gereja Katolik, sehingga semakin banyak umat Katolik yang rindu untuk semakin mengenal dan mengasihi Kristus dan Gereja-Nya. Kita patut bersyukur akan hal ini, terutama bahwa Allah terus berkarya di dalam Gereja untuk mendatangkan keselamatan bagi kita umat manusia. ‘Gereja’ yang dimaksud di sini bukan hanya para imam, rohaniwan dan rohaniwati, tetapi juga kita semua kaum awam. Untuk itu kita semua tanpa kecuali, dipanggil untuk turut mewartakan kabar keselamatan Allah ini kepada dunia sekitar kita. Namun agar pewartaan kita berhasil guna untuk keselamatan, baik bagi yang mendengarkan maupun bagi kita sendiri yang mewarta, pertama-tama kita sendiri harus terus bertumbuh secara rohani dan kita perlu untuk terus menerus bertobat dan memperbaiki diri ke arah yang lebih baik. Sikap ini mensyaratkan kerendahan hati, yang mau terus belajar, mau terus dibentuk oleh Tuhan, mau terus berusaha untuk mencari dan melaksanakan kehendak-Nya dalam hidup kita.
Langkah awal untuk memulai pertobatan kita yang terus menerus adalah kita perlu dengan rutin memeriksa batin, setidak-tidaknya sekali sehari, yaitu di malam hari. Saat doa malam, kita memeriksa seluruh pikiran, perkataan dan perbuatan kita sepanjang hari itu. Dengan memohon bantuan Roh Kudus, kita melihat apakah hari itu kita sudah hidup lebih baik daripada di hari kemarin, apakah kita sudah lebih mengasihi Tuhan dan sesama pada hari itu? Apakah kita telah berbuat salah dengan pikiran, perkataan dan perbuatan kita? Jika kita menemukan dosa/kesalahan yang kita perbuat, segera kita memohon ampun kepada Tuhan dan memohon agar kita dimampukan untuk memperbaikinya. Jika kita menyadari bahwa kita telah melakukan dosa berat, sedapat mungkin kita menghampiri sakramen Pengakuan Dosa secepatnya. Selanjutnya tentang doa malam dan pemeriksaan batin, silakan membaca di link ini: http://katolisitas.org/4986/doa-malam-hari. Hanya dengan sikap kerendahan hati, kita dapat melihat kerapuhan diri kita, dan mengandalkan belas kasih dan kuasa Tuhan. Umumnya dengan sikap seperti ini, justru Tuhan semakin leluasa berkarya, dan Ia akan melengkapi segala kekurangan kita, dan memampukan kita untuk melakukan tugas perutusan kita dengan hati yang berkobar dan penuh suka cita.

Pentingnya pertumbuhan rohani bagi kita yang mewarta

Sudah menjadi kesadaran bersama, bahwa kita yang terpanggil untuk mewartakan Injil, perlu juga bertumbuh secara rohani. Dalam seminar-seminar pertumbuhan, umum digambarkan pertumbuhan ini ibaratnya seperti empat buah jari-jari roda, yaitu: doa, permenungan firman Tuhan, komunitas gerejawi dan pelayanan. Ini tentu baik untuk diingat, tetapi bagi kita pewarta dalam Gereja Katolik ada satu lagi jari-jari yang sangat penting, yang tidak boleh dilupakan, yaitu: sakramen-sakramen Gereja, terutama Ekaristi dan Tobat (Pengakuan Dosa). Sepantasnya kita mengingat bahwa sebagaimana secara jasmani kita lahir dan bertumbuh, demikian pula secara rohani, setelah kita dilahirkan secara baru melalui Pembaptisan, kita tetap harus bertumbuh secara rohani, dan pertumbuhan ini diperoleh secara khusus melalui sakramen-sakramen.
Selain itu, walaupun banyak dari peserta persekutuan doa karismatik menyukai doa penyembahan di dalam Roh Kudus dalam doa-doa pribadi, namun sepantasnya ini tidak membatasi jika ada dorongan untuk melakukan devosi yang lain. Pantas kita mengingat bahwa berdoa dalam roh bukan satu-satunya cara yang terbaik untuk berdoa. Kesaksian para kudus banyak yang menyampaikan bahwa puncak doa adalah kontemplasi, di mana kita memandang Kristus dengan iman, dan mengambil bagian di dalam misteri-Nya.[31] Dengan demikian, doa rosario yang merenungkan misteri kehidupan Kristus; demikian pula Adorasi Sakramen Mahakudus, devosi Kerahiman Ilahi atapupun Hati Kudus Yesus tetaplah dapat menjadi pilihan devosi  yang dapat menunjang pertumbuhan rohani kita, sebab semua devosi itu berpusat kepada misteri keselamatan Allah yang dinyatakan di dalam Kristus.

Pentingnya sakramen bagi kita yang mewarta

Seperti telah disebutkan di atas, sebagai pewarta awam Katolik, kita sendiri perlu menimba kekuatan dari Kristus dan mengambil bagian di dalam misteri kehidupan-Nya. Hal ini secara istimewa kita alami di saat kita menerima sakramen- sakramen Gereja, terutama sakramen Ekaristi dan Pengakuan Dosa. Tuhan yang menciptakan kita manusia yang mempunyai tubuh dan jiwa, berkehendak untuk menguduskan keseluruhan diri kita: tak hanya jiwa, tetapi juga tubuh. Sebab tubuh kita adalah bait kediaman Roh Kudus (lih. 1 Kor 6:19, 3:16); dan bahwa setiap kekudusan jiwa terpancar melalui tubuh. Sebab baik pikiran, perkataan dan perbuatan kita tidak hanya berkaitan dengan jiwa, tetapi juga dengan tubuh. Sebagaimana perbuatan baik melibatkan tubuh kita untuk melakukannya, demikian juga perbuatan dosa. Maka tidak mengherankan bahwa Tuhan Yesus menghendaki agar Tubuh, Darah, Jiwa dan keAllahan-Nya bersatu dengan tubuh, darah, jiwa dan kemanusiaan kita, agar kita yang lemah ini dapat menerima kekuatan dari Allah agar kita dapat menghindari dosa dan melakukan segala sesuatu yang sejalan dengan panggilan kita sebagai anak-anak Allah. Jika kita jatuh dalam dosa, terutama dosa berat, Tuhan Yesus-pun menyediakan rahmat pengampunan, asal kita sungguh bertobat dan mengakukan dosa kita di hadapan imam-Nya dalam sakramen Pengakuan Dosa (lih. Yoh 20: 21-23).
Maka, perasaan-perasaan tertentu yang dialami melalui doa-doa janganlah sampai mengurangi hasrat kita untuk menerima Kristus sendiri yang telah memberikan Diri-Nya secara istimewa di dalam sakramen-sakramen. Sakramen merupakan cara yang dipilih oleh Tuhan untuk memberikan rahmat-Nya yang selalu menyertai Gereja-Nya. “Tinggallah kamu di dalam Aku dan Aku di dalam kamu…. sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yoh 15:4-5). Secara khusus Tuhan Yesus menjelaskan caranya, agar kita bisa tinggal di dalam Dia dan Dia di dalam kita, yaitu dengan ‘memakan Tubuh-Nya dan minum Darah-Nya’ (lih. Yoh 6:56); dan inilah yang terjadi dalam Ekaristi kudus. Sebagai tanda kasih kita kepada Tuhan Yesus, marilah kita menerima, menghargai, dan bahkan merindukan cara yang dipilih-Nya ini untuk menguduskan kita. Selayaknya  kita menyadari bahwa untuk bertumbuh dalam kekudusan, kita pertama-tama harus mengandalkan Tuhan, sebab Ia-lah yang mampu menguduskan kita, bukan diri kita semata melalui usaha sendiri.
Maka adalah baik, dan jika memungkinkan, kita mengikuti perayaan Ekaristi lebih dari seminggu sekali pada hari Minggu, namun juga pada hari- hari biasa lainnya. Demikian pula, baik jika kita mempunyai seorang pembimbing rohani/ bapa pengakuan, yaitu seorang imam yang di hadapannya kita dapat mengaku dosa dan memohon nasehat demi pertumbuhan rohani kita. Jika kita secara teratur mengaku dosa kita (misalnya sebulan sekali), harapannya adalah kita dapat menjadi semakin peka terhadap dosa, dapat menghindari agar tidak jatuh ke dosa yang sama, dan dapat semakin menjauhi dosa, bahkan dosa ringan. Dengan demikian kasih kita kepada Tuhan semakin bertumbuh dengan lebih baik, sebab dosa, yang menjadi panghalangnya telah disingkirkan.

Terus menerus belajar, memohon rahmat kerendahan hati dan kebijaksanaan

Jika kita menyadari bahwa karya kerasulan pewartaan adalah untuk mewartakan Kristus dan Gereja-Nya, maka kita juga harus menggali sumber-sumber yang menjadi pilar kebenaran yang mendasarinya, yaitu: Kitab Suci, Tradisi Suci maupun Magisterium Gereja. Dengan menggali dasar kebenaran tersebut secara terus-menerus, maka kita akan dapat mewartakan kebenaran sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Gereja sebagaimana mereka terima dari Kristus dan para rasul. Kita perlu memohon karunia Roh Kudus, yaitu karunia pengertian, sehingga kita dapat masuk lebih dalam misteri iman. Konferensi Wali Gereja Indonesia, dalam Surat Gembala mengenai Pembaharuan Karismatik Katolik, juga  menganjurkan adanya “pendidikan untuk memahami ajaran-ajaran Gereja dan untuk secukupnya mampu menangkap pesan Kitab Suci, terutama bagi para pemimpin Persekutuan Doa dan pewarta. Hendaklah program-program pendalaman diselenggarakan dengan terus memperhatikan ajaran Gereja Semesta dan Gereja setempat. Dengan begitu lambat laun umat kita memahami bagaimana secara tepat menyambut Sabda Tuhan yang disampaikan melalui Alkitab dan Tradisi Gereja dengan kuasa mengajar Gereja [Magisterium]….”[32]
Maka, penting di sini, agar kita benar-benar mempelajari apa yang sebenarnya diajarkan oleh Magisterium Gereja. Semakin kita mengetahui apa yang diajarkan oleh Magisterium Gereja Katolik – yang mendasarkan ajarannya atas Kitab Suci dan Tradisi Suci – maka kita akan semakin mewartakan apa yang sesungguhnya diajarkan oleh Gereja Katolik. Dan dengan kerendahan hati, kita sendiri menerima, bahwa apa yang telah diputuskan oleh Magisterium Gereja sesungguhnya merupakan kebenaran, yang tentu saja harus kita taati dan laksanakan dalam kehidupan kita sendiri, sebelum kita wartakan kepada orang lain.
Akhirnya, dalam melakukan karya kerasulan untuk mewartakan Injil, kita perlu meminta rahmat Tuhan agar diberikan kerendahan hati. Kerendahan hati memungkinkan kita untuk menempatkan kebenaran yang diajarkan oleh Magisterium Gereja Katolik di atas pengertian kita sendiri; dan pada saat yang bersamaan mencoba dengan segala kekuatan untuk menerima kebenaran tersebut – walaupun mungkin sulit – dengan sukacita dan menjalankannya dalam hidup sehari-hari. Mengetahui kebenaran adalah satu hal, namun menyampaikan kebenaran adalah hal yang berbeda. Kita harus meminta rahmat kebijaksanaan, sehingga kita dapat menyampaikan kebenaran dengan tepat, hormat dan lemah lembut, tanpa mengorbankan kebenaran, namun justru memperkuat kebenaran yang disampaikan.

Rasul Paulus, doakanlah kami…

Akhirnya, maka marilah kita memohon dukungan doa dari Rasul Paulus, yang daripadanya kita melihat teladan mewartakan Injil tanpa lelah, tanpa pamrih, yang didasari kasih yang berkobar kepada Allah. Semoga  kita semua dapat menyampaikan kepenuhan kebenaran Sabda Allah sebagaimana dikehendaki oleh Kristus, dengan semangat Rasul Paulus. Sebab jika kita sungguh berakar dan hidup di dalam Kristus yang telah mengasihi kita, maka kita tidak lagi hidup untuk diri kita sendiri, namun untuk Kristus, dan untuk turut serta mengambil bagian di dalam karya keselamatan-Nya. Semoga bersama Rasul Paulus, kita dapat berkata, “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” (Gal 2:20)
Ya, hidup oleh iman ini mendorong kita untuk mewartakan iman kita, karena kita telah terlebih dahulu dicintai oleh Allah.

Beberapa pertanyaan pendalaman

  1. Mengapa kita perlu mewarta dan apakah yang perlu diwartakan?
  2. Bagaimana Misteri Paskah dihadirkan oleh Kuasa Roh Kudus di dalam Gereja?
  3. Mengapa kekudusan menjadi hukum pertama yang perlu diwartakan?
  4. Apakah Gereja membatasi atau membantu kita dapat mewarta?
  5. Sebutkan tiga pilar kebenaran Gereja dan bagaimana ketiga hal tersebut saling bekerjasama dan berikan contohnya!
  6. Bagaimana Konsili Vatikan II mengajarkan kita untuk menginterpretasikan Kitab Suci?
  7. Terangkan prinsip menginterpretasikan Kitab Suci menurut arti literal dan spiritual!
  8. Gaya bahasa apa saja yang dipergunakan di dalam Kitab Suci?
  9. Berikan beberapa contoh bagaimana Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja saling terkait untuk menyatakan kebenaran iman!
  10. Apakah yang terus menerus harus dilakukan oleh seorang pewarta, sehingga ia dapat memberitakan kebenaran iman dengan baik?
[1] Lihat Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi Suci, Sacrosanctum Concilium, 5.
[2] Lihat Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1214.
[3] Lihat KGK 1088.
[4] Lihat KGK 1366, 1367.
[5] Lihat KGK 1391-1398.
[6] Lihat Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Gereja, Lumen Gentium, Bab V.
[7] Disarikan dari khotbah St.Agustinus tentang para pastor/ gembala, seperti dikutip dalam Office of Readings, Divine Office Prayers, 28 Septemer 2012.
[8]  Lihat KGK 783-786.
[9] Lihat KGK 76, Sesuai dengan kehendak Allah terjadilah pengalihan Injil atas dua cara:— secara lisan “oleh para Rasul, yang dalam pewartaan lisan, dengan teladan serta penetapan-penetapan meneruskan entah apa yang mereka terima dari mulut, pergaulan, dan karya Kristus sendiri, entah apa yang atas dorongan Roh Kudus telah mereka pelajari”,— secara tertulis, “oleh para Rasul dan tokoh-tokoh rasuli, yang atas ilham Roh Kudus itu juga telah membukukan amanat keselamatan “(Dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, 7 ).
[10] Lihat KGK 80, “Tradisi Suci dan Kitab Suci berhubungan erat sekali dan terpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah yang sama” (Dokumen Konsili Vatikan II, Dei Verbum, 9). Kedua-duanya menghadirkan dan mendayagunakan misteri Kristus di dalam Gereja, yang menjanjikan akan tinggal bersama orang-orangNya ‘sampai akhir zaman’ (Mat 28:20).
[11] Lihat Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Gereja, Lumen Gentium, 25.
[12] Dalam Surat Apostolik yang menyertai persetujuan dan promulgasi Katekismus Gereja Katolik, tanggal 15 Agustus 1997, Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “Katekismus meneguhkan maksudnya untuk dipresentasikan sebagai penjabaran ajaran Katolik yang penuh dan lengkap, yang memampukan orang untuk mengetahui apakah yang Gereja percayai, rayakan, hidupi, dan doakan di dalam kehidupannya sehari-hari …..”
[13] KGK 81, Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum 9.
[14] KGK 107, “Kitab-kitab yang diinspirasi (tersebut) mengajarkan kebenaran. ‘Oleh sebab itu, segala sesuatu yang dinyatakan oleh para pengarang yang diilhami …(penulis suci), harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus.”
[15] Ibid., 107, Dei Verbum, 11.
[16] Lihat KGK 85, dan Dei Verbum, 10.
[17] Lihat Dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Gereja, Lumen Gentium, 25.
[18] Lihat KGK 112-114
[19] Lihat KGK 129; lih. Konsili Vatikan II, Dei Verbum 16, Verbum Domini, 40-41
[20] Lihat KGK 113, Dei Verbum 16
[21] Lihat Dei Verbum 10.
[22] Lihat KGK 115-117; lihat juga Verbum Domini, 37
[23] KGK 118; dikutip juga dalam Verbum Domini, 37
[24] St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, I, q.10 a.1
[25] Untuk kebih lanjut mengenai ke-4 arti dalam Kitab Suci ini, silakan membaca buku karangan Mark P. Shea, Making Sense Out of Scripture: Reading the Bible as the First Christians did (Rancho Santa Fe, CA: Basilica Press, 1999)
[26] Lihat KGK 106
[27] KGK 110
[28] Lihat Father Frank Chacon & Jim Burnham, Beginning Apologetics 7, How to Read the Bible, (San Juan Catholic Seminars, Farmington, NM, 2003) p. 24-25.
[29] Lihat Quaestiones et dubia 66 (I, 67), PG 90: 840
[30] Lihat St. Clement of Alexandria, Christ the Educator, Bk. 2, Chap.23, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, The Teaching of the Church Fathers, (Ignatius Press, San Francisco, 2002, reprint 1966),  p.442
[31]Lih. KGK 2715        Kontemplasi ialah memandang Yesus dengan penuh iman. “Aku memandang Dia dan Dia memandang aku”….. perhatian kepada Yesus ini adalah penyangkalan “aku”, karena pandangan Yesus membersihkan hati. Cahaya wajah-Nya menyinari mata hati kita dan membiarkan kita melihat segala-galanya dalam sinar kebenaran dan belas kasihan-Nya terhadap semua orang. Kontemplasi memandang misteri kehidupan Kristus dan dengan demikian memperoleh “pengertian batin mengenai Tuhan”, untuk mencintai-Nya lebih sungguh dan mengikuti-Nya dengan lebih baik lagi (Bdk. Ignasius, ex. spir. 104).
KGK 2718….”Doa batin adalah persatuan dengan doa Yesus, sejauh doa itu membuat kita mengambil bagian dalam misteri Kristus….”
[32] Konferensi WaliGereja Indonesia, Surat Gembala mengenai Pembaharuan Karismatik Katolik Katolik, Aneka Karunia, Satu Roh, 26.

Recent Post